Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sains

Pada Oktober 2004 Majalah Nature Menulis Temuan Manusia Homo Floresiensis, Apa Itu?

Spesies manusia ini berumur 18 ribu tahun silam dinamai sebagai Homo Floresiensis merupakan satu spesies manusia kerdil yang ditemukan di Liang Bua

28 Oktober 2022 | 23.53 WIB

Homo floresiensis. Livescience.com
Perbesar
Homo floresiensis. Livescience.com

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta -Pada 27 Oktober 2004 muncul artikel berita ulasan di Majalah Nature tentang penemuan manusia Flores berumur 18.000 tahun silam, yang dinamai.Homo Floresiensis.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Spesies manusia ini dinamai sebagai Homo floresiensis yang merupakan satu spesies manusia kerdil yang ditemukan di Liang Bua, gua batu kapur berada sekitar 14 kilometer sebelah utara Roteng, ibukota Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Mengutip Koran Tempo Edisi September 2005, spesies manusia Homo floresiensis ini ditemukan oleh tim arkeolog dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional yang bekerjasama dengan tim ilmuwan Australia pada 2003. Kerangka Homo floresiensis atau Liang Bua 1 (LB1) ini terdiri dari tengkorak yang hampir lengkap sempurna dan bagian kerangka terpisah. 

Adapun kerangka tengkorak itu terdiri dari tulang tungkai kaki, bagian dari tulang pelvis, tangan dan kaki, serta beberapa serpihan tulang lainnya. Menurut penemunya, LB1 individu dewasa berusia 30 tahun dengan jenis kelamin perempuan. Uniknya, LB1 ini memiliki ukuran kepala sangat kecil. Tengkorak yang terdapat gigi-gigi dan tak memiliki dagu tersebut mempunyai volume otak 380 sentimeter kubik, ini menjadikannya Australophitecine paling kecil yang pernah ditemukan.

Baca juga : Pameran Kampung Purba di Indonesia, dari Homo Erectus sampai Mumi Mamasa

Itu sebabnya penemu menyebut LB1 sebagai bentuk kerdil dari Homo erectus dan spesies baru selain Homo sapiens.  Bersama dengan kerangka spesies LB1, ditemukan juga peralatan batu, dan bukti-bukti telah digunaknnya api. Bahkan, merekajuga diduga sebagai pemburu karena ditemukan tulang gajah pigmi, komodo dan tikus besar.

Penemuan Homo floresiensis ini kemudian dupublikasikan oleh peneiti Australia Peter Borown dan Mike Marwood dari University of New Enfland Di New South Wales, Australia dalam jurnal Nature, dan kemudian diumumkan dalam jumpa pers di Sydney, Australia, pada 28 Oktober 2004. 

Kendati begitu, dalam jumpa pers tersebut tidak dihadiri oleh peneliti Indonesia seperti Thomas Sutikna dan Wahyu Saptomo yang juga terlibat dalam penggalian dan penemuan. Pada 6 November 2004, Ahli antropologi ragawi Universitas Gadjah Mada, Teuku Jacob menggelar jumpa pers menaggapi pengumuman tim Australia tersebut. 

Jacob bersama R.P Soejono, Kepala Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, mengajukan teori Microchepaly terhadap Homo floresiensis. Menurut Jacob, Homo floresiensis bukan spesies baru manusia tetapi Homo sapiens dari ras Australomelanesid yang mengidap kelainan neurologi meicrochepaly. 

"Spesies baru manusia dari Flores itu sebenarnya manusia modern yang termasuk dalam spesies Homo sapiens dari ras Australomelanisid. Hanya saja menurutnya, fosil manusia Flores tampak istimewa karena menderita penyakit microchepali yang banyak diderita oleh masyarakat Flores, kata Jacob dikutip dari laman Universitas Gadjah Mada.

Pada 10 Desember 2022, ahli anatomi dn antropologi  biologi University of Adelaide, South Australia Maciej Henneberg memperkuat teori Microchepaly manusia Flores. Menurut Henneberg, tengkorak hobbit tersebut sangat mirip dengan spesimen penderita microchepaly dari Kreta, pulau terbesar di Yunani di laut Mediterania.

Kemudian, pada awal tahun 2005 isu manusia Flores menjadi topik hangat diperbincangkan di Australia. Hingga pada Maret 2005, antropolog dari Florida State University di Tallahasse, Florida, Amerika Serikat, Dean Falk melakukan pemindaian tomografi terkomputerisasi (CT Scan) terhadap tengkorak hobbit tersebut untuk menciptakan jiplakan batok kepalanya. 

Falk lalu membandingkan otak itu dengan mangkuk otak dari manusia modern, manusia Homo erectus, dan simpanse. Falk kemudian menyimpulkan bahwa hobbit bukan penderita microchepaly dan tak terlihat sama sekali oleh orang pigmi. 

Beberapa majalah juga ketika itu ikut membahas terkait penemuan spesies manusia Homo floresiensis. Misalnya, majalah National Geographic yang membuat artikel tentang hobbit, Homo floresiensis, dan artikel lain tentang hominind Dmanisi dari Georgia. Ada juga Majalah Time yang meliput seputar pulau-pulau tak berpenghuni di Flores sebagai tempat ditemukannya hobbit. 

KAKAK INDRA PURNAMA
Baca juga : 3 Fakta Menarik Pulau Pasir yang Lebih Dekat ke NTT daripada Australia

Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus