Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Bandung - Rencana observatorium Sesar Lembang gagasan peneliti gempa Eko Yulianto gagal terwujud tahun ini. Kepala Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI Bandung itu mengajukan pemasangan sepuluh set seismograf untuk memantau pergerakan sepanjang patahan secara intensif.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
“Pentingnya karena sesar itu berada dekat dengan kota di cekungan Bandung. Sekitar 9 juta orang di bawah ancaman,” katanya, Senin, 5 Agustus 2019.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Setiap set alat pemantau gempa itu harganya sekitar Rp500 juta. Total nilai ajuannya Rp 5 miliar pada 2019. Rencananya per unit alat itu akan dipasang mengapit setiap enam kilometer. Total panjang Sesar Lembang menurut data penelitian LIPI mencapai 29 kilometer. “Kalau jadi itu akan jadi observatorium kedua di dunia setelah Sesar San Andreas di Amerika Serikat,” ujar Eko.
Dia berharap suatu saat nanti rencananya itu bisa terwujud. Tujuan utamanya untuk studi intensif Sesar Lembang terkait pemantauan aktivitas pergerakannya. Dari observatorium itu juga direncanakan terbentuk sebuah pusat kegiatan yang memfasilitasi riset. “Tujuan ketiga dalam konteks lebih luas yaitu pengembangan destinasi wisata,” kata dia.
Menurutnya Sesar Lembang juga Gunung Tangkuban Perahu di wilayah Kabupaten Bandung Barat, bisa menjadi tempat wisata berkonsep geopark yang berbasis ancaman bencana. Selain itu ada daerah rawan longsor pula.
Belakangan ini daerah tujuan wisata di Indonesia menyumbang sepuluh persen total penghasilan negara. “Saya ingin membalik mindset bahwa bencana dianggap cost centre,” ujarnya.
Menurut Eko ancaman bencana yang menjadi geopark dengan fasilitas pendukung ilmuwan (observatorium) dan masyarakat umum bisa berubah menjadi profit centre. Masyarakat juga jadi belajar mengenai ancaman bencana.
ANWAR SISWADI