Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Carol W. Greider, profesor di Departemen Biologi Molekuler dan Genetika di Johns Hopkins University School of Medicine, Baltimore, Amerika Serikat, bangun lebih dini pada Senin dua pekan lalu. Perempuan kelahiran California itu hendak mencuci pakaian dan berolahraga sepeda statis bersama dua teman perempuannya.
Teleponnya berdering di fajar itu. Ketika telepon diangkat, sang penelepon dari Stockholm, Swedia, memberinya kejutan. ”Setelah menerimanya, saya mengirim surat elektronik ke teman saya: ’Maaf, saya tak bisa bersepeda kali ini. Saya baru saja menang hadiah Nobel’,” tutur Greider kepada The New York Times.
Greider berbagi Nobel bidang kedokteran dengan pembimbingnya, Elizabeth Blackburn, profesor biologi dan fisiologi di Universitas California di San Francisco, dan koleganya, Jack W. Szostak, profesor genetika di Harvard Medical School dan Alexander Rich Distinguished Investigator di Rumah Sakit Umum Massachusetts, Boston. Mereka berhak atas hadiah uang tunai senilai 10 juta krona atau hampir Rp 14 miliar.
Panitia Nobel menilai mereka telah memecahkan salah satu masalah utama dalam biologi: bagaimana kromosom dilindungi oleh telomere dan enzim telomerase. Hasil temuan mereka pada 1980-an itu telah mengilhami penelitian tentang penuaan dan kanker. Kini sekitar seribu artikel yang menyinggung telomere muncul saban tahun di berbagai jurnal ilmiah.
Pada 1950-an, para ilmuwan sudah mulai memahami bagaimana gen-gen makhluk hidup disalin dalam operasi genetis molekul deoxyribonucleic acid (DNA). Tapi masih ada satu teka-teki. Ketika sebuah sel membelah, molekul DNA-nya, yang memuat empat basa yang membentuk kode genetika, disalin basa per basa oleh enzim polimerase, enzim yang bertugas membentuk rantai DNA baru.
Masalah timbul ketika ternyata ada rantai yang pada akhirnya tak dapat disalin, sehingga kromosom akan memendek setiap kali sebuah sel membelah. Ketika kromosom menjadi sangat pendek, sel-sel kita pun tak dapat membelah lagi dan tubuh berhenti membuat sel-sel ini. Bersama dengan berlalunya waktu, ini akan membuat kita tua dan akhirnya meninggal.
Blackburn dan Szostak menemukan telomere (dari bahasa Yunani yang berarti ”bagian ujung”), rantai unik DNA yang bertanggung jawab terhadap terjadinya penuaan sel. Telomere menjadi semacam tutup di ujung kromosom. Ia digambarkan seperti lingkaran plastik di ujung tali sepatu yang mencegah benang-benangnya buyar. Greider dan Blackburn kemudian menemukan telomerase, enzim yang memperpanjang DNA telomere dengan menyediakan platform yang memungkinkan polimer DNA menyalin seluruh kromosom tanpa kehilangan bagian terujungnya.
Penemuan mereka menjelaskan bagaimana ujung-ujung kromosom itu dilindungi oleh telomere dan telomere-telomere itu dibangun oleh enzim telomerase. Jika telomere memendek, sel pun menua. Penyakit-penyakit keturunan tertentu menunjukkan ciri adanya telomerase yang cacat, yang mengakibatkan sel-sel rusak. Sebaliknya, jika aktivitas telomere tinggi, panjang telomere tetap dan penuaan sel tertunda. Ini terjadi pada sel-sel kanker, yang dianggap memiliki hidup abadi karena dapat membelah diri terus-menerus.
Dalam artikelnya di situs Nobelprize.org, Rune Toftgard, anggota Majelis Nobel, menyatakan penemuan Greider dan kawan-kawan itu sangat penting bagi kemajuan penelitian di berbagai bidang, termasuk kanker, penuaan, pemeliharaan sel punca, dan sindrom penyakit keturunan.
”Berbagai penelitian menunjukkan bahwa telomere di banyak sel kanker bersifat abnormal dan kegiatan telomere meningkat 80-90 persen pada kanker,” tulis profesor toksikologi lingkungan di Karolinska Institutet, Stockholm, itu.
Toftgard juga mencatat bahwa eksperimen-eksperimen awal menunjukkan hubungan yang mengejutkan antara pemendekan telomere dan berkurangnya usia pelipatgandaan kultur sel manusia. Ini sesuai dengan bukti genetis sebelumnya yang menunjukkan bahwa telomere pendek akan memicu penuaan. Sebaliknya, kata dia, memasukkan telomerase ke dalam sel manusia normal dalam kultur tersebut akan memperpanjang usia hidup sel.
Beberapa studi juga menunjukkan adanya hubungan antara penuaan makhluk hidup dan kegiatan telomerase serta panjang telomere. Salah satunya studi terhadap tikus yang dipublikasikan pada 2001 oleh Fermin A. Goytisolo, Enrique Samper, dan Maria A. Blasco dari Centro Nacional de Biotecnología, Madrid, Spanyol, bersama Scott Edmonson dan Guillermo E. Taccioli dari Boston University, Amerika Serikat.
Apa yang dilakukan Greider dan rekan-rekannya ini barulah membuka pintu bagi penelitian lanjutan mengenai peran penting telomere dan enzim telomerase dalam proses genetika. Namun beberapa ilmuwan menyebut penemuan ini ”sebuah pedang raksasa bermata ganda”. Di satu sisi, telomerase memungkinkan sel membelah diri secara tak terhingga, yang praktis membuat makhluk hidup awet muda. Tapi, pada saat yang bersamaan, mereka juga menjadi kanker yang mengancam.
Untuk melindungi diri dari kanker, sel-sel dewasa mencatat dengan ketat berapa kali mereka telah membelah diri, sehingga sekali mereka mencapai batas yang telah ditetapkan—sering kali sekitar 80 kali—mereka mati secara alamiah. Telomerase, dalam hal ini, ”menjegal” catatan yang disusun sel-sel ini.
Mark Muller, peneliti kanker yang mempelajari telomere di University of Central Florida, mengatakan, jika orang menemukan sebuah obat atau terapi gen dengan telomerase, obat itu akan melawan pertumbuhan sel kanker yang tak terkendali.
Beberapa perusahaan mulai meng-uji obat-obat yang dapat merusak enzim telomerase pada sel kanker, sehingga sel itu tak dapat memperpanjang hidup sel kanker. Geron, perusahaan biofarmasi di California, misalnya, mengklaim telah mengembangkan terapi antikanker berdasarkan penghambat telomerase dan vaksin terapi telomerase. Geron pula yang menemukan TA-65, molekul tunggal yang dapat mengaktifkan telomere, pada 2001. Setahun kemudian, TA Sciences, perusahaan obat yang berbasis di New York, mengambil alih temuan itu.
TA Sciences menjadi satu-satunya perusahaan di dunia yang memproduksi suplemen dalam bentuk pil yang dapat menghentikan pemendekan telomere. Dengan kata lain, obat ini dapat membuat orang awet muda. Noel Patton, pemimpin perusahaan itu, mengatakan TA-65 berasal dari ekstrak astragalus, tanaman obat Cina yang telah digunakan selama lebih dari seribu tahun. Perusahaan itu mengaku telah menguji obatnya sejak 2002. Hasilnya menunjukkan adanya perbaikan pada tubuh, termasuk daya tahan terhadap penyakit dan kesehatan mata.
William Andrews, pemimpin Sierra Sciences, perusahaan pesaing yang juga menguji pil itu, menegaskan bahwa ”menelan penyokong telomerase memang lebih aman daripada mengemudikan mobil pulang”, tapi mengakui bahwa ada risiko yang tak diketahui dari produk ini, karena enzim yang sama pula yang memicu kanker.
Wimpie Pangkahila, guru besar dan Ketua Program Magister Kekhususan Kedokteran Anti-Penuaan di Universitas Udayana, berpendapat bahwa penemuan telomerase ini merupakan penelitian dasar yang perlu ditindaklanjuti dengan penelitian-penelitian berikutnya hingga akhirnya bisa digunakan secara praktis. ”Untuk negara seperti Amerika Serikat, saya rasa pengembangan dari penemuan ini tak akan memakan waktu lama,” katanya.
Wimpie juga mengingatkan bahwa tak semua obat antipenuaan yang diiklankan di berbagai media selama ini benar adanya. ”Ada, misalnya, obat herbal antipenuaan yang katanya murni tapi belakangan diketahui mengandung bahan kimia,” kata Wakil Ketua Perhimpunan Kedokteran Anti-Penuaan Indonesia itu.
Menurut Wimpie, sejauh ini, terapi antipenuaan yang telah diterapkan barulah dalam bentuk obat-obatan antioksidan dan terapi hormon. Antioksidan merupakan sebutan bagi zat yang menghambat oksidasi dengan cara menjinakkan radikal bebas yang berbahaya bagi tubuh. Obat antioksidan itu antara lain vitamin dan mineral.
Terapi hormon, kata Wimpie, diberikan karena, bersamaan dengan bertambahnya usia, hormon seseorang menurun hingga menimbulkan berbagai gejala, seperti susah tidur, perut bertambah gendut, atau menurunnya gairah seksual. ”Gejala-gejala ini bisa diterapi dengan pemberian hormon yang sesuai,” katanya.
Terapi antipenuaan pada prinsipnya adalah menjaga agar enzim telomere tetap bekerja dalam proses penuaan dengan mengurangi faktor yang dapat mempercepat proses itu. ”Dalam bentuk paling sederhana adalah menjalani gaya hidup yang baik dan sehat, menghindari polusi, dan tidak merokok,” kata Wimpie.
Kurniawan (The New York Times, Wired, Nobelprize.org, Scientific American)
- Telomere membentuk tutup di ujung kromosom. Ia berisi rantai DNA yang unik dan diulang beberapa kali.
Urutan DNA itu bervariasi untuk setiap spesies. Yang ditunjukkan di sini milik Tetrahymena, organisme sel tunggal yang hidup dalam air.
Carol W. Greider, profesor di Departemen Biologi Molekuler dan Genetika di Johns Hopkins University School of Medicine, AS.
- DNA telomere terbukti melindungi kromosom.
Kromosom mini (tanpa telomere) dimasukkan ke dalam sel ragi. Mereka tak berpelindung, sehingga rusak.
DNA telomere diekstrak dari Tetrahymena, dipasangkan dengan kromosom mini buatan, dan dimasukkan ke dalam sel ragi. Kromosom-kromosom mini itu menjadi terlindungi dari kehancuran dan tetap utuh.
- Telomerase membangun DNA telomere.
Telomerase bekerja di ujung-ujung kromosom. Ia adalah enzim yang mengandung protein dan rantai RNA. RNA berperan sebagai cetakan untuk pembuatan DNA telomere.
Tanpa telomerase, kromosom memendek setiap kali sel membelah. Akhirnya DNA telomere terkikis habis dan kromosom pun rusak.
Telomerase memelihara keutuhan DNA telomere. Ini memungkinkan kromosom tersalin utuh setiap kali sel membelah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo