Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sinar matahari baru terasa sengatannya di tepi Danau Ogan Permata Indah, Palembang, Sabtu dua pekan lalu. Udara segar dan cerah mengungkit semangat Tempo turut mencicipi kejuaraan aquatlon yang tengah berlangsung di sana. Tempo pun menunggu di titik start lomba lari. Tak lama berselang, satu per satu peserta berperawakan kukuh dengan perut six pack muncul dari danau setelah menuntaskan lomba renang. Mereka melanjutkannya dengan lomba lari. Tempo ikut berlari mengimbangi langkah para atlet menyusuri jalur di seputar danau.
Setengah jam berselang, jarak yang ditempuh belum juga setengah dari rute seharusnya. Tapi napas sudah memburu, perut agak bergolak—mungkin karena minim persiapan. Yang jelas, peserta lain, bahkan yang terakhir keluar dari danau, sudah melesat di depan dan lenyap di tikungan. Tempo menyerah, dan ”mengejar ketertinggalan” dengan naik mobil bak terbuka bersama para wartawan lain. Jika mengikuti aquatlon pagi itu, kita berenang satu kilometer dan lari 2,5 kilometer.
Kelas yang lebih berat hadir keesokan harinya: triatlon. Karena tahu diri, Tempo tak berani lagi coba-coba. ”Menunya” terdiri atas renang 1,5 kilometer, balap sepeda 40 kilometer, dan lari 10 kilometer. ”Ini yang pertama kali menerapkan standar internasional di sini,” kata Presiden Federasi Triatlon Indonesia Mark Sungkar.
Asian Aquathlon & Triathlon Championship digelar 10-11 Oktober lalu di seputar kawasan Jakabaring, Palembang. Ajang ini sudah diagendakan dalam kongres International Triathlon Union (ITU) di Madrid, Spanyol, pada 2008.
Perlombaan kali ini dibagi menjadi lima kategori, yang memasukkan kelompok profesional, junior, baik untuk aquatlon maupun triatlon, serta kategori estafet untuk tiga atlet, yang terdiri atas berenang 750 meter, balap sepeda 20 kilometer, dan lari 5 kilometer.
Peserta berasal dari 12 negara, yakni Rusia, Amerika Serikat, Taiwan, Kanada, Selandia Baru, Hong Kong, Australia, Filipina, Korea Selatan, Thailand, Singapura, dan Indonesia. ”Triatlon di Taipei tahun lalu hanya diikuti lima negara,” Mark membandingkan. Padahal anggota federasi triatlon dunia baru 24 negara. Pencapaian di Indonesia merupakan hasil dari lobi panjang ke luar negeri untuk meyakinkan bahwa Indonesia aman dikunjungi.
Penyelenggara boleh puas, karena lomba berkelas internasional ini cukup sukses. Ini semua berkat persiapan serius. Danau Ogan yang kerap menjadi ajang pasangan muda-mudi menghabiskan senja—masyarakat setempat menyebutnya Danau Cinta—pun dibersihkan jauh hari sebelumnya. Puluhan pondok penjual kelapa muda dan jagung bakar diusir sementara. Di salah satu sisi danau dibangun dermaga untuk start renang. Jalan di seputar danau juga dibersihkan untuk melancarkan rute lari maraton dan balap sepeda. ”Waktu persiapan dua bulan, biayanya lebih dari Rp 1 miliar,” kata ketua panitia Hannan Zulkarnain.
Alhasil, peserta dapat menikmati rute—yang berpemandangan indah—sekaligus menggenjot adrenalin. Mereka berenang tenang di lintasan dalam danau, berlari atau bersepeda melintasi rute alam bebas. Memang pada trek lari dan sepeda tidak sungguh steril—kadang peserta harus mendahului rombongan ibu-ibu bersepeda yang pulang dari sawah. Tapi justru itu keunikan triatlon, karena bersentuhan dengan lingkungan lokal. ”Saya bisa menikmati lokasi dan budaya yang berbeda dari dekat,” kata Craig Johns, 33 tahun, peserta dari Selandia Baru.
Johns sudah menggeluti triatlon selama sepuluh tahun, dan rajin berburu kejuaraan di berbagai negara untuk menikmati perjalanan ke beragam daerah. ”Saya senang di sini, alamnya indah dan hangat, orangnya ramah,” katanya. Pekan berikutnya Johns bertolak mengikuti lomba serupa di Hong Kong.
Demikian juga dengan Brandon Barret, 27 tahun, peserta Amerika yang menjuarai Triathlon Cup di Palembang itu. ”Ini tentang lifestyle, saya menikmatinya seperti traveling,” dia menuturkan alasannya rajin mengikuti lomba triatlon. Di Palembang dia mencatatkan waktu tercepat 1:56:32 detik. Setiap tahun, rata-rata Barret mengikuti 20 lomba itu di berbagai negara. Niat awalnya mengikuti triatlon adalah untuk merasakan sensasi gabungan tiga jenis olahraga. ”Sesuatu yang berbeda,” kata Brandon, yang awalnya menekuni cabang renang saja.
Ini juga alasan Agatha Rhana Aveonita, 16 tahun, peserta dari Surabaya. Atlet junior ini awalnya menekuni renang, tapi sejak triatlon marak, dia melebarkan jangkauan. ”Bosan juga di air terus,” kata siswi kelas dua sekolah menengah atas itu. Sejak itu dia menggembleng fisik dengan lari dan bersepeda, selain renang. Hasilnya lumayan. Pada kejuaraan di Palembang dua tahun lalu dia menyabet nomor satu kelas junior wanita, demikian juga di Bali. Sayang, di Palembang kali ini dia di peringkat kedua junior wanita.
Triatlon merupakan olahraga gado-gado—istilah kerennya crossover—ciptaan Scott Tinley, yang mulai dilombakan sejak 1920-an di Prancis dengan nama Les trois sports. Gabungan lari, sepeda, dan renang itu awalnya digunakan untuk latihan atlet lari. Triatlon modern baru dikenal resmi sejak penyelenggaraan Mission Bay Triathlon di San Diego, Amerika, pada 25 September 1974. Ajang itu diikuti 46 orang atlet.
Standar olimpiade triatlon diperkenalkan Direktur Triatlon Jim Curl pada pertengahan 1980-an. Penetapan jarak itu dilakukan setelah Curl dan rekannya, Carl Thomas, sukses menggelar Seri Triatlon Amerika pada kurun 1982-1997.
Di Indonesia, triatlon relatif masih muda. Awalnya pada 1995, setelah Mark Sungkar bertemu dengan Presiden ITU Lese Mc Donald, yang mengiming-imingi kunjungan atlet triatlon berikut keluarga dan timnya jika ada perlombaan di Indonesia. ”Saya pikir ini devisa,” kata Mark.
Maka kejuaraan pun mulai disiapkan pada 1997, tapi gagal lantaran krisis ekonomi. Upaya menggelar triatlon baru dilanjutkan lagi, antara lain pada 2005 di Belitung, tahun berikutnya di Makassar, dan 2007 di Palembang. Turnamen tingkat internasional pertama digelar di Bali pada 2008 dengan peserta dari 18 negara. Pihak luar kadang juga memilih Indonesia sebagai tempat kejuaraan triatlon.
Triatlon memang bukan olahraga semata, tapi masuk unsur hiburan dan petualangan. Itulah mengapa lomba seperti ini biasa diadakan di tempat wisata, seperti di pantai-pantai Bintan, Bali, Madura, dan Lombok bulan depan. Ajang di Palembang kemarin memang tidak di pantai, tapi di pinggir danau, juga melewati pinggiran sawah. Salah satu variannya, duatlon, akan digelar di Taman Impian Jaya Ancol, Jakarta, 25 Oktober nanti. Kejuaraan ini menyasar peserta keluarga dengan kompetisi lari dan balap sepeda masing-masing sejauh dua kilometer.
Mark mengatakan pihaknya akan mencari lokasi menarik di Jawa Tengah untuk triatlon selanjutnya. Itu sekaligus untuk promosi wisata. ”Kalau tempatnya menarik, atlet luar membawa keluarga juga,” katanya. Dia mendambakan triatlon di Indonesia bisa sesukses ajang tahunan di Hamburg, Jerman, yang bisa mendatangkan total turis 600 ribu orang.
Harun Mahbub (Palembang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo