Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Tiga pembangkit Listrik Tenaga Biomassa di tiga desa di Pulau Siberut, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat berhenti beroperasi.
Sulitnya mendapatkan pasokan bambu membuat pembangkit itu sempat memakai bahan baku kayu yang berasal dari penebangan hutan di dekat kebun masyarakat.
Sejak awal Agustus ketiga PLTBm sudah beroperasi kembali tetapi menggunakan tenaga minyak diesel yang bukan merupakan sumber energi terbarukan.
MUSIM panen cengkih tiba di Desa Saliguma, Siberut Tengah, Pulau Siberut, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, pada akhir Juli lalu. Seperti biasanya, warga pergi ke kebun untuk memetik cengkih sejak pagi hingga matahari terbenam. Malam harinya, mereka memisahkan bunga cengkih dari tangkainya. Namun, sejak Juni lalu, mereka tak lagi bisa beraktivitas ketika datang gelap sejak pembangkit listrik tenaga biomassa di Saliguma berhenti mengalirkan setrum. “Kami cuma bisa kerja sampai sore. Malam tidak bisa kerja apa-apa karena tidak ada listrik,” kata Rupiela Salimu, 35 tahun, warga Desa Saliguma, akhir Juli lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLTBm) Saliguma diresmikan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang Brodjonegoro pada 17 September 2019. Dua PLTBm lain juga diresmikan, yakni di Desa Madobag dan di Desa Matotonan, Siberut Selatan. Kini ketiga pembangkit listrik itu berhenti berproduksi. Akibatnya, 388 keluarga di Saliguma, 468 keluarga di Madobag, dan 256 keluarga di Matotonan harus menikmati malam dengan cahaya lampu minyak tanah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada saat peresmian, Menteri Bambang Brodjonegoro menyebutkan pembangkit listrik tenaga biomassa bambu itu merupakan yang pertama di Indonesia, bahkan mungkin di kawasan Asia-Pasifik. Hanya, belum genap setahun umurnya, pembangkit itu dihadang sejumlah masalah. Di antaranya mesin kerap macet; bahan baku bukan lagi bambu, melainkan kayu; dan warga enggan memasok bahan baku karena harganya tidak sebanding dengan tenaga yang dikeluarkan.
PLTBm ini dibangun dari dana hibah pemerintah Amerika Serikat sebesar US$ 12,4 juta melalui Millennium Challenge Corporation. Dalam inisiatif ini, pemerintah Indonesia diwakili Bappenas dan PT Charta Putra Indonesia sebagai pelaksana proyek yang menggandeng PT Inti Karya Persada Tehnik untuk membangun pembangkit. Adapun PT Ekologika menyiapkan 150 ribu bibit bambu yang dibagikan kepada 1.233 keluarga di tiga desa. Teknologi gasifikasi bambu didatangkan dari Ankur Scientific Energy Technologies Pvt Ltd, India.
Menurut Deputi Bidang Sarana dan Prasarana Bappenas Kennedy Simanjuntak, konsep pembangkit dengan energi terbarukan ini menarik. Sebab, masyarakat akan bisa memproduksi listrik dengan sumber daya yang ada di sekitarnya. “Mereka menanam bambu, lalu bambu dibeli oleh PLTBm. Mereka bisa mendapatkan listrik, juga mendapatkan penghasilan dari penjualan bambu tersebut,” ucap Kennedy. Pekerja di PLTBm juga direkrut dari masyarakat setempat. Pemerintah Kabupaten Kepulauan Mentawai menyambut baik proyek ini. Sebab, di Pulau Siberut, setrum Perusahaan Listrik Negara baru menjangkau kota kecamatan.
Tiga PLTBm mulai dibangun pada Februari 2017 dan rampung pada Februari 2018. Ketiganya secara total mampu menghasilkan 700 kilowat listrik untuk mengaliri hunian 1.233 keluarga di tiga desa. Namun impian mewujudkan program Mentawai Terang dengan energi bambu alias betung itu tak berjalan sesuai dengan harapan.
Koordinator PLTBm Saliguma, Enem Ogok Saroro, mengatakan banyak masalah dalam pengoperasian pembangkit itu. Untuk beroperasi selama delapan jam, agar bisa mengalirkan listrik ke rumah penduduk selama enam jam, PLTBm dihidupkan mulai pukul 16.00 hingga pukul 24.00. Untuk itu, pembangkit membutuhkan 1,2-1,6 ton kayu. “Namun kain penyaring gas sudah tidak ada yang bisa dipakai lagi. Harus diganti. Itu jadi kendala utama,” tutur Enem.
Dalam satu gasifier—mesin untuk proses pembuatan gas—ada 42 kain penyaring agar gas yang dialirkan bersih dari abu sisa pembakaran biomassa. Setelah beberapa kali digunakan, kain penyaring harus diganti, dicuci dalam air panas, lalu dijemur dan dikeringkan supaya bisa digunakan lagi. Penyaring juga hanya boleh dipakai dua kali. Bongkar-pasang kain penyaring gas pun membutuhkan waktu. Selama masa perawatan ini, PLTBm menggunakan mesin diesel agar listrik terus mengalir ke rumah penduduk.
PLTBm di Madobag punya masalah sama: kehabisan penyaring gas. Menurut Alexius, koordinator PLTBm Madobag, ketika kain penyaring gas tak bekerja maksimal, panas pada mesin bisa menyebabkannya mati mendadak. Selain itu, busi dan suku cadang lain bisa rusak. “Pipanya kalau tersumbat tar dari gas sisa juga harus kami bongkar untuk membersihkannya, lalu dilas lagi,” ujarnya.
Sejumlah kerumitan dan masalah itulah yang membuat ketiga PLTBm akhirnya lebih banyak menghasilkan listrik dari mesin diesel, bukan bambu seperti rencana awal. Padahal diesel awalnya berfungsi sebagai pemancing untuk menghidupkan pembangkit. PLTBm di Saliguma menggunakan bahan bakar bambu hanya saat peresmian. Itu pun didatangkan dari Madobag. Setelah itu, bahan bakarnya adalah kayu dari hutan di dekat kebun penduduk. Hanya PLTBm Madobag dan Matotonan yang memakai bambu.
Direktur Unit PLTBm Siberut Hendrikus Erik Saurei menduga mesin pembangkit kerap macet karena lama tidak digunakan setelah diuji coba pada Februari-April 2018. “Ibarat kita beli speedboat, kalau sudah dipakai sekali dan kemudian dibiarkan, pasti mesinnya bisa rusak. Sama dengan mesin biomassa ini,” katanya.
Selain masalah mesin, problem yang dialami adalah soal bahan baku bambu. Masyarakat keberatan atas harga bambu dan kayu yang dinilai sangat murah. PLTBm menghargai bambu dan kayu gelondongan Rp 300 per kilogram. Bambu dan kayu yang dicincang kecil dan dikeringkan diberi harga Rp 700 per kilogram. Itu tak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan.
Lucia Sarua Oinan, perempuan 41 tahun warga Desa Saliguma, berbagi pengalaman soal itu. Ia dan suaminya menebang pohon sebesar paha orang dewasa di sekitar ladangnya, lalu mengangkut kayu dengan sampan ke rumahnya. Di sana, ia memotongnya kecil-kecil dengan parang, mencincang, lalu menjemurnya. Setelah kering, barulah kayu dijual ke PLTBm. Untuk pekerjaan selama dua bulan itu, ia hanya mendapat Rp 700 ribu. “Hasilnya sangat jauh dari perkiraan kami,” ujar Lucia.
PLTBm bambu dan bambu dari bibit di Madobag, Pulau Siberut, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, 4 September 2020. TEMPO/Febriyanti
Dengan adanya PLTBm, Lucia memang bisa menikmati listrik mulai pukul 18.00 hingga pukul 24.00. Dalam sebulan, ia membeli pulsa listrik dari PLN sebesar Rp 24 ribu untuk tiga bola lampu. Biaya listrik itu bisa ia dapatkan dari menjual setandan pisang yang harganya mencapai Rp 50 ribu. “Harga itu separuhnya saja bisa untuk membayar listrik,” ucap Lucia.
Aman Jairo, warga Madobag, mengaku pernah menjual lima batang bambu dari ladangnya. "Bambunya dari yang ditanam leluhur dulu. Bambu yang mereka berikan sudah saya tanam, tapi masih kecil," tuturnya. Aman juga merasa harga bambunya terlalu murah, padahal ia membawanya jauh dari ladang. "Warga ingin harganya Rp 2.000 per kilogram. Dengan harga sekarang, mereka kurang bersemangat," ujar Sekretaris Desa Saliguma, Mateus Saboijat.
Mengatasi sulitnya mendapatkan bambu sebagai bahan baku, pengelola PLTBm mengaku terpaksa menerima kayu agar pembangkit tetap beroperasi. "Tapi kayu yang dibolehkan hanya kayu residu hutan, seperti bekas kayu membuat sampan, kayu sisa membersihkan ladang, diameternya di bawah 20 sentimeter," kata Hendrikus Erik Saurei.
Direktur Yayasan Citra Mandiri Mentawai Rifai Lubis mengingatkan bahwa tujuan hibah proyek listrik tersebut adalah pelestarian lingkungan. "Kalau kemudian dengan listrik energi terbarukan ini harus menebang hutan, ini bukan lagi energi hijau,” ujarnya. Ia menyarankan pengembangan pembangkit listrik tenaga angin, air terjun, atau surya.
Setelah sempat tak berlistrik selama dua bulan, tiga desa kembali terang sejak awal Agustus lalu. Menurut Bupati Kepulauan Mentawai Yudas Sabaggalet, PLTBm kembali beroperasi karena dana subsidi operasional dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Mentawai yang sebesar Rp 3 miliar sudah cair. Namun tiga PLTBm itu masih menggunakan mesin diesel karena ada mesin pembangkit yang perlu diperbaiki. "Saya sudah menyurati Bappenas untuk memperbaiki mesin PLTBm yang rusak," ucap Yudas, 8 Agustus lalu.
Pejabat Pembuat Komitmen Bappenas Hari Kristijo mengatakan pembangkit sudah diserahkan kepada Pemerintah Kabupaten Kepulauan Mentawai pada Desember 2019. “Berarti tanggung jawab aset ada pada Pemkab Kepulauan Mentawai. Kalau mesinnya rusak, bisa diperbaiki menggunakan APBD Mentawai atau dana desa," tuturnya, Jumat, 28 Agustus lalu.
FEBRIANTI (SIBERUT), ABDUL MANAN
Artikel ini telah diperbaiki pada Kamis, 10 September 2020 pukul 22:14 karena ada kekeliruan pengutipan narasumber. Tertulis "ucap Rifai, 8 Agustus lalu" seharusnya "ucap Yudas, 8 Agustus lalu".
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo