Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah peneliti dari Western University's Institute for Earth and Space Exploration menemukan peluang untuk mengolah asteroid menjadi makan para astronot. Dalam sebuah riset yang terbit pada 3 Oktober 2024 melalui International Journal of Astrobiology, pengolahan batu angkasa itu dianggap bisa mengatasi masalah stok makanan dalam misi penjelajahan antar bintang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Melansir ulasan Live Science pada Kamis, 17 Oktober 2024, riset ini menyinggung masalah kru International Space Station (ISS) yang hidupnya bergantung pada pasokan makanan dari Bumi. Ketergantungan ini masih dibebani rumitnya logistik serta ongkos yang mahal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Kita harus mengurangi ketergantungan pada pasokan ulang dari Bumi," ujar Eric Pilles, pemimpin grup peneliti dalam studi tersebut.
Para ilmuwan mencetuskan cara untuk mencari bahan baku makanan yang mudah didapat dari stasiun luar angkasa tersebut. Setelah meneliti mikroba dan senyawa organik yang terkandung pada asteroid, muncul teori untuk menghasilkan biomassa yang dapat dimakan.
Asteroid harus diolah dengan metode pirolisis, yaitu pengolahan dengan panas tinggi untuk memecah senyawa organik asteroid di lingkungan tanpa oksigen. Proses itu menghasilkan hidrokarbon yang bisa disalurkan kepada mikroba. Produk akhirnya adalah biomassa yang mengandung nutrisi bagi manusia.
Seluruh teori ini hanya cocok untuk asteroid kondrit karbon. Batu angkasa ini mengandung unsur karbon, biasanya berupa senyawa organik seperti asam amino. Kondrit karbon mengandung 10,5 persen air dan materi organik dalam porsi besar.
Sebelum menjajal pirolisis pada sampel asteroid, para peneliti memperkirakan jumlah batu yang dibutuhkan dan potensi makanan yang bisa dihasilkan. Hasilnya, asteroid seperti Bennu—nama salah satu asteroid jenis kondrit korbon—bisa menghasilkan 50 hingga 6.550 ton biomassa yang bisa dimakan. Kalorinya cukup untuk menopang kehidupan astronot selama 600 hingga 17.000 tahun.
Bila berhasil diterapkan, temuan soal metode konsumsi asteorid ini bisa merevolusi perjalanan luar angkasa. Pasalnya, para astronot bisa mencari makanan di tengah perjalanan, alih-alih memboyong persediaan dalam jumlah besar dari Bumi. Namun, penelitian soal pengolahan asteroid ini masih harus dikembangkan, terutama soal kelayakan dan rasa makanan yang dihasilkan nantinya.
"Penggunaan karbon pada asteroid untuk menyediakan sumber makanan bagi manusia yang menjelajahi tata surya tampak menjanjikan, tetapi masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan,” begitu bunyi kesimpulan studi tersebut.
Pilihan Editor: Studi Pantau Gambut Soal Food Estate Kalimantan: Sebagian jadi Semak Belukar, Bahkan Kebun Sawit