Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Proyek Kemacetandi Jakarta

11 September 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Darmaningtyas

  • Anggota DPP Masyarakat Transportasi Indonesia, bidang advokasi.

    JAKARTA macet? Biasa. Justru luar biasa jika Jakarta lancar. Apalagi sekarang, ketika Pemerintah DKI Jakarta membangun jalur khusus bus (busway) empat koridor sekaligus. Kemacetan telah meluas ke kota-kota penyangga di sekitarnya seperti Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Maklum, setiap hari sekitar 600 ribu unit kendaraan pribadi dari wilayah Bodetabek mara ke Jakarta.

    Studi Rencana Induk Transportasi Terpadu Jabodetabek (The Study on Integrated Transportation Master Plan, disingkat SITRAMP) mencatat: bila tidak ada perbaikan, pada 2020 kerugian yang ditimbulkan oleh kemacetan itu akan mencapai Rp 65 triliun. Hitung-hitungannya: Rp 28,1 triliun untuk tambahan biaya operasional kendaraan, dan 36,9 persen untuk waktu perjalanan yang lebih lama—berdasarkan harga saat ini dengan diskonto 12 per­sen. Kerugian itu jauh lebih besar diban­dingkan dengan kebutuhan biaya u­ntuk melakukan perbaikan.

    Untuk memecahkan persoalan itu, ren­cana Induk Transportasi SITRAMP 2020 mengusulkan sejumlah solusi. Per­tama, terkait dengan kebijakan peningkatan penggunaan angkutan umum. Men­cakup antara lain pembangunan busway di koridor-koridor utama, pelebaran jalan untuk mengakomodasi busway, double track Bekasi, jalur ganda Serpong, pembangunan perkotaan yang terintegrasi, serta mass rapid transit (MRT) Jakarta Kota-Ciputat.

    Kedua, terkait dengan kebijakan me­ngurangi kemacetan lalu-lintas. Antara lain mencakup penyelesaian jalan lingkar luar Jakarta, membangun jalan akses Tanjung Priok, peningkatan akses Cengkareng, membangun Jakarta outer ring road (JORR) 2, pembangunan sejumlah tol di Kalimalang, Depok-Antasari, Jatiasih-Cikarang, bypass kota di Parung, Ciputat, dan kota-kota di Bodetabek, serta jembatan flyover/underpass di persimpangan-persimpangan bottleneck.

    Ketiga, berkaitan dengan kebijakan mengurangi pencemaran udara dan kebisingan lalu-lintas. Mencakup pe­ningkatan program inspeksi dan pemeliharaan kendara­an, promosi penggunaan bahan bakar diesel berkadar sulfur rendah, promosi penggunaan biofuel, dan promosi ken­daraan berbahan bakar gas.

    Sementara SITRAMP 2020 mencoba menawarkan solusi alternatif untuk pemecahan masalah transportasi di Jabodetabek, Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 82/2004 tentang Penetapan Pola Transportasi Makro (PTM) di Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta dimaksudkan sebagai tawaran solusi dari keruwetan transportasi di ­Jakarta.

    Kedua konsep itu bisa bertemu, seperti dalam pemba­ngunan flyover/underpass di persimpangan-persim­pang­an bottleneck. Tapi, ada pula perbedaannya. Misalnya, SITRAMP mengusulkan pelebaran jalan untuk busway dan membangun tiga ruas jalan tol (Kalimalang, Depok-Antasari, Jatiasih-Cikarang sampai JORR 2), sedangkan PTM tidak.

    SITRAMP lupa (atau pura-pura tidak tahu) bahwa alter­natif itu ibarat undangan untuk tetap memakai mobil pribadi, bukan angkutan umum. Selain itu, bila Pemda DKI Jakarta juga berniat membangun enam ruas jalan tol dalam kota, selain berlawanan dengan filosofi pembangun­an busway, juga melanggar PTM.

    Jadi, bila kita baca usulan SITRAMP, tergambar bahwa konsep ini bukan untuk memperbaiki kondisi lalu-lintas di wilayah Jabodetabek, melain­kan ”mencari proyek baru” dari kema­cetan. Skenario SITRAMP 2020 pun pada dasarnya melanjutkan pengembangan jaringan bus priority (termasuk busway) dan jaringan angkutan massal (MRT), yang meliputi jaringan kereta rel Jabodetabek dan jaringan MRT/metro/subway. Bila konsisten pada skenario, keberadaan monorel pun tidak ada dalam skenario itu.

    Lantas, bagaimana dengan Pola Transportasi Makro Jakarta? Rumus­an­­nya bagus, namun dijalankan secara tidak konsisten. Salah satu bukti­nya, pada saat pengembangan bus priority dan TDM belum berjalan maksimal, perhatian pemda sudah beralih ke pembangun jalan tol dan monorel.

    Dari sini bisa disimpulkan, konsep pertama akan meningkatkan penggunaan mobil pribadi dan kebisingan kota, sedangkan yang kedua akan menguras APBD untuk subsidi pengusaha monorel (estimasi saya, minimum Rp 300 miliar per tahun). Jelas, dua masalah besar menghadang di sini.

    Bila ingin solusi yang baik, Rencana Induk SITRAMP 2020 harus direvisi total agar lebih solutif, sedangkan PTM dijalankan secara konsisten. Selain itu, sudah saatnya pemda ketiga provinsi (DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten), yang terdiri dari delapan kota/kabupaten, du­duk bareng menyelesaikan masalah bersama. Tanpa mem­persoalkan siapa yang berkuasa.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus