Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Rumah Lempung

Ala (artificial light-weight aggregate), batu kerikil buatan, hasil penelitian bersama dpmb dengan japan internasional cooperation agency (jica). lebih awet dibanding beton, dan lebih murah. (ilt)

3 Desember 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RUMAH susun berlantai empat di Jalan Turangga, Bandung, sekarang dihuni, delapan keluarga pegawai DPMB. Jemuran pakaian menyembul dari tiap lantai. Dan di halaman, ramai anak-anak bermain. Dibangun setahun lalu, untuk rumah contoh dengan menggunakan ALA (Artificial Light-weight Aggregate) sebagai bahan adukan beton, "harganya 10% lebih murah dari rumah biasa," kata Zulkarnain Aksa, kepala Subdirektorat Pengembangan Direktorat Penyelidikan Masalah Bangunan (DPMB) Departemen PU. ALA, alias batu kerikil buatan, adalah hasil penelitian bersama DPMB dengan Japan International Cooperation Agency (JICA), sejak lima tahun silam. Penelitian itu sudah selesai dan sekarang ALA siap dilempar ke masyarakat. "Kami mengundang pengusaha swasta agar membuat ALA secara komersial," kata Karmn Somawidjaja, direktur DPMB. Bagi yang berminat, DPMB akan memberi resep membuatnya. Bentukna seperti batu kerikil biasa, warnanya kecokelatan dan, dibanding kerikil biasa, ALA lebih ringan. Beton yang terbuat dari kerikil biasa, beratnya sampai 2.500 kg per m3, sementara untuk ukuran sama, beton ALA cuma 1.800 kg. Ini penting karena bobot mati bangunan menjadi lebih rigan. "Dengan begitu, komponen struktural bangunan, seperti pondasi, bisa dikurangi. Jadi, lebih ekonomis," ujar Zulkarnain. Belum lagi daya tahan: ALA diperkirakan lebih tahan cuaca dibanding kerikil alam, karena tanpa pori-pori yang mudah dirasuki air. Dari pengujian yang dilakukan DPMB, kekuatan beton ALA - yang berbobot lebih ringan itu- sama saja dengan beton kerikil lama. Kedua jenis beton itu, ketika diuji, punya daya tekan sekitar 250 kg per m2. Yang terpenting dari semua itu, bahan bau ALA cukup banyak di sini. Yaitu tanah liat alias lempung yang berkadar silika tinggi. Lempung jenis ini ditemukan di daerah kurang subur (silika itu memang menggersangkan tanah). Ini membedakannya dengan lempung biasa yang justru terdapat di daerah subur -karena kadar silikanya rendah yang banyak dipakai sebagai bahan baku batu bata. "Tanah lempung bersilika tinggi itu selama ini belum dimanfaatkan," ujar Zulkarnain. Dia menunjuk Kabupaten Cilacap (Jawa Tengah) dan Purwakarta (Jawa Barat) sebagai contoh. Guna penelitian, di atas areal 1/2 ha di Cilacap dibangun pabrik percobaan. Cara kerja pabrik itu tak terlalu rumit. Di sana, tanah liat mula-mula dikeringkan sampai kadar airnya di bawah 6%, kemudian dipecah-pecah menyerupai batu kerikil berukuran garis tengah 5-10 mm. Semua proses itu dikerjakan mesin dengan sistem ban berjalan. Selanjutnya, butiran lempung itu dibakar di dalam tungku putar bersuhu 1250øC. Tak sampai lima menit, lempung itu sudah mengeras, lalu dicelupkan ke dalam mesin pendingin untuk menurunkan suhu dengan mendadak dan sekaligus mencucinya dari debu bekas pembakaran. Yang keluar dari sana sudah kerikil ALA berwarna kecokelatan. Pekerjaan tinggal memisah-misahkannya di dalam berbagai ukuran besar yang seragam. Sebetulnya, penemuan itu bukan soal baru. Ia sudah dikenal di Jepang dan, karena bobotnya yang ringan, amat cocok dipakai untuk bangunan bertingkat di negeri yang sering diguncang gempa itu. Tapi, setelah harga minyak meloncat, serta bahan bakunya pun tak cukup banyak di sana, kerikil yang dibuat oleh mesin ini tak lagi populer. Entah.di sini, kelak. Yang jelas, ketika menghadiri upacara berakhirnya kerja sama DPMB-JICA di Bandung, 22 November lalu, sekretaris Ditjen Cipta Karya, Departemen PU, Soelistyo Gitohamidjojo, berkata, "Pemerintah akan memakai kerikil buatan untuk bangunan bertingkat banyak."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus