RUMAH susun berlantai empat di Jalan Turangga, Bandung, sekarang
dihuni, delapan keluarga pegawai DPMB. Jemuran pakaian
menyembul dari tiap lantai. Dan di halaman, ramai anak-anak
bermain. Dibangun setahun lalu, untuk rumah contoh dengan
menggunakan ALA (Artificial Light-weight Aggregate) sebagai
bahan adukan beton, "harganya 10% lebih murah dari rumah biasa,"
kata Zulkarnain Aksa, kepala Subdirektorat Pengembangan
Direktorat Penyelidikan Masalah Bangunan (DPMB) Departemen PU.
ALA, alias batu kerikil buatan, adalah hasil penelitian bersama
DPMB dengan Japan International Cooperation Agency (JICA), sejak
lima tahun silam. Penelitian itu sudah selesai dan sekarang ALA
siap dilempar ke masyarakat. "Kami mengundang pengusaha swasta
agar membuat ALA secara komersial," kata Karmn Somawidjaja,
direktur DPMB. Bagi yang berminat, DPMB akan memberi resep
membuatnya.
Bentukna seperti batu kerikil biasa, warnanya kecokelatan dan,
dibanding kerikil biasa, ALA lebih ringan. Beton yang terbuat
dari kerikil biasa, beratnya sampai 2.500 kg per m3, sementara
untuk ukuran sama, beton ALA cuma 1.800 kg. Ini penting karena
bobot mati bangunan menjadi lebih rigan. "Dengan begitu,
komponen struktural bangunan, seperti pondasi, bisa dikurangi.
Jadi, lebih ekonomis," ujar Zulkarnain. Belum lagi daya tahan:
ALA diperkirakan lebih tahan cuaca dibanding kerikil alam,
karena tanpa pori-pori yang mudah dirasuki air. Dari pengujian
yang dilakukan DPMB, kekuatan beton ALA - yang berbobot lebih
ringan itu- sama saja dengan beton kerikil lama. Kedua jenis
beton itu, ketika diuji, punya daya tekan sekitar 250 kg per m2.
Yang terpenting dari semua itu, bahan bau ALA cukup banyak di
sini. Yaitu tanah liat alias lempung yang berkadar silika
tinggi. Lempung jenis ini ditemukan di daerah kurang subur
(silika itu memang menggersangkan tanah). Ini membedakannya
dengan lempung biasa yang justru terdapat di daerah subur
-karena kadar silikanya rendah yang banyak dipakai sebagai bahan
baku batu bata. "Tanah lempung bersilika tinggi itu selama ini
belum dimanfaatkan," ujar Zulkarnain. Dia menunjuk Kabupaten
Cilacap (Jawa Tengah) dan Purwakarta (Jawa Barat) sebagai
contoh.
Guna penelitian, di atas areal 1/2 ha di Cilacap dibangun pabrik
percobaan. Cara kerja pabrik itu tak terlalu rumit. Di sana,
tanah liat mula-mula dikeringkan sampai kadar airnya di bawah
6%, kemudian dipecah-pecah menyerupai batu kerikil berukuran
garis tengah 5-10 mm. Semua proses itu dikerjakan mesin dengan
sistem ban berjalan.
Selanjutnya, butiran lempung itu dibakar di dalam tungku putar
bersuhu 1250øC. Tak sampai lima menit, lempung itu sudah
mengeras, lalu dicelupkan ke dalam mesin pendingin untuk
menurunkan suhu dengan mendadak dan sekaligus mencucinya dari
debu bekas pembakaran. Yang keluar dari sana sudah kerikil ALA
berwarna kecokelatan. Pekerjaan tinggal memisah-misahkannya di
dalam berbagai ukuran besar yang seragam.
Sebetulnya, penemuan itu bukan soal baru. Ia sudah dikenal di
Jepang dan, karena bobotnya yang ringan, amat cocok dipakai
untuk bangunan bertingkat di negeri yang sering diguncang gempa
itu. Tapi, setelah harga minyak meloncat, serta bahan bakunya
pun tak cukup banyak di sana, kerikil yang dibuat oleh mesin ini
tak lagi populer. Entah.di sini, kelak.
Yang jelas, ketika menghadiri upacara berakhirnya kerja sama
DPMB-JICA di Bandung, 22 November lalu, sekretaris Ditjen Cipta
Karya, Departemen PU, Soelistyo Gitohamidjojo, berkata,
"Pemerintah akan memakai kerikil buatan untuk bangunan
bertingkat banyak."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini