SATU jam setelah pendaratan, barulah pintu Atlantis terbuka. Dari perut pesawat ulang-alik Amerika itu, lima astronaut melangkah keluar dengan wajah berseri. Tanda keletihan tak terlihat pada awak pesawat yang baru mengangkasa selama lebih dan 105 jam itu. "Sangat mengasyikkan. Ini misi yang sukses," ujar Letkol. (AL) Robert L. Gibson, komandan ekspedisi penerbangan itu. Keberhasilan Gibson dan empat awak lain mendaratkan Atlantis dengan mulus di bandar militer Edward di Cate Canaveral, Florida, Selasa sore (waktu setempat) pekan lalu itu mendapat sambutan sangat hangat dari para pejabat Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika, NASA. "Ini penerbangan akbar," kata Dr. James Fletcher, pimpinan NASA, sembari menebar senyum. Senyuman Fletcher agaknya menandai pulihnya rasa percaya diri NASA dalam soal program pesawat ulang-alik. Pamor Amerika memang sempat meredup gara-gara pesawat ulang-alik Challenger meledak dalam misi penerbangannya, Januari 1986 silam. "Aib" itu bisa ditutupi ketika pesawat Discovery, abang Challenger dan Atlastis, berhasil menjalankan misi penerbangannnya, akhir September silam. Celakanya, di saat NASA sedang berseri-seri, Uni Soviet datang menyodok dengan keberhasilannya meluncurkan Buran ke orbit bumi bulan lalu. Untung, Atlantis bisa cepat meluncur, sehingga pamor Amerika tak perlu anjlok untuk kedua kalinya. Kedua negara itu kini sama-sama memiliki wahana pesawat ulang-alik untuk penjelajahan angkasa luar. Namun, Amerika masih bisa menepuk dada: lebih kaya dalam soal pengalaman, dengan 27 kali peluncuran, sekali di antaranya, Challenger, mengalami musibah total. Sementara ini, Uni Soviet baru mencatat satu kali keberhasilan lewat Buran. Sukses Atlantis membuat girang pula Pentagon. Berkat si burung besi itu, satelit mata-mata generasi paling gres dari Amerika, Lacrosse, kini bisa "nongkrong" di atas bumi Uni Soviet dan Eropa Timur. Bermodal satelit itu, Pentagon bisa mengintip segala kegiatan yang ada di Uni Soviet dan sebagian sekutunya di Eropa Timur, setiap saat. Lacrosse mengorbit pada ketinggian 480 km di atas bumi. Satelit mata-mata seharga Rp 850 milyar ini bukan jenis satelit geostasioner, yang cuma nongkrong pada satu posisi saja. Tentang bagaimana pola lintasan Lacrosse, sejauh ini NASA maupun Pentagon masih merahasiakannya. Dibanding satelit-satelit pendahulunya, "mata" Lacrosse lebih tajam. Awan tebal, hujan, atau pekatnya malam tak menjadi halangan buat dia. Pada cuaca buruk seperti itu, satelit model lama, yang cuma mengandalkan instrumen foto dan kamera inframerah, biasanya harus menyerah. Instrumen foto, kendati bisa mengenali obyek sebesar kepala manusia, hanya bisa melihat jika langit terang dan jernih, tak terhalang awan. Pun hasil bidikan kamera inframerah bisa kacau jika permukaan bumi tertutup awan tebal. Padahal, kabarnya, rata-rata 70 persen wilayah Soviet diselimuti awan sehari-harinya. Keunggulan Lacrosse terletak pada sistem radarnya. Satelit itu sendiri, lewat antena transmisi yang 50 meter lebarnya, memancarkan gelombang radio frekuensi tinggi ke arah bumi. Oleh obyek di bumi, gelombang itu dipantulkan lagi ke atas, dan ditangkap oleh layar radar yang 30 meter lebarnya. Data mentah itu langsung dikirim ke stasiun bumi, yang kemudian diolah dan diubah menjadi potret. Obyek-obyek yang tersembunyi di bawah permukaan pun bisa dia intip. Dalam uji coba tujuh tahun lalu, misalnya, sistem radar ini bisa menjejaki sungai kuno selebar Bengawan Nil, yang tertimbun tanah, di Gurun Sahara. Pesawat pengebom B-2 Stealth pun dirancang bisa bekerja sama dengan Lacrosse. Dengan memanfaatkan laporan Lacrosse, B-2 bisa menetahui posisi musuh, tanpa melihat pada radarnya sendiri. Sebagai alat mempertahankan diri, kabarnya satelit Lacrosse itu juga sanggup melakukan deteksi dini terhadap gerakan rudal lawan. Intai-mengintai lewat satelit, antara AS dan Uni Soviet, memang telah berlangsung lama. Ditaksir kedua negara superkuat itu telah meluncurkan tak kurang dari 200 satelit militer. Dari jumlah itu, konon, Amerika memiliki sekitar 80 buah, selebihnya berlogo CCCP Uni Soviet. Sementara itu, dikabarkan Amerika sedang mengatur jadwal peluncuran 20-an satelitnya yang lain, sedangkan pihak Rusia masih punya stok 150 "mata-mata" yang kini sedang menunggu giliran untuk mengangkasa. Satelit-satelit itu tak cuma mengintip kehidupan negeri lain. Mereka juga menimbulkan ancaman baru, lewat bakan bakar nuklir yang mereka bawa. Koran The New York Times, beberapa waktu lalu, menurunkan tulisan yang menaksir bahwa Amerika dan Rusia saja telah menyumbang 70 buah reaktor nuklir di angkasa raya. Seri satelit Cosmos, milik Rusia, adalah sebuah contoh "mata-mata" pembawa reaktor nuklir itu. Sialnya, satelit semacam Cosmos tak hanya mencemari angkasa, juga memberikan ancaman langsung ke bumi. Cosmos 954, misalnya, jatuh di Kanada 1978 dan mencemari lokasi reruntuhannya dengan radioaktif. Cosmos 1402, yang jatuh di Diego Garcia kawasan Atlantik 1983, juga menimbulkan akibat serupa. Untung, Cosmos 1900, yang terempas di Afrika beberapa bulan lalu, tak memberikan pencemaran di bumi. Tapi ancaman nuklirnya pindah ke suatu daerah yang berada 800 km di atas bumi. Sistem pengaman satelit memang sengaja melontarkan reaktor berisi 50 kg uranium itu ke sana, agar tak menimbulkan ancaman langsung pada manusia. Cosmos 1900 atau Lacrosse diduga sekelas. Reaktor yang dibawanya bertenaga setara dengan listrik sekitar 10.000 watt. Namun, reaktor di kemudian hari akan mendatangkan ancaman lebih besar. Motor SP-100, kini sedang digarap riset NASA, misalnya, kekuatannya bisa mencapai 10 kali tenaga Lacrosse. Tentunya, bahan bakar Plutonium-238 yang diangkutnya juga akan memberikan ancaman yang lebih besar. PTH
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini