Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Almarhum mudjono dan suap

Almarhum eks menkeh mudjono, pernah mengajukan ruu suap olahraga ke dpr. atas usul karni ilyas, terbentuklah uu penyuapan untuk semua bidang, pada 27 oktober 1980. uu itu ternyata tak dapat berlaku sepenuhnya.

17 Desember 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PADA suatu sore, Juni 1980, Menteri Kehakiman Indonesia, ketika itu Mudjono -- kini almarhum -- meminta saya datang ke kantornya di Jalan Hayam Wuruk, Jakarta. Ada berita penting, pesannya. Saya, sebagai wartawan, tak begitu kaget dengan pesan itu. Sebab, pada masa itu saya memang kerap kali menemani beliau bekerja sampai larut malam, dan bahkan sampai dinihari. "Berita penting" beliau bisa berarti layak untuk ditulis, bisa pula hanya sekadar untuk pengetahuan, atau hanya sebagai alasan beliau untuk ngobrol. Seperti biasanya, pejabat yang sangat sederhana itu, di pintu masuk kamarnya, menyambut saya dengan teriakan "Merdeka", dan kemudian memanggil pelayan untuk menyiapkan kopi dan rokok kretek kegemarannya. "Hari ini saya telah mengajukan undang-undang suap olahraga ke DPR," kata Mudjono, memulai pemrbicaraan dengan muka berseri-seri. Ia lalu memanggil seoran stafnya untuk membawa fotokopi RUU tersebut. Ia sangat gembira, rupanya. Dengan upayanya itu, ia sangat yakin bahwa semua keluhan masyarakat, tentang merajalelanya penyuapan pemain sepak bola, sudah teratasi. Tahun-tahun itu isu suap di kalangan PSSI memang tengah ramai-ramainya. Ketua Umum PSSI ketika itu, Ali Sadikin, telah melaporkan pemain-pemainnya yang terkena suap di Merdeka Games (1978), ke Polda Metro Jaya. Tapi polisi tak menemukan pasal yang cocok untuk membawa pemain dan penyuap ke pengadilan. Pasal-pasal pidana yang ada ketika itu hanya mengancam hukuman penyuapan di kalangan pegawai negeri dan hakim. Kekurangan undang-undang untuk menjaring suap di bidang olahraga juga terasa ketika penegak hukum membawa beberapa pemain PSP (Padang) dan penyuapnya ke pengadilan. Karena kelangkaan undang-undang, kejaksaan "memaksakan" memakai pasal perjudian (pasal 303 KUHP). Tentu saja pasal itu tak layak. Kendati perbuatan itu terbukti, hakim hanya memvonis para pemain dan penyuapnya dengan hukuman percobaan. Kekurangan perangkat hukum itu segera menjadi "bulan-bulanan" dan dianggap sebagai penyebab mengapa masalah suap sepak bola sulit diberanlas. Ali Sadikin, misalnya, dalam suatu rapat kerja dengan DPR, menuntut lembaga itu agar secepat mungkin melahirkan undang-undang suap olahraga. Tuntutan serupa juga ditujukan ke instansi yang dipimpin Mudjono. Karena semua itulah pada hari itu Mudjono sangat puas. Ia merasa seakan-akan telah membuat pekerjaan besar yang akan memuaskan masyarakat banyak. Tapi saya tak segera mengiyakan. RUU itu, menurut saya, sangat tanggung. "Kenapa hanya menyangkut olahragawan. Bukankah semua profesi seperti pengacara, notaris, akuntan, wartawan, bahkan dokter bisa disuap?" tanya saya sambil memberikan contoh-contoh penyuapan di profesi-profesi tersebut. Untuk semua profesi itu sebagaimana juga untuk olahraga, kata saya, tak ada undang-undang yang mengaturnya. Mudjono, seingat saya, ketika itu hanya terdiam. Ia tidak membenarkan saya dan tak pula membantahnya. Setelah melaporkan RUU itu di TEMPO, saya tak pula memikirkan lagi masalah tersebut. Sampai suatu hari seorang anggota Komisi III DPR, yang juga pengacara terkenal, Albert Hasibuan, menelepon saya dan memberitahukan bahwa Mudjono merevisi RUU suapnya, sehingga tak hanya untuk bidang olahraga, tapi juga buat semua profesi. Yang mengagetkan saya, kepada anggota DPR itu, Mudjono dengan "jujur" menyebut saya sebagai sumber idenya. DPR ternyata tak keberatan dengan "ralat" Mudjono. Sebab itu, undang-undang yang disahkan Presiden pada 27 Oktober 1980 itu tak hanya mengatur bidang olahraga, tapi mengancam si penyuap mana saja dan si penerima suap siapa saja. Undang-undang itu mengancam siapa saja "yang memberi sesuatu atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang dengan maksud membujuk supaya orang itu berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangan dan kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum...". Ancaman serupa juga ditujukan kepada si penerima suap. Hanya saja, si penyuap bisa dihukum 5 tahun penjara dan denda Rp 15 juta, sedangkan si penerima bisa dipenjara selama 3 tahun dan denda Rp 15 juta. Menurut penjelasan undang-undang, yang dimaksud dengan "kewenangan dan kewajibannya" adalah termasuk kewajiban dan kewenangan yang ditentukan kode etik profesi atau yang ditentukan organisasi masing-masing. Setelah itu, puas atau tidak puas, tak ada lagi orang yang menyayangkan bahwa soal suap dalam bidang olahraga tak diatur undang-undang. Bahkan pada 1985, penegak hukum telah menguji undang-undang itu dalam persidangan Sun Kie alias Jimmy Sukisman, yang didakwa menyuap pemain-pemain klub Galatama Cahaya Kita. Pengadilan pun memvonis Sun Kie berdasarkan undang-undang itu, walau hanya setahun penjara. Tiba-tiba, pekan lalu, saya terkejut ketika pengacara terkenal Medan, Syarief Siregar, yang kini diadili dengan tuduhan menyuap pemain PSMS, menyebut bahwa undang-undang suap dalam bidang olahraga masih dalam rancangan, dan belum pernah lahir. Menurut Syarief, rancangan undang-undang suap di bidang olahraga itu pernah disampaikan Menteri Kehakiman kepada Presiden pada 21 Februari 1980. Tapi rancangan itu, katanya, sampai kini masih tetap rancangan, belum diterbitkan atau diundangkan. Undang-Undang Nomor 11/1980 itu, menurut Syarief, merupakan bentuk lain dari rancangan semula, dan tidak menyinggung perbuatan suap di bidang olahraga. "Bagaimana dapat, Saudara Jaksa Penuntut Umum mendakwakan saya suatu pasal yang termaktub dalam undang-undang yang bukan dalam hal perbuatan suap-menyuap dalam bidang olahraga?" tanya Syarief dalam nota keberatannya. Berdasarkan itu, ia berpendapat, tuduhan itu tak tepat ditimpakan kepadanya. Saya tentu saja tak berwenang untuk membahas apakah Syarief melanggar undang-undang itu atau tidak. Keterkejutan saya itu hanya menyebabkan saya terpaksa kembali membaca Undang-Undang No. 11/1980 tersebut. Sebab, sedikitnya, saya merasa ikut "berdosa" bila ternyata wujud undang-undang itu benar-benar tak lagi sesuai dengan maksud pembuatnya semula untuk menjaring kasus-kasus suap di bidang olahraga. Tapi setelah undang-undang itu saya baca kembali beberapa kali, saya yakin tak berdosa dalam hal itu. Mudah-mudahan, Almarhum Mudjono juga tetap tenang di sisi-Nya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus