ANGGOTA satuan penusuk dalam pasukan infanteri kalau mungkin, mestinya lebih jagoan dari seorang Rambo. Punya mata setajam elang, pendengaran sepeka kuping kelelawar dan cekatan bak kucing hutan. Syukur-syukur, mereka punya kulit sekeras baja. Sayang, jagoan semacam itu tak pernah hadir dalam pasukan Amerika di saat menjalani perang yang sebenarnya, di Vietnam misalnya. Maka, mereka terpaksa menelan pil pahit, harus lari dari Vietnam. Belajar dari pengalaman pahit itu, Amerika kini sibuk merombak kekuatan infanterinya. Hitung-hitung, sekalian menyelaraskan kekuatan diri dengan ancaman perang abad ke-21, yang konon akan melibatkan senjata kimia, biologi, laser dan nuklir. Maka, satuan penusuk tak akan lagi bertumpu kepada pensonel infanteri. Tugas itu kelak akan diambil alih oleh "Rambo-Rambo" keluaran pabrik. Sebutlah robot semut api (Fire Ant), buatan Standard Manufacturing Company (SMC), sebuah pabrik senjata di Amerika. Semut api ini dirancang khusus untuk menusuk barisan pertahanan lawan. Robot ini bentuknya menyerupai panser mini: lebarnya kurang dari semeter, panjang sekitar 2,5 m, dan tingginya tak lebih dari 1,5 m. Lantaran tugasnya terang-terangan menggebrak musuh, semut besi dengan enam roda itu sering disebut sebagai robot kamikaze, berani mati. Dalam medan datar dan tak berpenghalang, semut api ini mampu berlari dengan kecepatan lebih dari 130 km per jam. Bobotnya sekitar 240 kg tanpa muatan. Dia bisa disuruh memanggul senjata. Sambil menyeruduk, semut api ini sanggup menghancurkan tank lawan dengan rudal Vipernya. Sebagaimana robot perang lainnya, semut api ini dikendalikan dari jarak jauh. Dia bisa melihat musuh lewat kamera yang tersimpan rapi di balik kulit besinya. Dia juga sanggup mendengar suara sekeliling. Semua yang dilihat dan didengarnya bisa diikuti oleh majikannya, yang berada sekian kilometer di garis belakang. Kontak dengan majikan dijalin lewat gelombang radio. Robot semut api ini telah dibikin dalam beberapa bentuk. Ada yang mirip panser, ada pula yang menyerupai gerobak dorong yang telanjang, tanpa dinding pelindung. Pada lantai "gerobak" itu bisa dipasang senapan mesin berkaliber besar, untuk mencabik pertahanan musuh. Untuk menembus medan perang bersalju, perusahaan raksasa Amerika General Dynamics mempersiapkan RRV-3 (Robotic Research Vehicle seri tiga). Mesin perang tanpa awak ini dirancang sebagai pengintai. Dalam uji coba di daerah perbukitan dekat Denver musim dingin lalu, RRV-3 sanggup menembus salju setebal hampir 20 cm dengan kecepatan 13 km per jam. Desain RRV-3 ini sebetulnya merupakan modifikasi dari kendaraan ALV (Autonomous Land Vehicle), robot perang buatan pabrik Martin Marieta, di Denver. Sebagai sarana militer, ALV ini memang terkesan terlalu gembrot. Berat tubuhnya lebih dari 7 ton, disangga empat pasang roda. Panjangnya lebih dari 3 meter, tinggi sekitar 2,5 meter. Tentu saja, kehadiran ALV mudah diketahui pihak lawan. Seperti halnya RRV-3, ALV itu juga dikendalikan dari jarak jauh. Dalam tubuh ALV yang gendut itu terdapat radar, laser pelacak, kamera, dan tentu saja komputer. Berkat fasilitas itu, ALV bisa "melihat" keadaan sekeliling. Data penglihatannya itu diolah oleh komputer. Hasilnya, dia bisa membuat inisiatif gerak untuk menghindari benda perintang, atau mengatur arah rudal ke posisi lawan. Apa yang dia lakukan bisa diikuti oleh majikannya yang ngumpet beberapa kilometer di belakangnya, lewat layar monitor. Sejauh ini, prototipe ALV belum dilengkapi dengan senjata, dan uji coba masih terbatas pada manuver. Robot perang tak melulu menjalankan tugas infanteri ringan. TMAP (Teleoperated Mobile Antiarmor Platform), misalnya, dirancang untuk tugas-tugas artileri. Yang direncanakan dipasang pada TMAP ini adalah peluncur granat, rudal Stinger, rudal antihelikopter, roket antitank, atau meriam kaliber 60 mm. Penampilan TMAP mendapat pujian dari banyak pengamat perkakas militer. Bentuknya yang pipih dipandang bisa menjamin stabilitas tubuhnya, di saat melakukan gerak mendadak dan menembak. Pasangan roda depan maupun belakang bisa berbelok, hingga robot yang mirip panser mini itu cekatan dalam bermanuver. Namun, disadari, untuk medan perang yang sesungguhnya, robot beroda saja tak cukup. Soalnya, separuh daratan yang ada di muka bumi ini merupakan daerah yang tak bisa diinjak oleh kendaraan beroda. Keruan saja, kebutuhan akan robot berkaki tak mugkin dicegah lagi. Kebutuhan ini dilayani oleh Odetics Inc., perusahaan robot dan elektronik di Anaheim, California. Perusahaan ini telah memuat dua macam prototipe robot berkaki enan, yang diberi nama Odex I dan Odex II. Keenam kaki Odex ini terpasang melingkar pada tubuhnya yang silinder. Posisi kaki yang unik itu, digabung dengan kepala yang bisa berputar 360 derajat, memungkinkan robot ini leluasa bergerak ke segala arah, dengan stabilitas tubuh yang prima. Odex memang dipersiapkan untuk operasi militer di daerah perbukitan yang terjal. Dalam uji coba, kaki Odex terbukti mampu meniti teras-teras yang tingginya lebih dari 80 cm. Robot ini sanggup membawa beban seberat lebih dari satu ton, alias lima kali lipat berat tubuhnya. Dalam medan yang cukup sulit, robot dengan tujuh buah mikroprosesor itu mampu berjalan dengan kecepatan sekitar 13 km per jam. Berbeda dengan kakaknya, Odex II memiliki sebuah belalai, yang mencuat dari "keningnya", sebagai fasilitas tambahan. Belum jelas benar untuk apa belalai itu. Namun, kabarnya, Odex tak akan dilibatkan secara langsung dalam duel senjata dan menjalankan peran sebagai petugas survei: meneliti apakah senjata kimia, biologi, dan radiasi nuklir dipakai oleh musuh atau tidak. Robot berkaki jenis lain juga lahir dari pangkalan riset Harry G. Amstrong, milik Angkatan Udara Amerika, di Ohio. Oleh para perancangnya, robot yang tingginya satu meter dengan berat sekitar 70 kg itu diberi nama panggilan Marvin. Dia punya empat buah kaki dan sepasang tangan. Persendian di kaki dan tangan bisa digerakkan ke enam penjuru. Marvin dirancang untuk menangani tugas-tugas darurat di seputar lapangan terbang yang tengah dijarah bencana yang tak kasadmata: radasi nuklir, bom kuman atau taburan bahan kimia beracun. Dalam lingkungan yang berbahaya itu, kelak Marvin akan diterjunkan untuk memperbaiki landasan pacu, mengisi bahan bakar pesawat tempur, atau melakukan reparasi ringan terhadap pesawat terbang. Marvin digerakkan oleh sebuah motor berbatere 24 volt. Dalam medan datar, dia bergerak dengan roda yang terpasang di ujung kaki. Namun, pada lingkungan terjal, dia bergerak dengan melangkahkan keempat kakinya. Prototipe pertama Marvin kini sedang digarap. Tapi pihak perancangnya mengakui, masih diperlukan riset yang panjang untuk sampai pada Marvin yang siap beraksi di medan yang sesungguhnya. Dalam soal robot, Angkatan Laut Amerika tak mau ketinggalan oleh rekannya di Angkatan Darat dan Angkatan Udara. Robart adalah salah satu seri robot yang kini sedang digarapnya di "bengkel" robot The Naval Ocean Systems Center di San Diego, California. Robot laut ini juga dipersiapkan untuk menangani situasi darurat, melawan kobaran api di kapal, misalnya. Robart tak punya kaki atau tangan. Tubuhnya berbentuk silinder bergaris tengah 50 cm, terbuat dari campuran plastik dan fiberglass. Tubuh Robart yang sekitar 1,5 meter tingginya itu bertumpu pada empat buah roda. "Indria" penglihatan Robart ada di bagian kepala, dan dikendalikan oleh sistem optik, ultrasonik, dan sinar inframerah. Fasilitas ini memungkinkan dia bisa melihat keadaan sekeliling dalam tiga dimensi. Di permukaan tubuhnya juga terdapat sejumlah sensor yang bisa mengenali sumber panas, asap, dan gas-gas beracun. Robart sanggup mengambil inisiatif untuk memadamkan api, juga menetralkan gas-gas beracun itu, dengan menyemprotkan bahan antinya. Kapan robot-robot itu bakal siap turun ke lapangan, agaknya tergantung perkembangan sosial politik yang ada. Soal teknologi, menurut para analis, tak banyak memberikan ganjalan. Yang jadi pertanyaan: tidakkah "prajurit" tak bernyawa itu justru akan mendorong agresi? Putut Tri Husodo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini