LIMA puluh mahasiswa Politeknik Widya Dhana (PWD), Semarang menuntut direkturnya. Melalui LBH Dokter Cipto Semarang, Abdul Kharis dan Handoko -- mewakili mahasiswa -- Rabu pekan lalu, mengajukan tuntutan ganti rugi senilai Rp 75 juta. Sebagai biaya penanti selama masa perkuliahan satu tahun berselang. "Gugatan" yang masih akan diproses pembela Ali Maksum, ini muncul sebagai buntut setelah diketahui bahwa Jurusan Komputer yang mereka timba belum mendapatkan izin operasional dari Kopertis VI Jawa Tengah. "Kami ini ditipu. Tempat kami belajar ternyata tidak berstatus," kata Abdul Kharis. Sementara Daryanto, Pembantu Direktur bidang Kemahasiswaan perguruan itu pun menyatakan siap. "Kalau mereka menempuh jalur hukum, kami pun siap. Soalnya kami ini legal," katanya. Begitulah contoh sebuah adegan yang terjadi disebuah kampus yang resah. Keresahan mahasiswa sebenarnya tak hanya terjadi di perguruan yang belum mendapatkan izin operasional. Tapi juga di beberapa Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yang sudah mendapatkan rekomendasi dari Kopertis. Sebab, izin dari Kopertis bukanlah jaminan. Rasa aman baru didapat kalau sebuah PTS memperoleh rekomendasi Ditjen Pendidikan Tinggi. Soalnya, pemerintah melakukan penertiban. Sejak Januari lalu, Dirjen Pendidikan Tinggi sudah menegaskan bahwa izin bagi PTS baru untuk sementara ditangguhkan. "Ini untuk menolong mereka, baik bagi PTS itu sendiri maupun mahasiswanya," kata Yuhara Sukra, Direktur Perguruan Tinggi Swasta. Lebih tandas, Menteri P dan K Fuad Hassan mengatakan bahwa penertiban dilakukan terutama terhadap fakultas yang dianggap jenuh, seperti Ekonomi, Sospol, dan Hukum. Akibatnya, sejumlah PTS terancam. Data yang ada menunjukkan bahwa untuk tahun ini, dari 150 PTS yang dimintakan status ke Ditjen Pendidikan Tinggi, 97 buah di antaranya ditolak. Menurut Yuhara, dari jumlah yang ditolak itu, 54 di antaranya berbentuk PTS baru. Artinya, yang terakhir itu harus bubar. Atau merger. Langkah ini ditempuh, katanya, dalam rangka konsolidasi, penataan, dan peningkatan perguruan tinggi swasta. Sebab, umumnya PTS yang izin operasionalnya dicabut itu keadaannya cukup memprihatinkan. Seperti sarana gedung tidak memadai dan dan tenaga dosen tidak mencukupi. "Melihat PTS begitu 'kan malah kasihan mahasiswanya. Maksudnya, jangan sampai tertipu," kata Yuhara. Di Kopertis wilayah V Yogya, misalnya, dari 25 PTS yang diajukan tercatat ada 8 buah yang ditolak dan 4 PTS dikabulkan. Penolakan tak hanya kepada PTS yang belum memiliki status, tapi juga terhadap PTS berstatus yang ingin membuka jurusan baru. Atau PTS yang ingin meningkatkan status dari akademi menjadi institut. Namun, mengingat dampak penolakan itu tidak kecil, pemberitahuan secara formal belum dilakukan pihak Kopertis. "Kami memberitahukan masalah penolakan itu secara informal," kata Soelistyo, Koordinator Kopertis Wilayah V, Yogya. "Delapan PTS itu saya anjurkan agar bergabung saja dengan yang sudah mapan." Soalnya, jumlah mahasiswanya sedikit, tak sampai 50 orang. Sedangkan PTS bisa hidup dan lancar kalau mempunyai mahasiswa paling sedikit 200 orang. Kebijaksanaan Soelistyo agaknya bisa dimengerti. Paling tidak untuk sementara waktu. Sebab, bila langkah penertiban itu dilaksanakan secara konsisten, berarti puluhan PTS baru yang ada di berbagai daerah harus bubar. Lalu ke mana para mahasiswanya disalurkan? Sementara juga tidak gampang begitu saja melakukan penggabungan (merger). Inilah yang dikhawatirkan oleh penyelenggara PTS di daerah-daerah. Tidak heran kalau ada usaha untuk menutup keadaan agar tak menimbulkan ekses. "Di Ja-Teng tidak ada PTS yang akan dibubarkan," kata Ronny Hanitijo, Koordinator Kopertis VI Ja-Teng. "Sampai saat ini kami belum menerima surat penolakan PTS yang sudah diberi rekomendasi oleh Kopertis." Beberapa waktu lalu pihaknya memang mengusulkan 5 PTS baru agar diberi izin operasional Ditjen Pendidikan Tinggi. Tapi belum ada jawaban. Penertiban terhadap PTS sebenarnya sudah berulang kali dilakukan. Tapi berkali-kali muncul lagi PTS baru. Pertumbuhannya amat pesat, terlalu berani, kata Menteri Fuad. "Terlalu gampang mendirikan perguruan tinggi," katanya dengan nada mengeluh. Keadaannya sudah lepas kendali. Secara nasional, jumlah PTS tahun ini ada 746 buah. Bandingkan dengan dua tahun sebelumnya yang cuma mencapai 575 buah. Karena itu, ada penertiban. Tapi penyelenggara PTS baru juga tak sepenuhnya bisa disalahkan. Sebab, Undang-Undang Perguruan Tinggi Tahun 1961 memberi peluang kepada setiap warga negara untuk mendirikan PTS. Syaratnya pun tak sulit. Dirikan saja dulu enam bulan kemudian laporkan ke Menteri P dan K dengan melampirkan akta notaris anggaran dasar, kekayaan, dan sumber pendapatan. Memang ada Peraturan Presiden (PP) Tahun 1965 yang mengharuskan adanya persetujuan tertulis dari Menteri P dan K sebelum PTS baru didirikan. Namun, dari segi hukum, UU lebih tinggi dari PP. Kelemahan inilah yang dimanfaatkan. Karena itu, tak perlu kaget bila banyak PTS yang sudah bertahun-tahun menerima mahasiswa tapi tak punya izin. Sementara RUU Pendidikan Nasional yang baru pun kini masih dipersoalkan di DPR. Akademi Perdagangan "Cendekia Puruhita" di Semarang, misalnya, mengaku sudah mendapatkan rekomendasi dari Kopertis, Juni lalu. Dan selama tahun ajaran 1988 telah menerima 80 mahasiswa. Maka, perkuliahan pun jalan, antara jam 16.00 dan 21.00. "Bagaimanapun kondisinya, kami jalan terus," kata Soebroto, pembantu rektor I peguruan itu, kepada Nanik Ismiani dari TEMPO. "Saya yakin, pemerintah tak akan sewenang-wenang." Agus Basri, Sri Pudyastuti (Jakarta), Slamet Subagyo dan Bandelan Amarudin (Yogya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini