Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Eksekusi ala Bawang

Mustakim, 29, warga desa Bawang, Magelang, pernah dihukum karena membunuh ayah dan adiknya. Sekeluar dari penjara, ia masih ganas, mengancam ibu & adiknya: Tahwin. akhirnya Tahwin meracun Mustakim hingga tewas.

10 Desember 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

WARGA Desa Bawang, Magelang, Jawa Tengah, waswas sejak Mustakim, 29 tahun, akhir Oktober lalu, lepas dari penjara, dan kembali ke desanya. Banyak kepala keluarga yang terpaksa mengungsikan wanita dan anak-anaknya ke luar desa. Bahkan penduduk tak lagi berani berada sendirian bila mengerjakan sawahnya. Kejadian empat tahun lalu, ketika Mustakim membantai ayah dan adiknya, rupanya, menghantui penduduk. Waktu itu, tanpa alasan jelas, Takim begitu panggilan akrabnya -- mengamuk. Selain membunuh ayah dan adiknya, ia juga melukai ibu dan dua orang adiknya yang lain. Penduduk, yang geger menyaksikan pembantaian itu, segera mengamankan Takim. "Saya seperti dikejar orang bersenjata, dan saya melawannya," kata Takim kepada polisi. Polisi menyimpulkan, Takim kesurupan. Ia dikirim ke rumah sakit jiwa Magelang. Tapi pihak, rumah sakit menyatakan bahwa Takim waras. Atas dasar itu, hakim memvonisnya 4 tahun penjara. Selesai menjalani hukumannya, akhir Oktober lalu Takim kembali ke desanya. Ia seakan-akan sudah bertobat. "Maafkan kesalahan saya, Bu," katanya, sambil berlutut di hadapan ibunya. Kepada setiap warga yang ditemuinya, ia juga minta maaf. Kendati Takim sudah begitu, ternyata, warga desa masih takut kepada lelaki itu. Apalagi setelah itu, Takim kembali mengancam ibu dan adiknya, Tahwin, 25 tahun. Ia naik darah, hanya gara-gara makanan belum siap, sementara ia telah lapar. Ancaman tersebut, rupanya, tak main-main. Senin malam, 7 November itu, Tahwin benar-benar dicekik. Untung, ia bisa melepaskan diri. Warga, yang dipanggil Tahwin melalui interkom, berhasil meringkus Takim. Dengan tangan terikat, Takim dibawa massa ke kantor Polsek Tempuran, sejauh 10 kilometer. Tapi sampai di situ, polisi menolak penyerahan Mustakim. "Ini orang gila, kami tak bisa menerimanya," kata petugas. Apa boleh buat, arak-arakan terus ke Polres Magelang. Ternyata, lagi-lagi, ditolak polisi. Pihak polisi menyarankan agar pemuda itu dibawa ke rumah sakit jiwa. Tapi sesampainya di rumah sakit, Tahwin mundur karena diminta uang muka 5 hari -- klas I Rp 8.500 per hari sedang klas III Rp 1.800 per hari. Takim dibawa kembali ke Polres, untuk dititipkan. "Boleh, tapi hanya sehari, dan besok harus diambil," kata petugas. Keesokan harinya, Tahwin terpaksa menjemput kakaknya itu. Ketika itu, Takim kelihatan lemas, mungkin karena tak makan dari sehari sebelumnya. Agar Takim tak mengamuk lagi, seorang petugas polisi menyarankan agar Tahwin memberi kakaknya itu obat tidur. Untuk itu, kepala desa, Sunartono, menyumbang Rp 1.000. Setelah membeli tiga buah pil, Tahwin mendahului kakaknya, pulang ke desanya. Di situ, ia mengajak penduduk menjemput kakaknya. "Ayo, kita jemput bersama-sama," ajak Tahwin. Sambutan warga, ternyata, antusias. "Mau diapakan dia?" tanya seorang penduduk. "Lihat saja nanti," jawab Tahwin. Sesampainya Takim di rumah, Tahwin mengambil segelas air. "Saudara-Saudara, Takim akan saya selesaikan. Bagaimana pendapat Saudara-Saudara?" tanya Tahwin. Tak ada sahutan. "Saya ikhlas, demi keselamatan kita semua," lanjutnya sambil menaburkan racun hama diazinon dan ketiga pil tidur tadi ke gelas tersebut. Lalu diminumkan ke mulut Takim. Glek ... glek ... glek. Tak lama kemudian, Takim lemas, dan "tertidur" untuk selamanya. Eksekusi pun selesai. Tahwin melapor kepada ibunya. Nyonya Jaelani, ternyata, tak keberatan. Bukan hanya ibu itu. Juga seluruh warga dan pamong desa tak keberatan, dan mendiamkan kasus pembunuhan itu. Tapi, Senin, 28 November lalu, kematian Mustakim yang tak wajar itu muncul di empat koran daerah. Kendati tindakannya telah diungkapkan koran, Tahwin tak gusar. "Saya sudah siap mental, karena saya memang salah," kata Tahwin yang juga guru ngaji di kampungnya itu. Ia memang menyesal membunuh, tapi tak menyesali kematian kakaknya itu. Sebab, Takim telah menyusahkan keluarga dan tetangganya. Selain telah membunuh ayah dan seorang adiknya, Takim dianggap menyebabkan harta satu-satunya keluarga itu sehektar tanah -- terjual Rp 240 ribu untuk biaya perawatan ibu dan adiknya di rumah sakit. Hingga Kamis pekan lalu, Tahwin belum ditahan polisi. "Perbuatan Tahwin itu bukan untuk dirinya sendiri, tapi menenteramkan seluruh warga di sini," kata Bachri, seorang penduduk setempat. "Kalau Tahwin ditahan, seluruh penduduk di sini sepakat agar kami ditahan juga. Sebab, kami juga menyaksikan perbuatan Tahwin," sambung Kepala Dusun Pujan, Nasirun. Laporan I Made Suarjana (Biro Yogya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus