AIR Kali Surabaya sudah lama tercemar. Padahal, air sungai itu, selain dipakai oleh penduduk setempat, juga menjadi sumber air baku (90%) bagi PDAM, Perusahaan Daerah Air Minum. Ada 14 industri yang sekarang dituding sebagai biang utamanya, karena "menyahami" pencemaran Kali Surabaya. Tapi yang baru dihadapkan ke Pengadilan Negeri Sidoardjo adalah PT Sidomakmur dan PT Sidomulya. Keduanya berlokasi di Sidomulya, Kecamatan Krian, Sidoardjo. Menurut Wakil Gubernur Jawa Timur, Trimarjono, itulah upaya maksimal dari pemda setempat setelah sejumlah pabrik dikirimi surat anjuran, imbauan, sampai dengan surat peringatan. "Kami tidak bisa menunda lagi menegakkan peraturan dan undang-undang tentang lingkungan," ujarnya pada Wahyu Muryadi dari TEMPO. PT Sidomakmur dituduh membuang air limbah tahu yang berkadar BOD (Biological Oxygen Demand) 3.095,4 m/liter dan kandungan COD (Chemical Oxygen Demand) 1.229,3 mg/liter. Sedangkan kotoran babi dari PT Sidomulyo, katanya, mengandung BOD 462,3 mg/l dan COD 1.802,9 mg/l -- dan itu melebihi standar BOD maupun COD yang dibolehkan di wilayah tersebut. Tuduhan lain dari Pak Jaksa: instalasi pengolahan air limbah kedua perusahaan dimaksud terlalu kecil dan tidak memadai dengan volume limbahnya. Sidang pidana kedua pekan lalu serupa dengan yang pertama, 22 November silam. Mejelis baru mendengar keterangan saksi-saksi. Terdakwa Bambang Gunawan, pemilik dua perusahaan itu, dijaring oleh jaksa dengan Undang-Undang No.4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Lingkungan Hidup. Ancaman pidananya paling lama 10 tahun, atau dikenai denda maksimal Rp 100 juta. Selain buangan kedua perusahaan tadi, sebenarnya sungai itu juga dicemari oleh limbah pabrik kertas, pabrik besi cor, pengawetan udang, aki, bumbu masak, gula. Pemiliknya memang belum digiring ke pengadilan. Padahal, kesehatan air Kali Surabaya makin hari makin mengerikan. Tingkat pencemarannya sudah tak terbendung. Saksi Kepala Dinas Perindustrian Sidoarjo mengungkapkan data penelitian Komisi Pengendalian Pencemaran Lingkungan Hidup Juni lalu. Menurut dia, kandungan BOD dan COD di Kali Surabaya sudah di bawah ambang batas. Hanya pembuktiannya yang rumit. Tahun lalu Pemda Surabaya menghanyutkan Rp 1 milyar untuk menggelontorkan sekitar 10 juta meter kubik air dari Bendungan Karangkates ke Kali Surabaya, sebagai upaya menghalau bahan pencemar dan menguras endapan lumpurnya. Tetapi tindakan itu, juga usaha macam-macam sejak 10 tahun ini, rupanya belum menyelesaikan masalah. Ada anggapan bahwa membuang limbah di lubang, itu sudah aman. Padahal, limbah yang mengandung berbagai zat tadi semakin sulit dikontrol, karena meresap ke tanah. Contohnya, ada perusahaan di Nganjuk dan Ngawi pernah berbuat demikian. Namun, perembesan limbah ke tanah itu menjadi lebih berbahaya lagi, gara-gara banyak penduduk berinisiatif mengambil air bawah tanah dengan melakukan pengeboran. Banyak air tanah tersedot dan lepas dari kendali Perhimpunan Penggunaan Air Tanah yang sudah dibentuk pemerintah. Misalnya, tak jelas jarak antarbor, juga dalamnya. Akibatnya, permukaan air tanah menyusut atau habis. Di Ngawi, tempat asal Wakil Gubernur Ja-Tim itu, malah ada desa yang tanahnya ambles. Peristiwa lain adalah osmose (perembesan) limbah yang menyusup ke tanah itu mengisi tempat-tempat yang dibor tadi. Sementara itu, air tanah di Kota Surabaya sudah menunjukkan kualitas bakteriologi yang gawat. Itu terungkap dalam seminar sehari tentang upaya pelestarian adipura Kota Madya Surabaya, pertengahan bulan lalu. Makalah yang dibaca oleh Asisten III Sekwilda Ja-Tim, Bambang Koesbandono, bahkan membeberkan berkembangnya bakteri celaka itu dalam jumlah besar. Penyebab turunnya kualitas air tanah adalah 70 industri yang tumbuh di sepanjang Kali Surabaya dan sekitarnya. Penelitian yang pernah dilakukan PT Encona bahkan memperjelas: 20 dari 39 perusahaan di pinggir sungai itu punya potensi pencemaran, dan 5 di antaranya dituding sebagai biang pencemar berat. Kondisi air sungai itu lebih parah lagi setelah tumbuhnya perumahan sebagian besar malah tak memiliki fasilitas MCK alias Mandi Cuci Kakus, yang punya andil pencemaran sampai 20%. Meskipun industri di Surabaya sudah banyak. yang membuat unit pengolahan limbah, Bambang Gunawan yang tadi heran kenapa cuma perusahaannya yang diusut. Yang lain malah masih dibiarkan merdeka dan diberi kesempatan memperbaiki sistem pengolahan limbahnya. Untuk menampung limbah tahunya itu, misalnya, Bambang harus menghabiskan dana lebih dari Rp 5 juta. Ia membuat 12 bak penampung dan pengendapan. Di peternakan babinya ada 7 bak penampungan serupa. Bak-bak tersebut dibuatnya sejak 1986. Ia belum pernah diperingatkan, kecuali menerima surat yang meminta sistem olah limbah di pabriknya itu diperbaiki. "Itu sudah diikuti dengan membikin bak-bak itu," katanya. Dalam sidang di PN Sidoarjo itu, Bambang Gunawan tampak santai saja. Apalagi setelah Jaksa Syamsuddin Yusuf, walau sudah dua kali sidang, agaknya seperti tak gampang mengungkap bukti kongkret kesalahan terdakwa. Malah saksi Soetarno, Kepala Bagian Perekonomian Pemda Sidoarjo, memperkuat posisi Bambang. "Tanaman-tanaman yang tumbuh dekat parit pembuangan limbah itu justru gemuk, sedangkan yang jauh malah kurus-kurus," katanya, dalam sidang pekan lalu. Dan bagaimana dengan sistem pengolah limbah yang memang sudah diperbaiki oleh Bambang Gunawan? Menurut jaksa, itu setidakhya meringankan putusan. "Tapi bukan berarti melepaskan dia dari kesalahannya," kata Syamsuddin lagi. "Terdakwa adalah ibarat seorang pencuri ayam yang mengembalikan hasil curiannya, tetapi tidak mesti bebas dari ketentuan hukum." SHS dan Jalil Hakim (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini