Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Selesai di meja makan

Beberapa tanggapan dan protes terhadap penelitian mengenai sifat-sifat khas bangsa Indonesia, oleh prof.dr. suwarsih warnaen, sebagai disertasi. dalam disertasi dikatakan bahwa orang minang "licik" dan "pelit". (ilt)

30 Oktober 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BELASAN surat sampai ke alamat Prof Dr. Suwarsih Warnaen, Guru Besar Psikologi UI. Sebagian besar mengecam, yang lainnya menentang, satu-dua memuji. Persoalannya hasil penelitian sang guru besar atas pandangan berbagai suku bangsa di Indonesia mengenai sifat-sifat khas bangsa Indonesia dan delapan suku bangsa di negeri ini. Hasil penelitian itu sendiri sebenarnva sudah disampaikan pada Mei 1979 sebagai disertasi Suwarsih (519 halaman) untuk gelar Doktor dalam Psikologi Sosial di UI. Tapi, tabel yang memuat perincian mengenai sifat-sifat khas bangsa Indonesia dan kedelapan suku bangsa itu--Minangkabau, Batak, Jawa, Manado, Ambon, Sunda, Bugis-Makasar dan Jakarta --baru dilampirkan ketika Suwarsih menyampaikan pidato pengukuhannya sebagai guru besar tetap dalam Psikologi pada Fakultas Psikologi UI 25 September lalu. Jadi, dalam pidato pengukuhan berjudul Integrasi bangsa dan pola identitas nasional di Indonesia dari sudut pandangan psikologi sosial, orang Indonesia, menurut Suwarsih melihat bangsanya mempunyai sifat-sifat seperti sopan, ramah, suka meniru, tradisional, jujur, dan nasionalistis. Tapi ada 17 kelompok suku bangsa yang memandang orang Minang mempunyai sifat khas seperti ikatan keluarga yang kuat, 14 menganggap mereka kolot, trddisional dan pelit, dan 13 memandang orang Minang licik. Dibanding orang-orang Bugis-Makasar. hasil penelitian "Stereotip etnik di dalam suatu bangsa multietnik" itu menunjukkan mereka mempunyai sifat-sifat khas seperti emosional, kasar, cepat marah, kolot, tradisional, sopan, ambisius, licik dan rajin. Sifat-sifat khas orang Jawa antara lain: Sopnan, jujur, ramah, percaya takhyul, rajin. Orang Sunda: sopan, ramah, penuh perasaan, materialistis, rapi Orang Batak: emosional, kasar, senang berkelompok, cepat marah, kepala batu. Orang Ambon: senang pesta, kasar, cepat marah, periang, agresif. Dan orang Jakarta, humoristis, sopan, kolot, ramah, malas, periang. Persepsi tentang sifat-sifat khas inilah terutama yang menyangkut orang Minang "licik" dan "pelit"-- yang membuat beberapa tokoh "urang awak" di Jakarta tersinggung pernya. Menyesalkan Prof. Suwarsih karena tabel penelitiannya? "Tidak, saya tidak menyesal. Tapi ketika saya dapat reaksi pertama, saya kaget dan berpikir, kenapa saya sampai mencantumkan tabel itu," katanya. Dia menyebut tabel itu hanya sebagai pelengkap disertasi. Tapi justru sebagian besar oran hanya memberi reaksi terhadap tabel tersebut, yang merupakan hasil dari 1.291 responden, terdiri dari pelajar-pelajar SMA kelas III di daerah-daerah suku bangsa tertentu. Orang barangkali bisa mempertanyakan keabsahan pandangan ke-1.291 responden tadi terhadap sifat-sifat khas suku-suku bangsa itu, tapi Prof. Suwarsih dengan cepat menunjuk pada poll opini tentang calon presiden di Amerika misalnya yang hanya membutuhkan sekitar 500 responden. "Bukan jumlah responden yang paling penting," kata Suwarsih, "tapi kualitas prinsip-prinsip yang melandasi pemilihan responden di samping rancangan penelitian dan alat-alat penghimpun data serta teknik-teknik analisa yang telah disusun." Bagi Dr. Alfian, dosen FIS-UI dan staf peneliti pada Leknas/LIPI, salah satu kritiknya terhadap hasil penelitian Suwarsih itu adalah: "Apakah anak anak SMA itu dapat mewakili lapisan semua umur?" Dia khawatir mereka masih belum cukup banyak bergaul dengan golongan-golongan lain. Namun Suwarsih dalam keterangannya kepada TEMPO di rumahnya, mengukuhkan hasil penelitiannya dengan menunjuk pada hasil penelitiannya di tahun 1973 terhadap sejumlah mahasiswa UI dan tahun 1977 pada pelajar-pelajar SMA itu. Keluanya memberi banyak persamaan, terutama dalam faktor-faktor yang digunakan seseorang untuk menilai orang lain. Atas dasar persamaan itu, dia berkesimpulan hasil penelitian terhadap pelajar-pelajar SMA itu "absah". Alfian, doktor ilmu politik lulusan Universitas Wisconsin, AS, dan kelahiran Solok, Sum-Bar itu membenarkan metoda penelitian yang dilakukan Suwarsih. "Ini menunjukkan adanya perbedaan persepsi antara kalangan muda dan tua," katanya. Suwarsih sendiri beranggapan, hasil penelitiannya itu "suatu waktu akan menjadi antik dan dicari orang, seperti saya sekarang mencari sensus tahun 1930." Dia anak ke-4 dari 13 bersaudara, kelahiran Sumedang, Ja-Bar, hampir 52 tahun lalu, dan menyelesaikan pendidikan psikologinya di UI pada 1962. Dia juga memperdalam pengetahuannya di bidang disiplin ilmu tersebut di Negeri Belanda dan di East-West Center, Hawaii. Adapun kemarahan beberapa tokoh Minang terhadap hasil penelitiannya itu, tampaknya akan diselesaikan secara Minang pula di sebuah restoran Padang. akhir bulan ini. Tambuah, ciek.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus