Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Testamen anna maria van hek

17 rumah peninggalan eks walikota medan, jaidin purba, jadi bahan sengketa antara ahli waris jaidin dengan ahli waris jahot purba (adik jaidin), selama 20 tahun. (hk)

30 Oktober 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NYANYIAN yang biasanya terdengar di gereja-gereja, "Haleluya," tiba-tiba dikumandangkan sekitar 2 ang wanita, diiringi denting ketukan pada pagar besi rumah Jalan D.I Panjitan no. 153 A, Medan. Ketika suara koor itu tambah meninggi, Wakil Jurusita Pengadilan Negeri Medan, Tangs Tarigan, bersama petugas-petugas Kantor Lelang Negara, berlari kembali ke mobil masing-masing. Sebelum menutup pintu mobil, Tarigan masih sempat berteriak, "lelang terbuka ini akan dilakukan di Kantor Lelang Negara Medan." Gagallah pelaksanaan lelang rumah milik almarhum bekas walikota Med.an. Mr. Jaidin Purba, 14 Oktober lalu. Kumah itu adalah salah satu dari 17 buah rumah milik almarhum yang diperintahkan Ketua Pengadilan Negeri Medan, Chabib Sarbini, untuk disita eksekusi berdasarkan keputusan Mahkamah Agung. Ke-17 rumah itu disengketakan oleh ahli waris Jaidin dengan ahli waris Jahot Purba--adik Jaidin sebapak lain ibu--selama 20 tahun ini. Dari semua rumah itu, baru tiga rumah yang selesai dilelang. Dua buah rumah lagi termasuk di Jalan Panjaitan itu direncanakan dilelang sampai akhir oktober tapi gagal. Rumah-rumah lainnya gagal pula, karena sudah atas nama orang lain. "Rumah lainnya itu sudah saya jual untuk belanja anak-anak dan sekolah mereka," ujar janda almarhum Jaidin, Nyonya Loina boru Gultom, 62 tahun. Gugatan itu bermula, ketika Jahot Purba merasa mempunyai hak atas harta peninggalan abangnya, Jaidin dan mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Medan tahun 1963. Alasan Jahot, harta abangnya itu merupakan harta bersam: antara Jaidin dengan istri pertamanya (orang Belanda) Anna Maria van Hek (almarhum). Harta itu menurut Jahot, sudah ada ketika Jaidin mengawini Loina boru Gultom, janda mendiang abangnya sendiri, Jakodom. Jahot merasa punya hak, karena ada sebuah salinan akta autentik berupa testamen kakak iparnya, Anna Maria, di depan notaris Henri Louis Morra 22 Februari 1933, di Belanda. Isi testamen itu: menunjuk Jahot sebagai ahli waris bersama Johan van der Steur (sekarang tidak diketahui alamatnya). Alkisah, tahun 1930, seorang pemuda kelahiran Pematang Siantar, Jaidin, merantau ke Batavia untuk melanjutkan sekolahnya di Stovia (kedokteran. Anak Batak ini menumpang di rumah janda Residen Batavia, Anna Maria. Hubungan kedua manusia ini ternyata berlanjut Jaidin dibawa Anna ke Belanda dan disekolahkan di Leiden sampai menyandang gelar sarjana hukum, tahun 1937. Mereka kembali ke Jakarta dan menikah di Catatan Sipil pada tahum 1939. Jaidin ketika itu sekitar 33 tahun Aan Anna berusia 59 tahun. Begitulah, tahun 1930-an itu, Jahot menyusul abangnya ke Jakarta. Ia mendapat tempat pula di hari Anna. Pada tahun 1939 mereka bertiga kembali ke Pematang Siantar. Jaidin berpraktek sebagai pengacara dan adiknya menjadi assiten. Tahun 1952, Jaidin kawin lagi dengan Loina boru Gultom. Dari perkawinan dengan janda abangnya ini, Jahlin mendapatkan dua orang anak Roselina dan Guntur. Karir Jaidin kemudian juga senanjak. Ia kemudian menjadi walikota Medan (1947-1952) dan terakhir anggota DPRGR dan Konstituante (1956-1958). Pada masa-masa itulah Jaidin membeli 17 buah rumah itu. Jahot sendiri terakhir bekerja di Kantor Gubernur Sumatera Utara, Medan. Jaidin meninggal tahun 1961, dan istri pertamanya, Anna, mendahuluinya tahun 1960, tanpa ada keturunan. Dalam gugatan ke pengadilan, Jahot meminta agar perkawinan abangnya dngan Anna dinyatakan sah, dan sebaliknya perkawinan Jaidin dengan Loina dinyatakan batal. Alasannya, perkawinan kedua itu tidak sah menurut adat Batak Simalungun. Sekaligus, ia minta disahkan testamen Anna, yang menunjuk dirinya sebagai ahli waris. Pada 5 September 1970, Pengadilan Tinggi Sumatera Utara memutuskan sahnya kedua perkawinan itu, sekaligus testamen Anna untuk Jahot. Karena itu, Loina (istri Jaidin) dihukum menyerahkan seperempat bagian dari lima rumah yang dimilikinya dan 3/16 bagian dari rumah lainnya yang juga dikuasainya. Pada 23 Juli 1973, Mahkamah Agung menolak kasasi yang diajukan kedua pihak. Berarti keputusan Pengadilan Tinggi itu berlaku. Sebelum putusan Mahkamah Agung jatuh, Jahot Purba, penggugat, meninggal, tahun 1971. Sebab itu almarhum diwakili istrinya, Nyonya Lomina boru Silalahi, bersama anaknya, Aladin. Pada 18 Agustus 1981, Lomina berhasil mencapai perdamaian dengan iparnya, Loina (janda Jaidin, sebelum eksekusi pengadilan dilaksanakan. Isi perdamaian di muka hakim itu: sisa rumah sengketa yang tinggal lima buah dibagi--empat rumah diserahkan kepada janda Jahot, Lomina, dan satu rumah di Jalan Panjaitan itu untuk janda Jaidin, Loina. Tapi agaknya, perdamaian itu tidak memuaskan Loina. Begitu ia menanla tangani perjanjian, ia merobek sehelai daun sirih. "Kalau rolekan daun sirih ini bisa bertemu kembali, barulah keturunan kita akan bersatu," ujar Loin: kepada iparnya, Lomina, 52 tahun. Benar saja, perdamaian itu tidak ada artinya, meski surat-surat keempat rumah sudah di tangan janda Jahot itu Lomina. Bahkan, Loina masih saja menyewakan rumah-rumah itu. Itulah sebabnya, Lomina meminta eksekusi dilaksanakan kembali oleh pengadilan, walau waktu perdamaian ditanda tangalli, pengumuman eksekusi dan lelang sudah dicabut oleh Hakim Chabib Sarhini. "Mereka mengganggu perdamaian itu," ujar Lomina menuduh iparnya, Loina. GANGGUAN berikutnya, adalah gugatan dari dua anak Loina dan Jaidin, yaitu Guntur dan Roselina. Keduanya menggugat akta perdamaian antara ibu mereka dengan Lomina. "Mereka tidak ikut menanda tangani perdamaian itu, padahal keduanya berhak atas harta ayahnya," ujar Saiful Jalil Hasibuan, pengacara kedua anak Jaidin itu. Tak tanggung-tanggung, kedua anak Jaidin dan Loina itu meragukan testamen yang telah diakui Mahkamah Agung itu. "Testamen itu sudah ada tahun 1933, padahal harta yang diwariskan itu belum ada saat itu (baru dibeli Jaidin tahun 1950-an)," ujar Hasibuan. Sebab itu, ia menuntut agar keputusan Mahkamah Agung itu dilumpuhkan eksekusinya. "Kalau betul akta testamen itu ada, mana aslinya?" tambah Saiful Jalil Hasibuan. Mahkamah Agung, dalam suratnya 12 Oktober 1982 memang meminta menunda eksekusi yang dilaksanakan 14 Oktober itu dengan catatan: kecuali jika Ketua Pengadilan Negeri mempunyai pandangan lain. Chabib Sarbini melihat eksekusi tidak akan dilaksanakan, kalau perdamaian yang sudah disepakati sebelumnya bisa jalan. "Tapi perdamaian itu di luar urusan peradilan mau matang boleh, mau mentah silakan," ujar Chabib. Masih mungkinkah perdamaian atas keruwetan ini? "Sekarang memang sudah ruwet, karena sebagian eksekusi dan lelang sudah jalan," kata Chabib. Agaknya daun sirih yang dirobek Loina (janda Jaidin) memang tidak akan jernah bertemu. Sebab, tekad kedua pihak untuk bertempur tidak mereda. "Pokoknya rumah-rumah itu tidak untuk saya, tapi juga tidak untuk kau," kata Aladin, anak Lomina, kepada anak-anak Loina. Maksudnya, perkara itu boleh berkepanjangan, walau kedua pihak tidak akan mendapatkan bagian dari warisan yang disengketakan itu. "Karena biaya perkaranya selama 20 tahun lebih besar dari nilai rumah-rumah itu," kata Aladin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus