BELASAN surat sampai ke alamat Prof Dr. Suwarsih Warnaen, Guru
Besar Psikologi UI. Sebagian besar mengecam, yang lainnya
menentang, satu-dua memuji. Persoalannya hasil penelitian sang
guru besar atas pandangan berbagai suku bangsa di Indonesia
mengenai sifat-sifat khas bangsa Indonesia dan delapan suku
bangsa di negeri ini.
Hasil penelitian itu sendiri sebenarnva sudah disampaikan pada
Mei 1979 sebagai disertasi Suwarsih (519 halaman) untuk gelar
Doktor dalam Psikologi Sosial di UI. Tapi, tabel yang memuat
perincian mengenai sifat-sifat khas bangsa Indonesia dan
kedelapan suku bangsa itu--Minangkabau, Batak, Jawa, Manado,
Ambon, Sunda, Bugis-Makasar dan Jakarta --baru dilampirkan
ketika Suwarsih menyampaikan pidato pengukuhannya sebagai guru
besar tetap dalam Psikologi pada Fakultas Psikologi UI 25
September lalu.
Jadi, dalam pidato pengukuhan berjudul Integrasi bangsa dan pola
identitas nasional di Indonesia dari sudut pandangan psikologi
sosial, orang Indonesia, menurut Suwarsih melihat bangsanya
mempunyai sifat-sifat seperti sopan, ramah, suka meniru,
tradisional, jujur, dan nasionalistis. Tapi ada 17 kelompok suku
bangsa yang memandang orang Minang mempunyai sifat khas seperti
ikatan keluarga yang kuat, 14 menganggap mereka kolot,
trddisional dan pelit, dan 13 memandang orang Minang licik.
Dibanding orang-orang Bugis-Makasar. hasil penelitian "Stereotip
etnik di dalam suatu bangsa multietnik" itu menunjukkan mereka
mempunyai sifat-sifat khas seperti emosional, kasar, cepat
marah, kolot, tradisional, sopan, ambisius, licik dan rajin.
Sifat-sifat khas orang Jawa antara lain: Sopnan, jujur, ramah,
percaya takhyul, rajin. Orang Sunda: sopan, ramah, penuh
perasaan, materialistis, rapi Orang Batak: emosional, kasar,
senang berkelompok, cepat marah, kepala batu. Orang Ambon:
senang pesta, kasar, cepat marah, periang, agresif. Dan orang
Jakarta, humoristis, sopan, kolot, ramah, malas, periang.
Persepsi tentang sifat-sifat khas inilah terutama yang
menyangkut orang Minang "licik" dan "pelit"-- yang membuat
beberapa tokoh "urang awak" di Jakarta tersinggung pernya.
Menyesalkan Prof. Suwarsih karena tabel penelitiannya? "Tidak,
saya tidak menyesal. Tapi ketika saya dapat reaksi pertama, saya
kaget dan berpikir, kenapa saya sampai mencantumkan tabel itu,"
katanya. Dia menyebut tabel itu hanya sebagai pelengkap
disertasi. Tapi justru sebagian besar oran hanya memberi reaksi
terhadap tabel tersebut, yang merupakan hasil dari 1.291
responden, terdiri dari pelajar-pelajar SMA kelas III di
daerah-daerah suku bangsa tertentu.
Orang barangkali bisa mempertanyakan keabsahan pandangan
ke-1.291 responden tadi terhadap sifat-sifat khas suku-suku
bangsa itu, tapi Prof. Suwarsih dengan cepat menunjuk pada poll
opini tentang calon presiden di Amerika misalnya yang hanya
membutuhkan sekitar 500 responden. "Bukan jumlah responden yang
paling penting," kata Suwarsih, "tapi kualitas prinsip-prinsip
yang melandasi pemilihan responden di samping rancangan
penelitian dan alat-alat penghimpun data serta teknik-teknik
analisa yang telah disusun."
Bagi Dr. Alfian, dosen FIS-UI dan staf peneliti pada
Leknas/LIPI, salah satu kritiknya terhadap hasil penelitian
Suwarsih itu adalah: "Apakah anak anak SMA itu dapat mewakili
lapisan semua umur?" Dia khawatir mereka masih belum cukup
banyak bergaul dengan golongan-golongan lain.
Namun Suwarsih dalam keterangannya kepada TEMPO di rumahnya,
mengukuhkan hasil penelitiannya dengan menunjuk pada hasil
penelitiannya di tahun 1973 terhadap sejumlah mahasiswa UI dan
tahun 1977 pada pelajar-pelajar SMA itu. Keluanya memberi
banyak persamaan, terutama dalam faktor-faktor yang digunakan
seseorang untuk menilai orang lain. Atas dasar persamaan itu,
dia berkesimpulan hasil penelitian terhadap pelajar-pelajar SMA
itu "absah". Alfian, doktor ilmu politik lulusan Universitas
Wisconsin, AS, dan kelahiran Solok, Sum-Bar itu membenarkan
metoda penelitian yang dilakukan Suwarsih. "Ini menunjukkan
adanya perbedaan persepsi antara kalangan muda dan tua,"
katanya.
Suwarsih sendiri beranggapan, hasil penelitiannya itu "suatu
waktu akan menjadi antik dan dicari orang, seperti saya sekarang
mencari sensus tahun 1930." Dia anak ke-4 dari 13 bersaudara,
kelahiran Sumedang, Ja-Bar, hampir 52 tahun lalu, dan
menyelesaikan pendidikan psikologinya di UI pada 1962. Dia juga
memperdalam pengetahuannya di bidang disiplin ilmu tersebut di
Negeri Belanda dan di East-West Center, Hawaii.
Adapun kemarahan beberapa tokoh Minang terhadap hasil
penelitiannya itu, tampaknya akan diselesaikan secara Minang
pula di sebuah restoran Padang. akhir bulan ini. Tambuah, ciek.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini