Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Wakil Presiden Amerika Serikat menolak menandatangani deklarasi Konferensi Tingkat Tinggi Aksi untuk Kecerdasan Buatan.
Komunike Paris yang ditandatangani oleh 60 negara menyerukan pendekatan inklusif terhadap AI.
Konvensi tentang AI dan Hak Asasi Manusia, Demokrasi, dan Supremasi Hukum tidak akan dilaksanakan oleh kongres yang berhaluan Republik.
WAKIL Presiden Amerika Serikat James David Vance menjadi berita utama minggu ini karena menolak menandatangani deklarasi dalam Konferensi Tingkat Tinggi Aksi untuk Kecerdasan Buatan atau AI Action Summit di Paris, Prancis, 10-11 Februari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam penampilan perdananya di panggung dunia, Vance menegaskan bahwa Amerika tidak akan bermain-main. Pemerintahan Donald Trump percaya "regulasi berlebihan terhadap sektor AI (artificial intelligence) dapat mematikan industri transformatif yang baru saja mulai berkembang," katanya. "Kami akan melakukan segala upaya untuk mendorong kebijakan AI yang pro-pertumbuhan."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pernyataan itu menegaskan ketakutan yang meluas bahwa kembalinya Trump ke Gedung Putih akan menandakan adanya perubahan tajam dalam kebijakan teknologi. Perusahaan teknologi Amerika dan pemiliknya yang seorang miliarder kini akan terlindungi dari pengawasan yang efektif.
Namun, jika dicermati lebih jauh, peristiwa pekan ini menunjukkan tanda bahwa hal sebaliknya mungkin sedang terjadi. Sejumlah negara mengambil langkah penting untuk mengatasi peningkatan kekhawatiran terhadap keselamatan dan lingkungan yang terkait dengan AI, yang menunjukkan titik kritis regulasi telah tercapai.
Peserta menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi Aksi Kecerdasan Buatan (AI) di Grand Palais, Paris, Prancis, 10 Februari 2025. Reuters/Benoit Tessier
Konsensus yang Luas
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Aksi untuk AI selama dua hari di Paris, yang diketuai Prancis dan India, menghasilkan konsensus yang luas. Sekitar 60 negara menandatangani pernyataan tentang AI yang Inklusif dan berkelanjutan. Negara-negara tersebut di antaranya Kanada, Komisi Eropa, India, dan Cina.
Adapun Amerika ataupun Inggris menolak menandatanganinya. Namun angin yang ada tidak mendukung mereka.
Pertemuan di Paris merupakan pertemuan global ketiga tentang AI setelah pertemuan pada 2023 di Bletchley Park, Inggris, dan pada 2024 di Seoul, Korea Selatan. Setiap pertemuan diakhiri dengan deklarasi serupa yang mendapat dukungan luas.
Komunike Paris menyerukan pendekatan inklusif terhadap AI, yang berupaya mempersempit kesenjangan dalam kemampuan AI antarnegara. Komunike ini mendorong penghindaran konsentrasi pasar serta menegaskan perlunya keterbukaan dan transparansi dalam membangun ataupun berbagi teknologi dan keahlian.
Dokumen ini tidak mengikat. Deklarasi tersebut tidak lebih dari sekadar menggembar-gemborkan prinsip atau menegaskan sentimen kolektif di antara para pihak. Satu di antaranya—mungkin yang paling penting—adalah terus berbicara, bertemu, dan bekerja sama untuk membahas masalah umum yang ditimbulkan oleh AI.
Tantangan Lingkungan
Sementara itu, sekelompok kecil negara di KTT Paris, bersama 37 perusahaan teknologi, sepakat membentuk Koalisi untuk AI Berkelanjutan—dengan menetapkan serangkaian tujuan dan hasil.
Meskipun tidak ada yang mengikat bagi para pihak, tujuannya sangatlah spesifik. Tujuan itu di antaranya membuat standar untuk mengukur dampak lingkungan AI dan cara yang lebih efektif bagi perusahaan untuk melaporkan impaknya. Para pihak juga bertujuan "mengoptimalkan algoritma guna mengurangi kompleksitas komputasi dan meminimalkan penggunaan data".
Bahkan, jika sebagian besar hal itu ternyata sekadar aspirasi, penting bagi koalisi menawarkan platform untuk kolaborasi pada inisiatif-inisiatif tersebut. Paling tidak, hal ini menandakan kemungkinan bahwa keberlanjutan akan menjadi yang terdepan dalam perdebatan tentang AI di masa mendatang.
Perdana Menteri India Narendra Modi (kiri) menyampaikan pidato bersama Presiden Prancis Emmanuel Macron saat sesi penutupan Forum Ekonomi Prancis-India di Quai d'Orsay setelah Konferensi Tingkat Tinggi Aksi Kecerdasan Buatan (AI) di Paris, Prancis, 11 Februari 2025. Reuters/Abdul Saboor
Menandatangani Perjanjian Internasional Pertama tentang AI
Peristiwa penting lain dalam pertemuan puncak tersebut adalah Kanada menandatangani Konvensi Kerangka Kerja Dewan Eropa tentang Kecerdasan Buatan dan Hak Asasi Manusia, Demokrasi, dan Aturan Hukum. Dalam beberapa bulan terakhir, 12 negara lain telah menandatanganinya, termasuk Inggris, Israel, Uni Eropa, dan Amerika—saat masih berada di bawah pemerintahan Presiden Joe Biden.
Konvensi tersebut mengikat para pihak untuk meloloskan undang-undang domestik tentang AI yang mengatur privasi, bias dan diskriminasi, keselamatan, transparansi, serta keberlanjutan lingkungan.
Perjanjian tersebut dikritik karena hanya memuat pernyataan umum dan hanya memberlakukan sedikit kewajiban yang jelas. Namun perjanjian ini menunjukkan negara-negara itu berkomitmen mengesahkan undang-undang guna memastikan pengembangan AI berlangsung dalam batasan tertentu—dan mereka ingin melihat lebih banyak negara melakukan hal yang sama.
Jika Kanada meratifikasi perjanjian tersebut, ada kemungkinan parlemen menghidupkan kembali Rancangan Undang-Undang C-27, yang berisi undang-undang tentang AI dan data.
Undang-undang ini bertujuan melakukan banyak hal yang disetujui Kanada berdasarkan konvensi: memberlakukan pengawasan yang lebih ketat terhadap pengembangan dan penggunaan AI. Ini termasuk persyaratan transparansi dan pengungkapan pada perusahaan AI serta hukuman berat bagi yang gagal mematuhinya.
Apa Sebenarnya Arti Ini Semua?
Meskipun Amerika menandatangani Konvensi tentang AI dan Hak Asasi Manusia, Demokrasi, dan Supremasi Hukum pada musim gugur 2024, konvensi tersebut ada kemungkinan tidak dilaksanakan kongres yang berhaluan Republik. Hal yang sama mungkin terjadi bila Kanada berada di bawah pemerintahan Partai Konservatif yang dipimpin Pierre Poilievre. Ia juga dapat memutuskan tidak memenuhi komitmen yang dibuat berdasarkan perjanjian lain tentang AI.
Jika Poilievre berkuasa saat Kanada menjadi tuan rumah pertemuan G7 berikutnya pada Juni mendatang, ia mungkin akan menolak menghormati komitmen pemerintahan Perdana Menteri Justin Trudeau untuk menjadikan regulasi AI sebagai fokus utama pertemuan tersebut.
Pemerintahan Trump mungkin telah mengawali periode regulasi teknologi yang lebih longgar di Amerika. Selain itu, Silicon Valley memang merupakan pemain kunci dalam teknologi, khususnya AI. Namun dunia ini luas, dengan banyaknya pemain penting lain di bidang tersebut, termasuk Cina, Eropa, dan Kanada.
Peristiwa di Paris telah mengungkap minat yang kuat di antara negara-negara di seluruh dunia untuk mengatur AI, khususnya untuk menumbuhkan gagasan tentang inklusi dan keberlanjutan. Jika pertemuan puncak Paris menjadi indikasi, harapan untuk melindungi AI dari regulasi yang efektif tidak akan bertahan lama. ●