Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Volkanolog Institut Teknologi Bandung (ITB) Mirzam Abdurrachman menjelaskan serba-serbi Gunung Krakatau, yang merupakan salah satu gunung api aktif di Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Mirzam secara khusus mengulas topik Gunung Krakatau dengan judul presentasi 'Dinasti Krakatau: Era Kegelapan, Hindia Belanda, dan Indonesia' di acara Geoseminar 2020 yang diadakan Pusat Survei Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), pada 3 Juni 2020.
Mirzam mengawali paparannya pada era kegelapan berkisar 600.000 tahun yang lalu. Menurut hipotesis beberapa ilmuwan, terjadi letusan gunung api pada daerah ekuator bumi sekitar 100.000 tahun yang lalu dengan 27 titik di antaranya berada di Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
“Sehingga letusan yang terjadi pada Proto Krakatau atau Krakatau Purba diprediksi menghasilkan kaldera dan membelah Pulau Jawa dan Pulau Sumatera,” ujar dia, seperti dikutip laman resmi ITB, Senin, 15 Juni 2020.
Pada masa Hindia-Belanda mulai dilakukan penyusunan peta topografi dan vulkanologi yang dibuat oleh Junghuhn selama dua periode hingga 1855. Sedangkan untuk mempelajari waktu letusan Gunung Krakatau Purba yang lebih akurat, digunakan catatan sejarah dengan judul ‘Catatan Pustaka Raja Purwa’ yang disusun oleh Ranggawarsita.
Merujuk pada catatan itu, kata Mirzam, disebutkan bahwa ada gunung meletus yang terletak di Selat Sunda dan disusul oleh gunung-gunung lain yang berada di sebelah baratnya. Namun terjadi ketidakpastian waktu antara tahun 416 atau 535 Masehi yang membutuhkan analisis lebih mendalam agar dapat diketahui lebih tepat.
Berdasarkan analisis ilmiah pada abad ke-6, terjadi beberapa peristiwa perlambatan yang mempengaruhi pencatatan sejarah. Di antaranya data lingkaran tahun pada pohon melambat, terjadi penurunan temperatur kutub secara signifikan, peningkatan asam sulfat di daerah Greenland serta berakhirnya beberapa peradaban.
“Hasil analisis adanya anomali pada abad ke-6 menjadi dasar yang menguatkan jika Gunung Proto Krakatau meletus pada tahun 535,” kata Mirzam, dalam seminar yang bertemakan Gunung Api (Past, Present & Future) itu.
Mirzam mengatakan, letusan Gunung Krakatau pada 26 Agustus 1883 menjadikan gugusan Gunung Krakatau yang semula mencakup wilayah yang cukup luas menjadi terpecah-pecah beberapa pulau saat ini. Dampak yang ditimbulkan dari letusan tersebut adalah terjadinya gelombang besar di wilayah Selat Sunda yang ditaksirkan menelan korban 200.000 jiwa.
Pasca letusan 1883 juga dilakukan penelitian terkait dampak-dampaknya. “Gelombang pasang yang tercatat terjadi di seluruh dunia dengan ketinggian gelombang yang relatif beragam,” tutur Dosen dari Kelompok Keahlian Petrologi, Vulkanologi, dan Geokimia FITB-ITB itu.
Selain itu, Gunung Anak Krakatau juga terus mengalami pertumbuhan, karena posisinya yang terletak pada persilangan antara Pulau Jawa dan Sumatera. Adanya aktivitas vulkanis yang tidak hanya berasal dari satu sumber menyebabkan Gunung Anak Krakatau tumbuh signifikan dan arah letusannya pun cenderung menuju barat daya.
“Itu sejalan dengan arah sobekan Jawa-Sumatera, pulau-pulau di sekitar Gunung Anak Krakatau juga menunjukkan jejak letusan ke arah barat daya,” kata Mirzam.
Krakatau pada abad ke-21 dapat dipelajari melalui data resident time atau akumulasi waktu pembentukan terhadap volume kumulatif lava. Untuk menganalisis penyebab letusan Gunung Anak Krakatau pada 2018 dilakukan dua pendekatan, yaitu analisis petrografi dan distribusi ukuran kristal lava.
Jika digunakan analisis petrografi, maka pada 2012, 2014, dan 2017 masih memiliki komposisi fasa (senyawa kimia penyusun lava) yang relatif mirip. Sedangkan analisis distribusi ukuran kristal lava menunjukkan bahwa pada tahun 2017 terjadi resident time yang lebih lama. Hal itu menyebabkan kekentalan lava meningkat yang berakibat pada kenaikan tekanan dan terjadilah letusan.
Mirzam yang juga Dosen Teknik Geologi itu menambahkan, sejauh ini tsunami 2018 akibat letusan Gunung Anak Krakatau diperkirakan dapat terjadi oleh empat mekanisme, yaitu letusan gunung api di bawah air (volcanogenic tsunami), longsoran (air masuk ke daratan), gunung api meletus membentuk kaldera (gunung api muncul di permukaan), dan aliran piroklastik (tsunami pada bagian depan gunung dengan kecepatan gelombang 150-250 km/jam).
Sumber magma Gunung Anak Krakatau juga dipelajari melalui tes DNA magma (geokimia batuan) yang menunjukkan jika terdapat dua puncak unsur kimia penyusun lava, yaitu Ce (Cerium) dan Zr (Zirconium). Tes tersebut menunjukkan jika Gunung Anak Krakatau memiliki dua sumber magma.
“Karena sumber magma yang relatif dangkal dan tidak searah, menyebabkan pertumbuhan Gunung Anak Krakatau signifikan dan berpotensi vulcanogenic tsunami,” kata Mirzam.