Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perubahan fitur anti-stall itu tak diinformasikan kepada pilot dan maskapai.
Pesawat Lion Air PK-LQP dengan nomor penerbangan JT 610 dari Jakarta tujuan Pangkalpinang di Pulau Bangka adalah pesawat Boeing 737 MAX 8 pertama yang mengalami kecelakaan. Pesawat nahas itu jatuh di perairan Tanjung Pakis, Karawang, Jawa Barat, pada 29 Oktober lalu, 12 menit setelah lepas landas, menewaskan semua awak dan penumpang yang berjumlah 189 orang.
Boeing 737 MAX 8 merupakan penerus Boeing 737NG (Next Generation). Menurut situs Boeing, perusahaan manufaktur pesawat asal Amerika Serikat itu telah mengirim 241 unit MAX 8 kepada para pelanggannya sejak tahun lalu. Sebanyak 4.542 unit MAX 8 sudah dipesan, tapi belum dikirimkan.
Fitur paling gres yang membedakan MAX 8 dengan 737NG adalah mesin yang sangat hemat, yang diklaim 15 persen lebih efisien dalam penggunaan bahan bakar. Mesin LEAP-1B buatan CFM International itu lebih besar daripada milik 737NG. Selain itu, letaknya lebih tinggi dan lebih maju ke depan sayap.
Konsekuensinya, terjadi perubahan dalam keseimbangan pesawat. Menurut Bjorn Fehrm, analis Leeham Co, seperti dikutip Reuters, untuk mengantisipasi perubahan tersebut, Boeing memasang proteksi anti-stall baru, yakni Maneuvering Characteristics Augmentation System (MCAS).
Fitur anti-stall alias anti-jatuh adalah sistem yang otomatis bekerja agar tak terjadi stall—kondisi ketika hidung pesawat terlalu mendongak melampaui angle of attack (sudut antara aliran udara dan sayap pesawat). Angle of attack (AOA) yang terlalu tinggi membuat aliran udara pada sayap terganggu sehingga pesawat kehilangan daya angkat dan akhirnya jatuh. Untuk mencegah stall, MCAS akan mengaktifkan motor listrik untuk mengangkat ekor dan menukikkan hidung pesawat.
Boeing tidak mempublikasikan informasi tentang MCAS kepada pembeli MAX 8 ataupun pilot yang menerbangkannya. “Mengapa mereka tidak memberikan pelatihan tentang fitur tersebut?” ujar Kapten Mike Michaelis, ketua komisi keamanan serikat pekerja yang mewakili para pilot maskapai American Airlines, satu di antara dua maskapai Amerika Serikat yang mengoperasikan MAX 8.
Pada Boeing 737 MAX 8 terdapat dua sensor AOA yang menempel di sisi kiri dan kanan moncong pesawat. Berdasarkan temuan Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) dari analisis kotak hitam perekam data penerbangan (FDR), sensor AOA Lion Air PK-LQP itu rusak sehingga memasok data yang tak akurat.
Menurut Ketua KNKT Soerjanto Tjahjono, masalah pada sensor AOA dan indikator kecepatan pesawat (airspeed) terjadi dalam empat penerbangan terakhir Lion Air PK-LQP, yakni rute Denpasar-Manado, Manado-Denpasar, Denpasar-Jakarta, dan Jakarta-Pangkalpinang. “Pada penerbangan dari Denpasar ke Jakarta muncul perbedaan penunjukan AOA, yang mana AOA sebelah kiri lebih 20 derajat dibanding sebelah kanan,” ucap Soerjanto di gedung KNKT, Jakarta, Rabu tiga pekan lalu.
Masalah pada AOA erat kaitannya dengan kerusakan indikator kecepatan pesawat yang pernah diungkapkan KNKT sebelumnya. Sensor AOA yang rusak ada di sisi kiri moncong di bawah jendela pilot. “AOA itu telah diganti di Bali,” kata Soerjanto. Namun masalah AOA tetap muncul: penunjuk kecepatan dan ketinggian pesawat di instrumen kokpit ngawur. Beruntung, awak pesawat Lion Air PK-LQP nomor penerbangan JT 043 berhasil mendaratkan pesawat di Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta pada 28 Oktober lalu.
Keberhasilan Kapten Pilot William Martinus dan kopilot Fulki Naufan mendaratkan pesawat dengan terbang secara manual dan mengandalkan instrumen di sisi kopilot menjadi referensi KNKT. Soerjanto menerangkan, berdasarkan pengalaman awak pesawat JT 043 itu, pihaknya mengirim rekomendasi kepada Boeing untuk diteruskan kepada semua pilot MAX 8 di seluruh dunia guna mengantisipasi kerusakan pada petunjuk kecepatan pesawat seperti yang dialami pesawat Lion Air.
Walhasil, Boeing menerbitkan Operations Manual Bulletin pada 6 November 2018. Di situs media room-nya, Boeing mengatakan Buletin Manual Operasi itu memerintahkan semua operator menyediakan prosedur bagi awak penerbangannya dalam menghadapi situasi ketika terjadi kesalahan input dari sensor AOA. “KNKT Indonesia mengindikasikan bahwa Lion Air JT 610 mengalami pembacaan yang salah dari salah satu sensor AOA-nya,” demikian pernyataan yang dirilis Boeing.
Selain sensor AOA, di moncong pesawat terdapat alat ukur kecepatan terbang yang disebut pipa Pitot. Pengukuran kecepatan terbang vital dalam pengendalian pesawat. Jika pesawat terlalu lambat, akan terjadi stall. Sedangkan pesawat yang terlalu cepat bisa pecah terbelah. Ada dua pipa Pitot di pesawat. Tabung ini dinamai sesuai dengan nama penemunya, Henri Pitot, ilmuwan Prancis dari abad ke-18 yang ingin mengukur kecepatan aliran sungai.
Badan Investigasi dan Analisis Keselamatan Penerbangan Sipil Prancis (BAE) meyakini kerusakan pipa Pitot sebagai penyebab hilangnya pesawat Airbus A330-200 milik maskapai Air France dengan nomor penerbangan 447. Pesawat yang membawa 228 orang itu jatuh di Samudra Atlantik pada 1 Juni 2009. Menurut penyelidik, kristal es yang terbentuk di lubang masuk udara pipa Pitot memicu pengukuran kecepatan yang salah sehingga awak pesawat memberikan reaksi yang tidak tepat.
DODY HIDAYAT
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo