Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Gula-gula Detroit Asia

Thailand kian kokoh menjadi basis industri otomotif.

23 November 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Proses perakitan mobil di pabrik Mitsubishi Motors Thailand di Laem Chabang, Provinsi Chonburi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dengan mengandalkan model yang laris di pasar global, devisa ekspor Negeri Gajah Putih jauh melebihi Indonesia.

Kilatan cahaya berpendar di tengah gelapnya auditorium raksasa lantai 8 mal CentralWorld, Bangkok, Thailand, Jumat tiga pekan lalu. Kelebatan sinar berbentuk silinder itu tiba-tiba mengarah ke satu sudut ruangan, tempat sebuah benda besar yang diselubungi kain hitam teronggok. Perlahan cahaya itu meredup, diikuti terbukanya kain hitam yang ternyata menutupi sebuah mobil.

Setelah selubung tersingkap, sang sahibulhajat muncul di atas panggung. Dia Osamu Masuko, Kepala Eksekutif Mitsubishi Motors Corporation (MMC). Masuko tak bisa menyembunyikan kebanggaannya tatkala memperkenalkan New Mitsubishi Triton, mobil yang tadi terbungkus kain. “Saya sangat yakin mobil ini akan memenuhi keinginan konsumen kami di seluruh dunia,” katanya.

Bagi Masuko dan MMC, New Mitsubishi Triton sangat istimewa. Kendaraan ini adalah generasi keenam lini produk mobil bak terbuka atau pikap Mitsubishi, yang dipasarkan sejak 1978. Dengan pikap ini, Mitsubishi menikmati posisi sebagai penguasa ceruk pasar kendaraan niaga ringan di dunia dengan total penjualan 4,7 juta unit selama 40 tahun.

Peluncuran New Triton menandai eratnya hubungan Mitsubishi dengan Kerajaan Thailand, yang terbuhul sejak 1960-an. Pada 1992, perusahaan berlogo tiga berlian ini menjadikan Negeri Gajah Putih sebagai salah satu basis produksi terbesar di luar Jepang. Di Thailand, MMC membuat sedan, city car, sport utility vehicle, juga pikap dan pikap kabin ganda yang kemudian diekspor ke 150 negara. 

Kepada Tempo, Masuko mengatakan Thailand sudah mantap menjadi basis produksi pikap Triton dan model global lain. Bahkan, meski pasar Triton di Indonesia sangat besar, Masuko menyatakan tak akan memindahkan fasilitas produksinya yang sudah eksis. “Triton tetap di Thailand. Indonesia kami pilih untuk mengembangkan Xpander,” ujarnya. Xpander adalah minibus bermesin 1.500 cc yang belakangan meraup popularitas di Tanah Air.

SATU hari sebelum seremoni peluncuran New Triton, Tempo mengunjungi pabrik perakitan yang terletak di Laem Chabang, kota pelabuhan di Provinsi Chonburi, sekitar 150 kilometer dari Bangkok. Kawasan ini menjadi jantung Thailand yang dijuluki “Detroit of Asia”. Sebutan ini merujuk pada posisi Thailand sebagai pusat industri kendaraan bermotor, seperti wilayah Detroit di Amerika Serikat.

Laem Chabang pun dipadati pabrik-pabrik milik General Motors, Nissan, Suzuki, Ford, Mazda, dan Mitsubishi. MMC cukup beruntung lantaran memiliki pabrik dan gudang yang paling dekat dengan pelabuh-an. “Pengiriman kendaraan bisa lebih cepat dibanding produsen lain,” kata Head of Sales & Marketing Group PT Mitsubishi Motors Krama Yudha Sales Indonesia Imam Choeru Cahya, yang menemani perjalanan saat itu.

Tempo berkesempatan masuk ke Plant II, lini produksi yang membuat pikap Triton. Besarnya modal yang dikucurkan Mitsubishi bisa dilihat di sini. Di area press material atau pembentukan badan mobil dan welding atau pengelasan, tampak belasan lengan robot raksasa yang menempa lempengan baja. Teknologi robotik juga dimanfaatkan untuk pengecatan badan mobil. Pekerja di area itu bertugas mengontrol alat dan menyortir hasil pekerjaan sang robot.

Dengan tenaga robot dan 2.439 pekerja, Mitsubishi Plant II Laem Chabang mampu membuat 184 ribu unit pikap Triton atau 38 unit pikap per jam. Produksi pabrik yang beroperasi sejak 1996 ini jauh lebih banyak ketimbang pabrik Mitsubishi di Cikarang, Jawa Barat, yang mampu membuat 20 unit Xpander per jam.

Selain jumlah produksi, hal yang membedakan pabrik Mitsubishi di Thailand dengan di Indonesia adalah proving ground atau sirkuit khusus untuk mengetes mobil yang luasnya 150 ribu meter persegi. Sirkuit dengan panjang lintasan 1,5 kilometer ini fasilitas riset pertama yang dibangun di luar Jepang untuk menunjang ekspansi pasar Mitsubishi di Asia. Di Thailand, fasilitas semacam ini dimiliki hampir semua produsen.

Bagi produsen kendaraan, Thailand adalah tempat istimewa. Di negara ini, mereka membangun pabrik yang kecanggihan dan kemampuan produksinya melampaui fasilitas yang mereka dirikan di kampung halamannya.

KEBANYAKAN kendaraan buatan Thailand tak dinikmati di dalam negeri. Data Thai Automotive Industry Association menunjukkan, pada September 2018, volume produksi kendaraan di negara itu mencapai 183.141 unit dan 58,86 persen di antaranya dikirim ke luar negeri. Hanya 88.706 unit yang dipasarkan secara domestik. Itu pun sebagian diperoleh dari impor.

Menurut manajer intelijen bisnis lembaga konsultan Dezan Shira & Associates, Maxfield Brown, Thailand mendapat posisi istimewa ini karena banyak menawarkan “gula-gula” alias insentif untuk menarik investor. Selama tiga dekade, Thailand menawarkan kepemilikan lahan bagi pemodal asing serta mempermudah pengurusan aneka izin, dari visa hingga izin usaha.

Perusahaan yang memindahkan pabrik ke Thailand juga bisa mendapat pengecualian dari pungutan pajak penghasilan selama delapan tahun. Di beberapa kawasan, seperti Rayong, General Motors dan Ford bahkan memperoleh keistimewaan berupa pengurangan pajak sampai 50 persen. Biaya tenaga kerjanya pun lebih rendah ketimbang negara berkembang lain, termasuk Cina. Namun, kata Brown, mereka memiliki keahlian lantaran sudah lama bergulat di industri ini. “Keunggulan ini menyebabkan Thailand mampu menarik investasi di tengah persaingan ketat dengan Vietnam atau Indonesia,” tuturnya seperti dikutip CNN Money.

Posisi geografis Thailand pun menguntungkan karena berada di tengah Asia Tenggara, pasar paling potensial untuk kendaraan bermotor. ”Kami juga memiliki perjanjian perdagangan bebas dengan Cina, India, dan semua anggota ASEAN,” kata Ajarin Pattanapanchai, pejabat Thailand Board of Investment, seperti dikutip jurnal Automoblog.

Dengan pemanis tersebut, produksi kendaraan Thailand tumbuh 383 persen selama 2000-2017. Dalam laporan berjudul “Thailand Automotive Industry Outlook 2018-2020”, KrungSri Research menyebut proteksi industri melalui bea masuk untuk impor mobil utuh (completely built-up) sebagai salah satu pendukung pesatnya pertumbuhan industri lokal. “Kebijakan lanjutan yang diterapkan adalah memperkuat industri komponen domestik,” demikian petikan laporan tersebut.

Thailand juga sukses memanfaatkan faktor eksternal pada masa lalu. Saat perjanjian Plaza Accord berlaku pada 1987, nilai tukar yen Jepang menguat dan produsen kendaraan di negara itu mesti membangun pabrik baru di negara lain untuk mengejar biaya rendah. Beberapa tahun kemudian, Kerajaan Thailand merelaksasi aturan investasi, terutama mengenai hak kepemilikan penuh oleh investor asing. Peluang langka ini kemudian dimanfaatkan investor Jepang. Thailand pun menikmati lonjakan produksi kendaraan dari 360 ribu unit pada 1997 menjadi 1,99 juta unit pada 2017.

Kondisi sebaliknya terjadi di Indonesia. Rata-rata produsen kendaraan di sini membangun pabrik untuk merebut ceruk pasar domestik. Walhasil, jenis kendaraan yang dibuat mengikuti kebutuhan lokal, seperti minibus tujuh penumpang serta kendaraan bermotor hemat bahan bakar dan harga terjangkau, bukan sedan, pikap, atau sport utility vehicle (SUV) yang diminati pasar global.

Menurut Ketua I Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia Jongkie Sugiarto, situasi ini diperparah oleh rezim pajak yang tak berpihak pada pengembangan model kendaraan berorientasi ekspor, seperti sedan atau SUV. “Keduanya dianggap barang mewah yang harus kena pajak tinggi,” ucapnya kepada Tempo, beberapa waktu lalu. “Dengan cara itu, siapa yang tertarik membangun pabrik sedan di sini?” Walhasil, gap devisa ekspor kendaraan antara Indonesia dan Thailand kian lebar.

Karena itu, tak aneh jika produsen melirik negara selain Indonesia untuk tujuan ekspansi. Mitsubishi, misalnya, kini mengincar Vietnam sebagai lokasi pabrik kendaraan baru yang juga berorientasi ekspor.

FERY FIRMANSYAH (BANGKOK, LAEM CHABANG)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus