Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Jebakan Batman Rentenir Online

Ratusan orang menjadi korban pelayanan pinjam-meminjam online ilegal.

23 November 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi penagihan pinjaman online.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mereka diam-diam melipatgandakan nilai pinjaman dan menyalahgunakan data konsumen.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ade Rahmatia—bukan nama sebenarnya—pertama kali mengenal pelayanan pinjam-meminjam online ketika menerima sebuah pesan pendek dari nomor telepon tak terdaftar di telepon selulernya, awal 2018. Isinya mengenai informasi pinjaman uang dengan cara mudah, tanpa agunan, dan cair dalam waktu singkat.

Warga Jakarta ini langsung tergiur karena membaca berbagai kemudahan pinjaman yang ditawarkan. Belum lagi, ia tengah membutuhkan uang untuk membantu biaya pengobatan keluarganya. “Saya lantas mengikuti petunjuk dalam pesan singkat itu,” kata Ade, Jumat pekan lalu.

Petunjuk pertama dalam SMS tersebut adalah menginstal aplikasi atau platform pinjaman online bernama GoRupiah yang tersedia di Google Play Store, toko aplikasi online di Google. Setelah menginstal aplikasi itu, Ade langsung menerima SMS berikutnya dari pengelola pelayanan online tersebut.

Perempuan 40 tahun itu lantas mengisi formulir pinjaman dengan menuliskan data identitas diri, alamat, nomor telepon seluler yang terhubung dengan WhatsApp, serta nama anggota keluarga yang tinggal serumah dan kerabat lainnya.

Selanjutnya, Ade mengklik pelbagai petunjuk dalam aplikasi tersebut. Tuntas mengisi semuanya, Ade hanya menunggu satu hari hingga mendapat pemberitahuan bahwa dana pinjaman telah cair ke rekening pribadinya. Ade meminjam Rp 1 juta, tapi yang ditransfer ke rekeningnya hanya Rp 900 ribu. Ada selisih Rp 100 ribu yang ternyata sebagai biaya administrasi. Ade baru mengetahui ada biaya administrasi itu belakangan. Tapi, karena sangat membutuhkan uang ketika itu, ia tak menghiraukannya.

Menurut Ade, saat mengisi permohonan pinjaman, ia tidak mendapat pemberitahuan mengenai penghitungan bunga dan denda. Bekas karyawan perusahaan jasa ini hanya diberi informasi bahwa dalam satu bulan harus membayar Rp 1.180.000.

Masalah mulai muncul saat Ade menunggak cicilan pinjaman. Bagian penagihan GoRupiah silih berganti menghubunginya lewat telepon ataupun SMS. Kadang si penagih mengumpat, mengancam, atau mengintimidasi Ade.

Bentuk intimidasi yang diterima Ade antara lain ancaman akan mempermalukannya. Ancaman itu terbukti. Debt collector itu betul-betul menyebarkan pesan singkat ke nomor kontak rekan-rekan Ade yang isinya memberitahukan bahwa dia memiliki utang. Rekan-rekan Ade juga diminta memberi tahu Ade agar segera me-lunasi utangnya.

Ade kaget setelah teman-temannya menanyakan perkembangan utangnya di GoRupiah, padahal ia tidak pernah membagikan nomor kontak mereka ke financial technology (fintech) tersebut. Ia baru me-nyadarinya ketika mengadu ke Lembaga Bantuan Hukum Jakarta. “Ternyata pinjaman online ini dapat menyerap nomor kontak, log telepon, foto, dan e-mail setelah saya menginstal aplikasinya,” kata Ade.

Selain itu, Ade pernah menerima perundungan seksual secara verbal dari debt collector GoRupiah. Bentuk perundungan itu berupa ucapan agar Ade bersedia bersetubuh dengan si penagih jika tak sanggup melunasi utangnya. “Setelah melakukannya, dianggap lunas,” ujar Ade.

Sempat menunggak selama dua bulan, Ade melunasi utangnya dengan menyetor ke bank swasta nasional yang bekerja sama dengan GoRupiah sebesar Rp 2 juta. Jumlah ini sudah termasuk pokok utang, bunga, dan denda.

Ade belum sepenuhnya terbebas dari utang. Sebab, ia juga meminjam di Doctor Rupiah, aplikasi fintech lain, satu bulan setelah meminjam di GoRupiah. Ia meminjam Rp 2 juta. Tapi, karena menunggak dua bulan, ia diminta membayar Rp 3,8 juta. “Saya tidak tahu cara menghitungnya. Saya lagi mengumpulkan uang untuk membayarnya,” kata Ade.

GoRupiah dan Doctor Rupiah dimintai konfirmasi melalui telepon kantor dan alamat surat elektroniknya, tapi tidak menjawab. Melalui surat elektronik, GoRupiah hanya menjawab singkat. “Mohon maaf sekali kami tidak bisa memberikan penjelasan terkait pertanyaan-pertanyaan tersebut,” kata Costumer Services PT InFin Tech Indonesia, perusahaan pemilik GoRupiah, lewat e-mail.

Fajar Aripitaka, 26 tahun, juga terbelit utang di beberapa penyelenggara pinjaman online. Mantan karyawan Pertamina ini mengutang di lima platform pinjaman dengan total Rp 6 juta. “Saya mulai meminjam karena iseng saja, untuk bayar listrik dan pulsa,” ujarnya, Jumat pekan lalu.

Semula Fajar dapat melunasi utangnya, tapi lama-kelamaan ia ketagihan dengan kemudahan pinjaman yang diberikan sehingga mengutang lebih besar lagi. Karena tak melunasi utangnya setelah jatuh tempo satu bulan, Fajar berkali-kali ditagih. Warga Surabaya ini juga kerap menerima ancaman dan intimidasi dari debt collector. Informasi mengenai utang dia juga disebarkan ke kolega dan keluarganya.

Sejumlah nasabah pinjaman online melaporkan kasus dugaan ancaman melalui media elektronik ke Polda Metro Jaya, Jakarta, Juni 2018.

Ketua Eksekutif Bidang Cash Loan Asosiasi Fintech Indonesia Sunu Widyatmoko mengatakan GoRupiah dan Doctor Rupiah tidak terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan. Ia menyarankan masyarakat mengadu ke OJK dan polisi jika menjadi korban pelayanan liar ini. “Kami hanya mengurusi yang terdaftar,” ujarnya.

Puluhan nasabah pinjaman online sudah melapor ke Kepolisian Daerah Metro Jaya, Juli lalu. Laporan itu masih dalam tahap penyelidikan di kepolisian. Lembaga Bantuan Hukum dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia juga menerima banyak pengaduan. Catatan OJK menyebutkan sedikitnya ada 2.366 orang yang menghubungi hot-line OJK untuk menanyakan fintech ini. Salah satunya menyangkut pengaduan kerugian atas pelayanan aplikasi ilegal.

Adapun YLKI menerima 72 pengaduan dari berbagai nasabah pinjaman online. Sedangkan LBH menerima sekitar seribu pengaduan sejak 4 November lalu. Pengadu ke LBH terbanyak berasal dari Jakarta, Depok, Bogor, Bekasi, dan Tangerang.

Peneliti YLKI, Rio Priambodo, mengatakan hasil kajian lembaganya menemukan bahwa pelayanan aplikasi yang mempertemukan pengutang dan pemberi pinjaman (peer-to-peer lending) ini menyasar kaum milenial, yakni anak muda yang paham soal teknologi. Mereka adalah kelompok yang membutuhkan uang, tapi dalam jumlah tidak banyak. Pinjaman yang ditawarkan rata-rata di bawah Rp 10 juta dalam jangka pendek. “Ini menjadi masalah jika mereka asal mengunduh aplikasi tanpa melihat klausul di dalamnya,” tutur Rio.

Menurut Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi, sebagian besar penyelenggara kredit online ini perusahaan yang tak terdaftar di OJK. Jumlahnya di atas 500 aplikasi. Sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016, semua pelayanan pinjam-meminjam berbasis teknologi informasi harus memenuhi sejumlah syarat dan terdaftar di OJK. Hingga kini, baru 72 penyelenggara aplikasi yang terdaftar dan satu yang mengantongi izin.

Menurut juru bicara OJK, Sekar Putih Djarot, lembaganya sudah berkoordinasi dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika serta Google Indonesia untuk mencabut aplikasi itu dari Google Play -Store. “Sudah ada 400 aplikasi fintech ilegal yang ditutup,” ujarnya.

Menurut Tulus, mayoritas peminjam tak memahami dan tidak membaca kontrak perjanjian yang dibuat kreditor, termasuk besaran bunga yang ditawarkan dan mekanisme cara penagihan. Mereka rata-rata tergiur oleh kemudahan dan kecepatan pencairannya. Tak aneh, kata dia, sebagian besar pengaduan yang masuk ke lembaganya berisi keluhan tentang besarnya utang yang harus dikembalikan dengan nilai hingga tiga kali lipat utang pokoknya, seperti rentenir. “Ini jebakan batman,” katanya.

Pinjaman Kaum Milenial

YLKI mencatat beberapa indikasi pelanggaran yang dilakukan pelayanan pinjaman online ini. Misalnya, ada potensi penyalahgunaan data pribadi, proses peminjaman tidak transparan, suku bunga tidak sesuai dengan perjanjian awal, dan tidak ada konfirmasi kenaikan biaya pelunasan. “Perusahaan pinjaman online juga menyerap data di telepon seluler peminjam. Hal ini rawan disalahgunakan,” ujar Rio Priambodo.

Peneliti LBH, Jeanny Silvia Sari Sirait, mengatakan data pribadi debitor bisa dengan mudah diakses pengelola pelayanan karena peminjam hanya diberi dua pilihan setelah menginstal aplikasi: mengklik kata “mengizinkan” atau “allow” dan “menolak” atau “deny”. Jika mengklik “mengizinkan”, berarti debitor mengizinkan data pribadi di dalam nomor kontaknya diakses pengelola fintech. Sebaliknya, jika memilih “menolak”, otomatis calon peminjam itu batal mengutang.

Setelah debitor menginstal aplikasi, kata Jeanny, secara otomatis data pribadinya ikut terserap, seperti foto, log telepon dan WhatsApp, serta nomor kontak teman-teman peminjam. “Tak ada jaminan data pribadi debitor akan aman,” ujarnya.

RUSMAN PARAQBUEQ

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus