Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KLIP video dari salah satu kamera jebak yang dipasang Nyoto Santoso dan tim studi Bioekologi dan Konservasi Lutung Sentarum itu bisa membuat banyak orang terkejut. Tampak seekor lutung berambut kombinasi tiga warna sedang memakan biji karet di lantai hutan di Bukit Semujan, Resort Lupak Mawang, Taman Nasional Danau Sentarum, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. “Selama ini enggak tahu ada jenis ini,” kata Nyoto di kantornya, Selasa, 12 Maret 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nyoto, Kepala Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Institut Pertanian Bogor (IPB University), Jawa Barat, tidak asal mengklaim. Uni Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN) pun, dalam daftar merah spesies yang terancam, hanya menyebut Malaysia timur sebagai bentang geografis spesies tricolour langur yang bernama ilmiah Presbytis chrysomelas spp. cruciger ini. Wilayah sebarannya adalah Melalap di Sabah hingga Baram di Sarawak utara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di Baram inilah, tepatnya di Pantai Miri, Charles Hose, kolektor satwa, menangkap lutung yang agak lain di tengah kerumunan lutung berambut hitam pada 1887. Rambutnya kombinasi tiga warna: putih di dada hingga perut; jingga di ubun-ubun serta sisi tubuh dari ketiak, paha, dan sisi luar tungkai hingga mata kaki; dan hitam agak cokelat di kepala. Pada 1892, Oldfield Thomas mendeskripsikan lutung koleksi Hose itu sebagai Semnopithecus cruciger.
Adapun lutung Sentarum yang ditemui Nyoto bersama tim gabungan dari IPB University, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), serta Balai Besar Taman Nasional Betung Kerihun dan Danau Sentarum memiliki kemiripan dengan lutung tiga warna dari Miri itu. Sedikit perbedaannya adalah warna rambut di bagian dada dan perut yang putih kekuning-kuningan.
Menurut Nyoto, lutung Sentarum secara morfologi tampak berbeda dengan lutung Kalimantan lain seperti lutung kelasi (Presbytis chrysomelas) yang berambut hitam dan lutung buhis (Presbytis rubicunda) yang berambut merah. “Secara kasatmata, secara tipologi dan komposisi warna, lutung ini berbeda,” tuturnya. Tim pun mengusulkan nama ilmiah jenis ini Presbytis cruciger untuk menghormati Thomas sebagai pendeskripsi pertama lutung tiga warna.
Nyoto bercerita, inisiatif meneliti lutung Sentarum muncul setelah ia berbincang dengan Kepala Balai Besar Taman Nasional Betung Kerihun dan Danau Sentarum (TNBKDS) saat itu, Arief Mahmud. “Pak Arief mengatakan staf Taman Nasional telah berjumpa dengan lutung tiga warna pada 2018,” ujar Nyoto mengenang pembicaraannya dalam acara seminar sebelum orasi purnabakti Profesor Hadi Alikodra, Maret 2019.
Lutung Sentarum di Bukit Semujan, Resort Lupak Mawang, Taman Nasional Betung Kerihun dan Danau Sentarum di Kapuas Hulu, Kalimantan Barat/Dok Balai Besar Taman Nasional Betung Kerihun dan Danau Sentarum
Staf Taman Nasional yang dimaksud Arief adalah polisi kehutanan Asri Ari Gessa. Asri, 40 tahun, bercerita, pada 20 April 2018 siang, ia tengah menjalani eksplorasi bersama tim peneliti kupu-kupu TNBKDS. “Awalnya terdengar suara seperti kicauan burung. Berjarak sekitar 30 meter di atas pohon yang lumayan tinggi, terlihat binatang itu,” tutur Acy—sapaan akrab Asri Ari Gessa—melalui sambungan telepon, Kamis, 4 April 2024.
Menurut Acy, pemandu tim yang merupakan warga lokal mengatakan itu bekantan. Acy, yang mengaku belum pernah melihat bekantan, penasaran karena satwa liar itu terus menghindar jika melihat manusia sembari mengeluarkan suara. “Pak Badrul ketua tim meminta saya memotret binatang itu. Saya foto pertama, hasilnya tidak bagus. Terus saya kejar sampai yang ketiga dapat tapi dia sembunyi di balik pohon,” ucap Acy, yang punya hobi fotografi.
Aripin, yang saat itu adalah staf pengendali ekosistem hutan dan koordinator tim eksplorasi, mengatakan penemuan lutung tiga warna di Bukit Semujan itu tak disengaja. “Awalnya ada laporan dari masyarakat bahwa ada macan dahan yang keluar dari habitat. Instruksi Kepala TNBKDS, semua tim (delapan kelompok peneliti) melakukan eksplorasi,” kata Aripin saat dihubungi pada Rabu, 3 April 2024. Tim berhasil menjumpai orang utan, lutung kelasi, beruang madu, babi nangui, pelatuk kelabu besar, dan cica daun besar.
Menurut Aripin, eksplorasi pertama ditindaklanjuti dengan eksplorasi kedua khusus untuk menyurvei lutung Sentarum di wilayah Bukit Semujan, Taman Nasional Danau Sentarum, pada Maret 2019. Area yang disurvei itu, Aripin menambahkan, seluas 170 hektare. “Tim menjumpai langsung 43 individu dalam tujuh kelompok,” tuturnya. “Lutung ini memiliki warna yang sangat menarik, hitam dan jingga yang dominan serta putih keabuan,” ucap Koordinator Urusan Perencanaan, Perlindungan, dan Pengawetan TNBKDS itu.
Warna hitam terdapat di bagian tangan dan punggung sampai ekor. Warna hitam dominan di punggung dan lengan ini dapat dijadikan pembeda dengan lutung buhis yang rambut bagian punggungnya berwarna jingga. Pembeda lain yang menjadi ciri fisiologis, Aripin melanjutkan, adalah adanya garis hitam di wajah, tepatnya di bawah mata kiri dan kanan, yang tidak dimiliki lutung Kalimantan lain.
Sementara eksplorasi lutung Sentarum oleh TNBKDS hanya mencakup wilayah Bukit Semujan, kajian bioekologi dan konservasi yang dipimpin Nyoto Santoso meliputi empat resor Taman Nasional Danau Sentarum, yaitu Lupak Mawang, Sepandan, Pulau Majang, dan Semangit. “Tahun 2020, Kepala Bidang Teknik TNBKDS Ardi Andono (kini Kepala Taman Nasional Ujung Kulon, Banten,) menemui saya untuk menyusun proposal riset lutung Sentarum,” tutur Nyoto.
Proposal itu diajukan ke Tropical Forest Conservation Action (TFCA) Kalimantan Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia. Nyoto mengungkapkan, dia mengusulkan judul studi itu dan tidak ada perubahan dari awal. “Meliputi kondisi biologi dan ekologinya. Bagaimana morfologi, genetika, populasi, aktivitas, pergerakan, struktur umur, rasio seks, demografi, pakan, juga interaksi dengan satwa lain dan kondisi habitatnya,” ucapnya.
“Lalu bagaimana ini konservasinya? Konservasi kan manajemen. Intinya adalah bagaimana melindungi, melestarikan, dan mengembangkan nilai manfaat lutung Sentarum ini,” ujar Nyoto. “Akhirnya, pada akhir 2020 penyusunan proposal final. Kami mendapatkan rekomendasi dari Kepala TNBKDS.”
Puspa D. Liman, Direktur Program TFCA Kalimantan, mengakui salah satu pertimbangan utama pihaknya menerima proposal IPB University adalah rekomendasi Kepala TNBKDS. “Sebagai rangkaian penilaian proposal, IPB berkonsultasi dengan TNBKDS dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, khususnya Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati,” kata Puspa melalui Zoom, Kamis, 4 April 2024. “Setelah disetujui, baru ada rekomendasi. Itu menguatkan nilai proposal.”
Menurut Puspa, proposal tersebut dianggap kuat karena mendukung data informasi pengelolaan Taman Nasional serta memunculkan lebih banyak data dan informasi mengenai spesies lutung Sentarum dan keterkaitannya dengan lingkungan. “Di IUCN kami lihat data tidak cukup. Jadi status perlindungannya apa? Apakah terancam atau masih banyak sekali? Kita tidak tahu.”
Program riset itu pun ditandatangani dengan durasi 1 April 2021-30 September 2023. Nyoto menyebutkan dana dari TFCA Kalimantan yang diterima sebesar Rp 4 miliar. Puspa menerangkan, komposisi dana itu adalah 85 persen biaya program dan selebihnya biaya administrasi serta pendukung. Survei lapangan berlangsung pada Juli 2021-Juli 2023. “Di lapangan, pasukan tempurnya adalah 15 mahasiswa S-1 dari IPB dan lima dari Universitas Tanjungpura,” ujar Nyoto.
Untuk mengamati aktivitas dan perilaku lutung Sentarum, Nyoto menambahkan, tim memasang 20 unit kamera jebak di sekitar kaki Bukit Semujan. Tim berfokus mengamati kelompok lutung Sentarum di sisi selatan Bukit Semujan. Kamera jebak itu dipasang pada batang pohon dengan ketinggian 5-12 meter dari permukaan tanah. Adapun ketinggian kamera jebak yang diletakkan di permukaan tanah 30-60 sentimeter.
Hasilnya menunjukkan lutung Sentarum melakukan aktivitas di atas permukaan tanah cuma selama 1 jam 7 menit 23 detik. Selebihnya adalah aktivitas yang tidak tertangkap kamera jebak yang diasumsikan dilakukan secara arboreal. Di atas tanah, lutung Sentarum berjalan menggunakan kedua kaki belakang sambil melompat-lompat kecil. Ini sangat berbeda dengan ketika lutung bergerak di antara pohon yang lebih sering terlihat menggunakan keempat kaki.
Survei populasi lutung Sentarum di empat resor Taman Nasional Danau Sentarum, Nyoto melanjutkan, berhasil menjumpai secara langsung 249 individu dalam 35 kelompok. Anggota kelompok sebanyak 4-15 individu. Diperkirakan masih ada kelompok lain yang belum diketahui, mengingat ada beberapa wilayah yang sangat sulit diakses karena aturan adat masyarakat setempat dan berbahaya bagi keselamatan.
Untuk menguatkan kesimpulan bahwa lutung Sentarum adalah spesies tersendiri, tim melakukan analisis asam deoksiribonukleat (DNA). Upaya mengumpulkan sampel ini tidak mudah. Tembakan bius tak dapat digunakan karena lutung sangat sensitif. Melihat ada pergerakan dan suara manusia dari kejauhan saja, satwa liar ini sudah langsung menjauh. “Kalau kita pakai senapan bius takut nanti lutungnya jatuh, bisa patah tulang,” kata Nyoto.
Akhirnya mereka menerapkan cara orang Dayak Iban menangkap lutung, yakni menggunakan perangkap berupa jaring. Tiga individu pun tertangkap, yakni dua berjenis kelamin jantan dan seekor betina. Satu individu lain adalah tangkapan warga yang diserahkan. Sampel yang diambil adalah darah, kuku, dan rambut. Sampel diambil oleh dokter hewan. Diambil pula feses sebagai sampel noninvasif.
Analisis genetika terhadap sampel dilakukan oleh Uus Saepulloh, Kepala Program Bioteknologi Pusat Studi Satwa Primata IPB University. Uus mengaku bukan peneliti yang dari awal terlibat dalam riset lutung Sentarum ini. Ia dikontak oleh Nyoto pada Juni 2023. Uus mengatakan menerima kiriman sampel pada Agustus 2023, terdiri atas tiga set sampel darah, rambut, dan feses. Selain itu, Uus meminta tambahan satu sampel yang datang pada November 2023.
Uus mengungkapkan, ia menggunakan analisis DNA partial gene. Area deteksi yang menjadi target adalah DNA mitokondria (mtDNA) di daerah D-loop. “Panjang genom DNA inti itu 3 miliar pasang basa, kalau mtDNA 16 ribu pasang basa, sedangkan D-loop hanya 500 pasang basa,” tuturnya. “D-loop tak mengkode protein dan daerah yang relative variable. Artinya, sekuensnya cukup cepat perubahannya sehingga membedakan spesies itu lebih mudah.”
Dokumentasi pengambilan sample dna lutung sentarum, di Taman Nasional Sentarum, Kalimantan Barat/Dok. Buku Bioekolog dan KonservasiLutungSentarum
Sebagai pembanding, Uus menggunakan basis data sekuens di Genbank milik National Center for Biotechnology Information. “Rupanya, untuk sekuens Presbytis chrysomelas itu hanya ada satu, yang diunggah oleh Dirk Meyer,” ucap Uus. “Kemudian dibandingkan juga terhadap sekuens primata lain, di antaranya Presbytis melalophos, P. rubicunda, dan P. fermoralis. Juga dibandingkan dengan monyet ekor panjang dan orang utan Kalimantan,” ucapnya.
Tiga sampel Agustus 2023, Uus melanjutkan, mengkluster di satu garis dengan kemiripan 99-100 persen, lalu bercabang dengan sampel November 2023 yang identik dengan sampel Agustus 2023 sebesar 94,19 persen dan dengan Presbytis chrysomelas Meyer sebesar 95,59 persen. Sampel Agustus 2023 diduga Presbytis cruciger atau Presbytis chrysomelas spp. cruciger. “Dari sini cukup mendukung temuan di lapangan secara morfologi bahwa ada dua spesies yang berbeda.”
Namun, Uus menekankan, analisis mtDNA partial gene belum cukup kuat. “Apalagi sampel yang digunakan sebagai pembanding hanya satu individu dan dari satu wilayah,” ujarnya. Uus menyarankan analisis DNA lanjutan dengan menyasar target gen lain, seperti sitokrom c oksidase unit I (COI) atau sitokrom b (Cyt b). Yang lebih ideal, Uus menambahkan, diambil beberapa bagian DNA inti atau bahkan genom keseluruhan.
Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Satyawan Pudyatmoko mengatakan pihaknya membuat 19 rekomendasi tindak lanjut atas hasil riset IPB University dan TNBKDS ini. “Salah satunya melakukan penelitian lanjutan tentang jumlah dan struktur populasi lutung Sentarum di Kabupaten Sambas, Kapuas Hulu, dan Murung Raya, terutama yang berbatasan dengan Sabah,” kata Satyawan melalui jawaban tertulis, Kamis, 4 April 2024.
Menurut Satyawan, adanya penelitian lanjutan ini menunjukkan bahwa data lanjutan masih diperlukan untuk menilai apakah lutung Sentarum telah memenuhi kriteria untuk ditetapkan sebagai satwa yang dilindungi sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999. “Kriteria penetapan jenis tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi adalah mempunyai populasi yang kecil, adanya penurunan tajam jumlah individu di alam, dan daerah penyebaran yang terbatas (endemis).”
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Irsyan Hasyim berkontribusi dalam penulisan artikel ini