Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KERUSAKAN lingkungan, seperti deforestasi dan eksploitasi sumber daya alam, memantik perhatian berbagai pakar, termasuk cendekiawan muslim seperti Muhammad Amin Abdullah. Dia pernah memimpin Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang menghasilkan sejumlah putusan dan fatwa yang berpihak pada pelestarian lingkungan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Amin berpendapat, membereskan dan memulihkan kerusakan lingkungan memerlukan aksi nyata. Produk seperti fatwa dan ensiklik tak cukup memberi daya dorong bagi umat untuk bertindak melindungi lingkungan. Karena itu, bagi Amin, diperlukan pemahaman fikih lingkungan demi menyelamatkan alam. "Fikih lingkungan itu faith in action, iman dalam tindakan nyata," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun Amin melihat ada tantangan dalam mengenalkan fikih lingkungan. Para penceramah cuma berfokus pada hubungan manusia dengan Tuhan dan sesamanya. Padahal ada dimensi lain, yakni relasi antara manusia dan alam. Guru besar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta itu salah satu yang mendorong pembaruan tafsir Al-Quran untuk merespons persoalan masa kini, seperti bencana ekologis. "Tafsir memang harus diubah karena konteks zamannya sudah berbeda," ujar pria yang lahir di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, itu.
Pada Kamis, 21 Maret 2024, Amin menerima wartawan Tempo, Sunudyantoro dan Yosea Arga Pramudita, di kantor Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, Gambir, Jakarta Pusat. Dia menjelaskan perlunya penafsiran baru terhadap Al-Quran untuk merespons krisis lingkungan dan peran organisasi kemasyarakatan Islam dalam isu ekologis.
Untuk memperkaya perspektif, wartawan Tempo, Raymundus Rikang, melakukan wawancara tambahan melalui sambungan telepon pada Jumat, 5 April 2024. Amin menerangkan, imbauan seperti fatwa dan ensiklik tak cukup untuk membereskan persoalan lingkungan yang kompleks. "Menggerakkan masyarakat untuk beraksi tak kalah penting," tuturnya.
Apa pentingnya fikih lingkungan di tengah krisis ekologi hari ini?
Krisis atau perubahan iklim hari ini akibat ulah manusia. Jika tak ada revolusi industri, barangkali tak akan terjadi situasi semacam ini. Kita tak bisa mengerem laju revolusi industri dan tidak bisa menyalahkannya karena jumlah penduduk terus naik. Persoalannya ada pada pandangan antroposentris—manusia seakan-akan berkuasa di atas alam semesta—sehingga kita memperlakukan alam secara tak adil, ekstraktif, dan eksploitatif.
Agama gagal memberi respons yang memadai?
Terus terang bahwa agama tak peduli pada persoalan lingkungan. Materi yang disampaikan dai dan ulama cuma hubungan manusia dengan Tuhan serta sesama manusia. Hablum minallah dan hablum minannas. Mereka tak pernah menyebut hablum minalalam, hubungan manusia dengan alam sekitarnya. Pengajian-pengajian itu sama sekali tak menyentuh perkara sampah, air, dan lainnya.
Kenapa isu lingkungan tak menarik bagi pedakwah?
Isunya benar-benar tertinggal. Ada aspek ekonomi juga. Yang lebih penting adalah kita terjebak pada perspektif monodisiplin. Kita cepat puas bila sudah mengetahui satu sisi pengetahuan dan cenderung tak mau tahu disiplin lain. Padahal kita punya kewajiban ngangsu kawruh (menimba ilmu) dari berbagai macam perspektif.
Pemikir Islam, Amin Abdullah, saat diwawancarai Tempo di Jakarta, 21 Maret 2024/Tempo/Tony Hartawan
Lembaga ijtihad punya fatwa soal pelestarian lingkungan. Di institusi agama lain, seperti gereja Katolik, Paus Fransiskus menulis ensiklik Laudato si' yang mendorong pertobatan ekologis. Apakah itu tak cukup?
Itu upaya yang baik. Pemuka agama harus mengeluarkan semacam ensiklik atau fatwa seperti itu. Tapi problem lingkungan bukan hanya pada wilayah anjuran atau imbauan. Masalahnya terletak pada faith in action. Kita mendengar imbauan dari sana-sini, tapi tak ada yang mengawasi dan memberikan sanksi bagi mereka yang melanggar. Bagaimana menggerakkan masyarakat untuk beraksi juga tak kalah penting. Fikih lingkungan membantu mengatasi persoalan itu.
Bagaimana semestinya memandang fikih agar punya daya perubahan untuk menyelamatkan lingkungan?
Fikih lingkungan itu faith in action, iman dalam perbuatan nyata. Kalau tak ada tindakan, namanya bukan fikih dan sebatas diskusi belaka. Fikih perlu membuka kesadaran semua orang. Biasanya yang menyentuh adalah para ulama karena mereka paham seluk-beluk agama.
Ada pandangan bahwa krisis iklim diselesaikan lewat pendekatan ilmu pengetahuan, bukan agama. Anda setuju atau menentangnya?
Ilmu pengetahuan dan agama harus berkolaborasi. Pendekatan saintifik yang dilakukan ilmuwan sudah dikerjakan. Ada yang berhasil, terutama di negara Eropa. Contohnya, kualitas air di Sungai Rhein sekarang telah membaik dengan ikan yang bisa hidup. Sebelumnya sungai itu pernah tercemar pada era industrialisasi. Indonesia belum punya teknologi semacam itu sehingga sains dianggap belum berhasil. Karena itu, agama bisa membantu lewat pemuka agama yang menggugah kesadaran soal pelestarian lingkungan.
Kesadaran akan krisis iklim di negara Eropa yang sekuler lebih besar ketimbang di Indonesia yang gairah religiositasnya sedang tinggi. Apakah ada kaitan antara religiositas dan keberpihakan pada lingkungan?
Nilai seperti agama itu harus diturunkan ke level praksis. Warga di negara Eropa tak lagi bertengger pada nilai-nilai yang menggantung di langit, melainkan sudah pada level praktik di lapangan. Apa yang mereka kerjakan itu melampaui fatwa dan ensiklik. Ada kesadaran komunitas yang tinggi untuk berbuat sesuatu. Pada level ini, etika keagamaan ditantang, fatwa dan ensiklik harus membumi.
Jadi anjuran seperti fikih dan fatwa yang mudah dicerna masih diperlukan di Indonesia untuk membangun kesadaran menjaga alam?
Penerapan fikih lingkungan di Indonesia semestinya lebih mudah dengan gairah keagamaan yang sedang tinggi. Namun, jika dalam otak kita cuma ada perspektif hablum minallah dan hablum minannas, ya, sulit. Revolusi ilmu pengetahuan Islam sudah memasukkan kajian hubungan antara manusia dan lingkungan.
Anda pernah memimpin Majelis Tarjih Muhammadiyah yang menetapkan fatwa. Apa anjuran yang pernah Anda buat untuk penyadaran tentang krisis lingkungan?
Soal bahaya bencana lingkungan belum terlalu disadari saat itu. Kami yang memulai diskusi tentang ancaman kerusakan lingkungan secara terbuka. Muhammadiyah kini merespons lebih baik lewat pembentukan Majelis Lingkungan Hidup. Beberapa anggota kami secara individu mendukung gerakan sosial yang memprotes pembangunan yang merusak alam.
Bagaimana semestinya agama dan ilmu pengetahuan bekerja sama mengatasi persoalan lingkungan?
Pemuka agama harus mendengarkan masukan para ilmuwan karena mereka tak bisa meneliti atau mengkaji masalah ekologis. Sebaliknya, ilmuwan harus terbuka untuk mendengarkan dan memanfaatkan pengaruh ulama guna membantu mengingatkan serta mendorong aksi nyata menyelamatkan lingkungan. Tak boleh ada tembok tebal antara ilmu pengetahuan dan agama. Istilah saya ialah semipermeabel, sains dan agama bisa saling memberi masukan serta mengkritik.
Bisa memberi contoh kolaborasi yang baik?
Pada masa pandemi Covid-19, dokter dan ilmuwan kebingungan menyetop mobilitas masyarakat. Kemudian ulama diminta mengerem pergerakan warga agar penyebaran virus tak meluas. Ada juga pesantren yang diganjar penghargaan kalpataru karena sukses mereboisasi hutan gundul. Praktik semacam ini perlu kita lihat sebagai upaya memberikan warning kepada umat bahwa akan terjadi bencana kalau tak menjaga lingkungan. Selama ini agama dilibatkan kalau kerusakan sudah parah.
Apa maksudnya agama dilibatkan ketika alam sudah rusak?
Kita lihat proyek mercusuar di Kalimantan itu. Kita kecolongan dalam proyek pembangunan yang besar-besaran itu karena tak melibatkan masyarakat. Semestinya tokoh adat dan pemukanya diajak berbicara karena mengetahui wilayah itu sejak dulu. Diskusi itu seharusnya terjadi sebelum ekskavator dan buldoser datang. Yang terjadi sekarang adalah ketimpangan proses, mereka diajak berdiskusi setelah terjadi kerusakan. Masyarakat disingkirkan jauh-jauh dari tempat tinggalnya. Praktik ini tak sehat.
Perubahan kebijakan lingkungan agaknya sulit di pemerintahan baru nanti karena barisan pengusaha industri ekstraktif di belakangnya....
Titik awalnya adalah membedakan antara presiden dan businessman. Jika bercampur aduk statusnya, akan menjadi conflict of interest. Presiden dipilih rakyat dan mendapat mandat rakyat. Sedangkan pengusaha hanya mikir kelompok dan keuntungan diri sendiri. Kita orang awam hanya berharap mudah-mudahan presiden terpilih ini tiba-tiba menjadi pelopor reboisasi. Dia menggerakkan rakyat untuk menghijaukan lagi daerah yang rusak karena tambang emas, nikel, batu bara, dan lainnya, ha-ha-ha....
Bagaimana fikih lingkungan bisa diterapkan untuk mencegah aksi deforestasi seperti di Ibu Kota Nusantara?
Kembali pada komunikasi para pihak. Pembabatan hutan dilakukan oleh negara yang punya kekuasaan. Di sisi lain, masyarakat punya local wisdom. Peran para ulama bukan hanya sebagai penceramah. Masyarakat perlu dibangun daya kritisnya untuk melaporkan kerusakan lingkungan yang terjadi.
Muhammad Amin Abdullah
Tempat dan tanggal lahir:
- Pati, Jawa Tengah, 28 Juli 1953
Pendidikan:
- Sarjana perbandingan agama Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
- Doktor filsafat Islam Middle East Technical University, Ankara, Turki
- Program pascadoktoral McGill University, Kanada
Organisasi:
- Wakil Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah (2000-2005)
- Ketua Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam Pimpinan Pusat Muhammadiyah (1995-2000)
Jabatan publik:
- Rektor Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta (2002-2010)
Organisasi Islam dinilai kurang peduli akan isu lingkungan. Apa pendapat Anda?
Saya kira ada benarnya. Kehadiran ormas Islam, seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, awalnya bertujuan mengentaskan masyarakat dari kemiskinan serta mengatasi ketertinggalan lewat pendidikan dan kesehatan. Belum terpikirkan pendekatan serta kepedulian terhadap alam dan kondisi lingkungan. Itu masih terbawa sampai sekarang.
Apa yang mesti dilakukan ormas Islam agar punya kontribusi lebih dalam pelestarian lingkungan?
Organisasi sudah ada dan berjalan, tapi apakah mereka aktif dalam pencegahan dan pelaporan kerusakan lingkungan? Jangan-jangan mereka hanya melakukannya sebagai bentuk formalitas. Seperti yang saya katakan, faith in action dalam menjaga lingkungan itu yang penting.
Bagaimana upaya konkretnya?
Pekerjaan rumah terlalu besar. Pemerintah yang punya dana besar saja tak bisa melakukannya, apalagi Muhammadiyah dan NU. Ormas harus berkolaborasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, misalnya. Sebaliknya, pemerintah juga jangan menolak kontribusi civil society. Dengan demikian, ruang untuk memberi kritik terbuka.
Anda menyebutkan urgensi tafsir baru terhadap Al-Quran untuk merespons kerusakan lingkungan. Apa argumen Anda?
Tafsir merupakan karya manusia sehingga konteksnya selalu terkait dengan periode ketika tafsir itu ditulis. Itulah yang harus disadari para pembaca tafsir hari ini. Saya menulis bahwa ada tafsir Al-Thabari dan Ibnu Katsir dalam memahami Surat Ar-Rum. Ada yang menafsirkan kerusakan di muka bumi adalah peristiwa saling membunuh antarsuku atau perompakan di tengah laut. Itu konteks pada zaman tersebut karena belum ada industri. Kalau sekarang, kerusakan di laut antara lain terjadi karena tumpahnya limbah dan bahan beracun ke laut sehingga biota laut mati. Ulama harus bertambah ilmunya untuk memberi tafsir baru.
Apakah perkembangan ilmu tafsir mengalami stagnasi?
Ada ulama yang jeli memberi tafsir baru, tapi tak vokal menyuarakannya. Saat saya menyampaikan begini saja, ada yang bertanya-tanya, "Kok, berani mengubah-ubah tafsir?" Tafsir memang harus diubah karena konteks zamannya berbeda. Ia perlu pembaruan sesuai dengan kemajuan ilmu dan kondisi zaman, termasuk merespons kerusakan lingkungan.
Mana yang lebih penting: penafsir atau teks yang ditafsirkan?
Penafsir, karena teks itu mati. Teks tak berbunyi apa-apa tanpa kehadiran penafsir. Jika penafsir punya ilmu cupet (tak memadai), wajah agama akan menjadi sempit. Sebaliknya, jika wawasan penafsir luas, agama akan terlihat kaya. Karena itu, penting bagi penafsir punya pengetahuan multidisiplin untuk membentuk cara pandang.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo