Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Pandemi Covid-19 memaksa lebih dari 60 juta anak di Indonesia melakukan belajar jarak jauh sejak Maret 2020. Mekanisme pembelajaran daring dan melalui televisi dilakukan untuk mengurangi terhentinya pembelajaran, termasuk menyediakan kuota internet agar anak dapat mengakses pembelajaran.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Namun, studi global Save the Children pada Juli 2020 yang dilakukan di 46 negara, khususnya Indonesia, menemukan fakta, 7 dari 10 anak mengatakan jarang belajar atau sedikit belajar selama pandemi. Hal ini disebabkan terbatasnya ketersediaan materi belajar yang memadai, kuota internet, tidak memiliki gawai, bahkan demotivasi karena sulit memahami pekerjaan rumah dan tidak mendapat bimbingan guru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
“Studi kami jelas menggambarkan banyak anak di Indonesia menghadapi kesulitan dalam belajar daring, motivasi belajar menurun dan ini bisa berpengaruh pada kemampuan literasi dan numerasi anak,” ujar Selina Patta Sumbung, CEO Save the Children Indonesia, dalam keterangan tertulis, Rabu, 8 September 2021.
Menurut Selina, seluruh pihak perlu bersama mengantisipasi kesulitan belajar yang menjadikan anak-anak kehilangan kemampuan dan pengalaman belajar (learning loss), yang dikhawatirkan berdampak pada kurangnya keahlian mereka di saat dewasa (less-skilled workers) untuk bisa berkompetisi di dunia kerja, serta berakhir pada menurunnya kemampuan menghasilkan pendapatan (decreased earning capacity).
Selina juga menambahkan, di beberapa wilayah, anak–anak terancam putus sekolah karena harus bekerja dan atau menikah dini. Tindakan yang sistematis, aman dan inklusif harus segera dilakukan dan menjadi prioritas untuk mendukung pemberian akses pembelajaran. “Ini untuk semua anak sebagai bagian dari pemulihan yang berkelanjutan,” tutur Selina.
Fakta kesulitan belajar juga dialami oleh anak di area Daerah Istimewa Yogyakarta. Kelompok anak yang tergabung di Child Campaigner, gerakan Save Our Education—bagian dari Child and Youth Advocacy Network (CYAN)—melakukan survei tentang pemerataan paket internet bagi peserta didik. Hasilnya, terdapat 44 dari 105 responden anak (42 persen) menyampaikan bahwa mereka tidak mendapatkan kuota gratis baik dari pemerintah maupun sekolah.
Koordinator Child Campaigner Save the Children di Yogyakarta, Gya, 17 tahun, menerangkan, hasil survei menemukan bahwa anak-anak yang tidak mendapatkan kuota gratis ini salah satu alasannya karena tidak terdata. “Padahal secara faktor ekonomi mereka sangat membutuhkan. Jadinya banyak anak yang sedih, kecewa bahkan merasa ini tidak adil,” kata Gya.
Hasil survei ini juga memotret upaya anak-anak yang tidak mendapat kuota internet, namun tetap melakukan berbagai cara untuk bisa mengakses pembelajaran, misalnya menghemat penggunaan aplikasi pembelajaran, memanfaatkan fasilitasi wifi gratis, bahkan mencari lokasi dengan akses signal yang kuat.
Memperingati Hari Literasi Internasional yang jatuh pada 8 September, Save the Children Indonesia bersama dengan Child Campaigner dan Komunitas penggiat pendidikan anak di Yogyakarta menyuarakan hak pendidikan anak melalui gerakan Save our Education. Gerakan ini bertujuan untuk memastikan setiap anak mendapatkan akses terhadap pendidikan yang berkualitas pada lingkungan yang aman.
Menurut Gya, setiap anak berharap mendapat pendidikan berkualitas, mulai dari mutu pembelajaran lebih baik, mudah dipahami, dan kuota internet yang cukup. “Kami berharap pemerintah dan sekolah bisa mendata dan mengecek kembali anak yang tidak mendapat kuota gratis, karena semua anak berhak bisa belajar,” tutur Gya.
Baca:
Pakar AS Beberkan Alasan Pasien Covid-19 dengan Diabetes Berisiko Tinggi