Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TERUMBU karang di Sulawesi Selatan tergolong salah satu yang paling beragam, berwarna-warni, dan paling cerah di dunia. Setidaknya itu keindahan pada masa lalu, hingga mereka porak-poranda akibat pengeboman ikan pada akhir 1990-an.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kami adalah bagian dari kelompok peneliti ekologi terumbu karang yang berbasis di Indonesia dan Inggris, yang mempelajari karang di sekitar Pulau Bontosua, pulau kecil di Sulawesi Selatan. Sekitar 30 tahun berlalu, area luas yang dulunya berisikan karang-karang sehat kini menjadi rusak. Tidak ada lagi warna-warni dan kehidupan ikan ataupun makhluk laut lainnya. Kerangka karang mati terombang-ambing di dasar laut, menghancurkan dan membunuh larva karang baru yang mencoba menempel dan tumbuh berkembang, serta mencegah mereka pulih secara alami.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di banyak tempat di dunia, kondisi seperti ini mungkin digambarkan sebagai kerusakan yang tak terpulihkan. Namun, di Pulau Bontosua, ceritanya berbeda.
Di pulau ini, usaha dari program restorasi karang Mars berhasil memulihkan karang dan fungsi ekosistem penting lainnya. Mars adalah salah satu program restorasi karang terbesar di dunia.
Program restorasi karang Mars sedang dilaksanakan – masyarakat lokal bekerja sama untuk menempelkan pecahan karang yang sehat ke kerangka baja reef star yang dipasang di atas puing-puing yang terdegradasi. The Ocean Agency and Indo-Pacific Films
Keberhasilan ini kami tuangkan dalam studi terbaru yang terbit dalam jurnal Current Biology. Kami menemukan bahwa dalam empat tahun, karang hasil restorasi dapat tumbuh dengan kecepatan yang sama dengan karang sehat di sekelilingnya.
Program Mars turut melibatkan komunitas lokal sejak lebih dari sepuluh tahun lalu. Dalam program ini, potongan-potongan karang sehat ditempelkan dalam reef star—kerangka baja bersegi enam yang dilapisi pasir.
Kemudian, kerangka ini ditempelkan di terumbu yang rusak sehingga menstabilkan puing-puing yang lepas, mendukung pertumbuhan karang baru, dan menyediakan habitat bagi hewan-hewan karang untuk bermigrasi.
Cepatnya Pemulihan
Karang hasil transplantasi ini ternyata tumbuh sangat cepat. Dalam setahun, potongan-potongan karang berkembang menjadi koloni. Setelah dua tahun, cabang-cabang antarkarang bertaut satu sama lain. Empat tahun kemudian, pertumbuhan mereka melampaui struktur reef star. Walhasil, saking sehatnya karang, secara kasatmata kita akan sulit membedakan bahwa area tersebut merupakan kawasan restorasi.
Gabungan pertumbuhan banyak karang menghasilkan kerangka batu kapur (kalsium karbonat) yang kompleks. Kerangka ini menjadi habitat bagi banyak makhluk laut dan mencegah kerusakan akibat badai di garis pantai di dekatnya dengan menyerap hingga 97 persen energi gelombang pantai.
Kami mengukur pertumbuhan keseluruhan kerangka terumbu dengan menghitung bujet karbonatnya. Bujet ini dihitung dari keseimbangan antara produksi batu kapur (jumlah kapur yang dihasilkan oleh karang serta alga koral) dan erosi (misalnya jumlah kapur yang dimakan bulu babi serta ikan).
Terumbu karang yang sehat menghasilkan hingga 20 kilogram struktur terumbu per meter persegi per tahun. Sementara itu, terumbu yang terdegradasi akan menyusut karena erosi melebihi produksi batu kapur. Karena itu, pertumbuhan terumbu secara keseluruhan memberi indikasi kesehatan karang.
Penyelam berenang di kawasan terumbu karang yang rusak akibat penangkapan ikan dengan menggunakan bom (atas) dan terumbu yang dipulihkan lebih dari empat tahun lalu (bawah). The Ocean Agency
Di Pulau Bontosua, data survei kami menunjukkan bahwa pada tahun-tahun setelah restorasi, tutupan karang, ukuran koloni karang, dan tingkat produksi karbonat meningkat tiga kali lipat. Dalam waktu empat tahun, karang hasil restorasi tumbuh dengan kecepatan yang sama dengan terumbu karang yang sehat. Dengan demikian, karang hasil restorasi memberi fungsi ekosistem yang sama pentingnya.
Keberhasilan ini menggembirakan, meski masih ada tantangan. Karang yang digunakan untuk program restorasi ini sebagian besar merupakan jenis karang bercabang. Tim restorasi memilihnya karena lebih mudah menempel pada reef star. Hal ini berarti terumbu hasil restorasi memiliki keanekaragaman jenis karang yang lebih rendah ketimbang terumbu yang sehat—memiliki banyak karang berbentuk batu besar, ataupun lapisan, selain karang bercabang.
Perbedaan struktur ini dapat mempengaruhi spesies biota laut yang menghuni terumbu. Karang bercabang juga terkenal sensitif terhadap pemutihan, yang terjadi ketika suhu air menghangat dan menyebabkan karang stres lalu memutih. Karena itu, perbedaan jenis karang yang menyusun ekosistem terumbu dapat mempengaruhi kemampuan terumbu untuk bertahan dari gelombang panas di masa depan.
Dunia yang Menghangat
Gelombang panas laut menjadi makin sering dan parah sehingga menjadi ancaman besar bagi terumbu karang berikut program restorasinya di seluruh dunia. Baru-baru ini, ribuan karang hasil persemaian harus diselamatkan saat temperatur laut di Kepulauan Florida Keys, Amerika Serikat, meningkat.
Strategi restorasi terumbu karang harus mencakup rencana aksi saat perairan menghangat akibat gelombang panas laut. Dalam beberapa kasus, upaya restorasi dapat diprioritaskan di area-area yang aman dari dampak pemanasan.
Gambar terumbu karang yang telah pulih (atas) dan terumbu karang yang sehat (bawah) di Pulau Bontosua. Kedua terumbu tersebut memiliki tutupan karang yang tinggi, namun terumbu yang sehat menunjukkan keanekaragaman jenis karang yang mirip batu besar dan bertatahkan lebih tinggi dibandingkan dengan terumbu yang telah dipulihkan, yang didominasi oleh karang bercabang. Ines Lange
Dalam kasus lain, restorasi juga mencakup peningkatan toleransi karang terhadap panas melalui evolusi yang dibantu (assisted evolution).
Terdapat beberapa bukti bahwa toleransi terhadap panas karang juga dapat meningkat secara alami. Namun sejauh mana adaptasi karang dapat mengimbangi pemanasan laut akan bergantung pada tindakan global untuk mengurangi emisi karbon.
Keberhasilan dari kegiatan restorasi terumbu karang bergantung pada baik-buruknya kondisi lingkungan, ketersediaan pasokan larva karang alami, teknik restorasi, dan upaya yang diinvestasikan untuk merawat kawasan restorasi tersebut.
Proyek restorasi di Indonesia ini menunjukkan bahwa jika kondisinya tepat dan upaya dilakukan dengan baik, keberhasilan bisa dicapai. Mudah-mudahan hal ini dapat menginspirasi upaya global lebih lanjut untuk memulihkan fungsi terumbu karang dan mengembalikan iklim bumi yang baik agar terumbu karang terus berkembang.
Artikel ini ditulis oleh peneliti senior Coral Reef Ecology University of Exeter, Ines Lange; peneliti Lancaster University, Tim Lamont; dan peneliti Institut Pertanian Bogor, Tries Blandine Razak. Terbit pertama kali di The Conversation.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo