Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBELUM mengendarai mobil, Nanda Budi Prayuga memasang benda mirip ikat kepala karet di kepalanya. Bukan ikat kepala biasa. Bandana yang satu ini memiliki sebuah perangkat elektronik yang sudah terpasang kepingan electro encephalograph (EEG) di dalamnya.
Chip tersebut dapat menangkap gelombang otak manusia. Aktivitas gelombang Delta, misalnya, ditangkap dan dianalisis menggunakan perangkat lunak yang ditanam di dalam telepon seluler pintar. Grafik dan besar frekuensi gelombang ini kemudian ditampilkan pada sebuah layar ponsel atau sabak digital.
"Grafik tersebut melaporkan kinerja otak manusia saat berkendara," kata David Musthofa, mahasiswa Fakultas Teknik Informatika Telkom University di Bandung, kepada Tempo, Senin pekan lalu. Inilah sebuah karya yang mendapat penghargaan lumayan tinggi: peringkat kedua University Mobile Challenge 2015 di Barcelona, Spanyol, awal Maret 2015. Alat ini mengalahkan perangkat siap pakai yang dapat memberi pengalaman tiga dimensi ciptaan tim dari University of California, Berkeley, Amerika Serikat.
Lihat yang dialami Nanda. Pada menit-menit awal ia berkendara, kinerja otaknya masih stabil. Tapi, sepuluh menit berselang, Nanda mulai menampakkan gejala stres. Meski perlahan-lahan, tingkat stres meningkat terus, sampai akhirnya melewati ambang batas. Pada saat genting ini, terdengar suara seorang perempuan mengingatkan supaya remaja putri 19 tahun itu berhenti berkendara sejenak.
Jika pengemudi mengantuk, sang suara akan mengingatkan, "You are sleepy, please take a rest for a while." Bila ia melamun, suara itu akan berbunyi, "You're daydreaming, please focus." Apabila pengemudi sedang berada di bawah pengaruh alkohol dan obat-obatan, suara tersebut akan memperingatkan dengan imbauan, "You're not safe to drive, you addict to something."
Jika pengemudi melanggar peringatan awal tersebut, Brainstat akan melancarkan jurus beloved voice alert. Secara otomatis, Brainstat akan memutar video atau foto-foto keluarga pengemudi yang sebelumnya dimasukkan ke data aplikasi. Cara ini diharapkan dapat menggugah hati pengemudi agar lebih berhati-hati dalam berkendara.
Apabila kedua peringatan awal itu tak digubris, Brainstat akan mengeluarkan jurus pamungkas yang disebut call me alert, seraya menghubungi nomor telepon salah satu keluarga pengemudi. "Agar keluarga dapat menyarankan pengemudi untuk mengambil tindakan yang tepat," ujar David.
Namun, jika terjadi suatu hal yang tak diinginkan, keluarga akan segera mengetahui lokasi si pengendara. Sebab, selama berkendara, Brainstat akan mengirimkan kondisi dan lokasi pengendara tiap menit ke operator telekomunikasi melalui jaringan Internet. Maka koordinat terakhir pengemudi dapat langsung dilacak melalui global positioning system (GPS) dari perangkat ponsel pintar lain. Fitur yang baru diciptakan ini bernama sistem pemetaan.
Selain penggunaan di dalam mobil, menurut David, Brainstat juga cocok untuk penggunaan moda transportasi lain, seperti sepeda motor, kereta, kapal laut, dan pesawat. "Karena prinsip penggunaan alat ini sama saja meski moda transportasinya berbeda," ujarnya. Khusus bagi pengendara sepeda motor, masih diperlukan alat bantu tambahan. Sebab, suara peringatan tak begitu jelas akibat suara bising jalanan.
Perusahaan jasa transportasi, kata David, juga dapat memanfaatkan alat ini untuk memilih pengemudi yang akan bertugas. Jika tak laik mengemudi, dia melanjutkan, jasa sopir tersebut idealnya tak dipakai.
Perintah di atas merupakan salah satu fungsi dari perangkat lunak dan EEG yang diberi nama Brainstat-berasal dari kata brain dan status. David, Nanda, beserta tiga rekan mahasiswa penelitian dari Telkom University mengembangkannya. Brainstat pertama kali diciptakan pada Oktober 2011 oleh Dody Qory Utama dan empat temannya yang tergabung dalam Tim Malabar. Sedangkan David dan rekan-rekannya tergabung dalam Tim Brainstat.
Tim Brainstat menambahkan algoritma baru untuk meningkatkan akurasi analisis dari catatan frekuensi dan aktivitas gelombang Alpha, Beta, Delta, dan Tetha di otak. Perhitungan gelombang ini berguna untuk mengetahui kondisi pengendara. Selain itu, tim memodifikasi aplikasi Brainstat agar bisa dipakai di semua jenis sistem operasi ponsel pintar.
Sejak awal Brainstat memang sengaja diciptakan khusus untuk memantau kondisi pengemudi selama berkendara. Berdasarkan laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2010, angka kecelakaan akibat kelalaian manusia menjadi salah satu dari sepuluh pembunuh terbesar di dunia. Angkanya terbilang cukup tinggi: 70-90 persen.
Pada tahun yang sama, hasil analisis Komite Nasional Keselamatan Transportasi mengungkap beberapa penyebab kecelakaan: pengemudi yang mengantuk, kondisi stres, kekurangan oksigen, dan kecanduan alkohol. Tak tanggung-tanggung, angkanya mencapai 60-80 persen. "Brainstat diciptakan untuk mengurangi angka tersebut," ujar Dody, yang kini menjadi pembimbing Tim Brainstat.
SISTEM "pencegah" kecelakaan ini terdiri atas dua perangkat. Perangkat pertama, yaitu brain censor, berupa ikat kepala karet, yang di dalamnya dipasang chip EEG. Alat yang dipasang di kepala ini bekerja memantau kinerja otak. Alat tersebut terhubung dengan ponsel pintar melalui jaringan Bluetooth.
Alat kedua berupa perangkat lunak yang ditanam di sabak digital atau ponsel pintar. Aplikasi inilah yang menerima hasil penangkapan gelombang otak oleh brain censor dan melaporkannya ke layar ponsel.
Gelombang otak merupakan aliran listrik bertegangan rendah. Laiknya tespen listrik, chip EEG yang tertanam di ikat kepala memancing aliran listrik tersebut agar dapat mengirimkan empat dari tujuh gelombang yang ada di otak. Dengan cara ini, EEG dapat mengetahui aktivitas pengemudi.
Empat gelombang tersebut, yakni Beta, Alpha, Tetha, dan Delta, menggambarkan empat indikator kinerja otak pada tampilan layar: kognitif, kesadaran, psikologi, serta penggunaan zat adiktif dan alkohol.
Dari aspek kognitif, David menjelaskan, Brainstat bisa menunjukkan tingkat gerak refleks pengemudi dan pengenalannya terhadap lingkungan. Adapun untuk aspek kesadaran, alat ini akan mengukur tingkat logika pengemudi dalam berkendara. "Ketidakselarasan serta gangguan psikologis yang terjadi di otak akan dilaporkan dalam bentuk grafik," ujarnya. Begitu juga tingkat kadar obat-obatan, alkohol, dan pasokan oksigen di dalam tubuh. Penggunaan obat dan alkohol sebelum mengemudi dapat menurunkan kinerja otak.
Brainstat pun mendapat sambutan baik dari Kepala Komite Nasional Kecelakaan Transportasi Tatang Kurniadi. Sejak 2007 sampai 2014, kata Tatang, tren kecelakaan kendaraan bermotor memang semakin turun. "Jika alat ini dapat membantu menurunkan angka kecelakaan kendaraan, ya, bagus," ucapnya. Muhammad Kurniawan, dokter spesialis saraf di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, juga memuji alat ini. "Karena memanfaatkan data gelombang otak dan dipadukan dengan teknologi ponsel pintar," ujarnya. Kurniawan optimistis alat ini dapat menekan angka kecelakaan kendaraan bermotor, khususnya sepeda motor.
Namun ada juga kritik. "Alat ini perlu pengembangan lebih lanjut," kata pakar neurologi dari Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Yuda Turana. Caranya dengan meningkatkan daya sensor EEG supaya dapat membedakan gelombang dan artefak (gangguan sinyal gelombang otak). Gangguan ini dapat disebabkan oleh kedipan mata dan gerakan dahi. "Terkadang EEG tak dapat membedakan keduanya."
Amri Mahbub, Anwar Siswadi (bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo