Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Tak Lagi Bergoyang Tanpa Musik

Penderita penyakit parkinson bisa meningkatkan kualitas hidup dengan terapi penanaman elektroda pada otak. Mengurangi ketergantungan pada obat.

30 Maret 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Laya Kusuma kini mulai bisa tersenyum lega. Menderita penyakit parkinson sejak tujuh tahun lalu, pria 43 tahun ini merasa betapa terbatas kemampuan geraknya. Untuk menggeser pantat saja, kata dia, butuh waktu lima menit. "Dulu mau makan tempe goreng, tinggal lima senti di mulut, susahnya minta ampun. Sekarang sudah bisa," ujar akuntan ini di Rumah Sakit Siloam, Kebon Jeruk, Jakarta, pekan lalu.

Hari itu Laya tengah mengisahkan riwayat penyakitnya di depan sekitar 100 pengunjung di rumah sakit. Disampaikannya juga kemajuan yang ia alami setelah menjalani operasi Deep Brain Stimulation (DBS) tiga bulan lalu.

Tentu saja itu belum cukup membawanya pulih seperti sedia kala. Saat posisi berdiri, Laya terlihat normal belaka. Tapi, ketika ia mulai melangkah, jalannya tampak belum lurus. Tubuhnya sedikit bergoyang seperti hendak jatuh. Tapi itu sudah mending. "Sebelum operasi, saya malah goyang terus. Orang bingung, tidak ada musik kok goyang?" kata bapak satu anak yang gemar bercanda ini.

Parkinson adalah penyakit yang menyebabkan penurunan fungsi tubuh alias degeneratif. Ciri utamanya: gerakan tubuh sulit dikendalikan-bisa tremor atau kekakuan. Untuk mendeteksinya dikenal metode TRAP, yang terdiri atas empat gejala utama parkinson. TRAP adalah kependekan dari tremor, rigiditas, akinesia/bradykinesia (ketidakmampuan bergerak spontan), dan postural instability (postur tubuh tidak bisa stabil, sering jatuh).

Penurunan kemampuan itu tidak muncul bersamaan. Kalau dua dari empat gejala yang muncul, itu sangat mungkin terkena parkinson. "Tapi, kalau sudah tiga, itu definitif parkinson," ujar Profesor Amin Husni dari Rumah Sakit Kariadi, Semarang. Dia mengatakan, jika hanya satu gejala yang muncul, dokter kadang tidak waspada.

Laya, misalnya, butuh waktu dua tahun untuk memastikan dirinya terserang parkinson. Pada 2007, tangannya mulai mengalami kebas. Saat itu hipotesis para dokter yang ia datangi bermacam-macam, mulai stroke, saraf kejepit, hingga angioplasty (gangguan pembuluh darah ke jantung). Dua tahun kemudian, gejalanya memburuk. Hingga seorang dokter di Singapura menegaskan bahwa Laya terkena parkinson.

Setelah Laya menjalani pengobatan biasa, akhirnya dokter melakukan operasi DBS di Rumah Sakit Siloam. Di Indonesia, teknologi ini belum lama diterapkan. Selain di Jakarta, baru National Hospital Surabaya yang mampu melakukannya.

Menurut ahli saraf dari Rumah Sakit Siloam Kebon Jeruk, dokter Frandy Susatia, inti dari terapi ini adalah memberikan rangsangan lewat penanaman elektroda pada otak. Rangsangan itu akan menyebabkan terjadinya produksi senyawa penghantar sinyal antarsel saraf (neurotransmitter), yang disebut dopamin. Pada penderita parkinson, kadar dopamin lebih rendah 80 persen ketimbang orang normal. Di susunan saraf pusat, dopamin juga berperan mengatur gerakan, pembelajaran, daya ingat, emosi, rasa senang, tidur, dan kognisi.

Operasi penanaman elektroda tersebut, tentu saja, harus dilakukan sangat hati-hati. Saat dibaringkan di meja operasi, pasien akan memakai helm seperti robocop. Helm ini berfungsi menjaga kepala agar tidak oleng. Awalnya dokter bedah saraf Made Agus Mahendra Inggas, rekan Frandy, mengatakan tulang tengkorak akan dibor selebar 1,5 sentimeter. Setelah itu, dimasukkan jarum sepanjang 19 sentimeter dari kulit hingga titik yang ditargetkan. Di ujung jarum ada empat elektroda untuk stimulasi. "Kecil sekali ukurannya, cuman 0,05 sentimeter," kata Frandy.

Elektron di dalam alat tersebutlah yang menghasilkan listrik dari kabel yang ditautkan di antara jarum dan baterai di dada pasien. Satu pasien rata-rata dipasang dua jarum tersebut. Namun ini tergantung kondisi pasien. "Saya pernah pasang hingga enam jarum," ujar Frandy.

Sewaktu pemasangan elektroda, pasien hanya dibius lokal. Tujuannya, kata Made, untuk melihat respons alat, apakah kakunya hilang atau apakah ada gangguan penglihatan hingga muka perot. "Saya lihat monitor pas dioperasi. Bunyi otak dibor saya tahu," ucap Laya.

Pasien baru dianestesi total bila kabel mulai ditanam di bawah kulit, yang akan terus masuk menyambung ke dada tempat baterai. Total operasi berlangsung dua-tiga jam.

Dengan alat buatan tersebut, efek samping konsumsi obat bisa berkurang. Sebab, pemasangan implan itu juga membuat konsumsi obat pasien jauh berkurang. Menurut Frandy, terapi ini akan mengembalikan kondisi pasien hingga tiga-lima tahun sebelum terkena gejala awal parkinson.

Meski demikian, ia mewanti-wanti terapi bedah ini tidak menyembuhkan, tapi merestorasi. "Ini akan meningkatkan kualitas hidup pasien. Tidak akan sering jatuh lagi," kata spesialis saraf, subspesialis stroke, neurosonology, dan movement disorder ini.

Frandy mengatakan tak semua penderita parkinson bisa dibawa ke meja operasi. Harus ada seleksi awal untuk menentukan kelayakan. Yang utama adalah apakah pasien merespons baik terhadap obat levadopa. Levadopa adalah standar emas yang dipakai sejak 1960 untuk terapi parkinson.

Kenapa harus melihat reaksi dengan levadopa? "Karena ada namanya parkinsonism. Ini mirip (parkinson), tapi bukan," ujar Made. Lantaran bukan parkinson, penyakit dengan gejala klinis sama ini (gerak lambat, tremor, kekakuan, dan gangguan keseimbangan) tidak akan merespons levadopa, yakni terapi pengganti dopamin. Jika bukan parkinson, dengan sendirinya operasi tidak akan berpengaruh apa-apa.

Pertimbangan lain, kata Made, adalah melihat umur. Orang berusia di atas 75 tahun, menurut dia, tidak bisa dioperasi akibat penyusutan massa otak. "Masuknya juga sulit karena terlalu banyak cairan di otak," ujarnya. Periode optimal adalah umur 45-75 tahun.

Setelah semua lolos, tahap selanjutnya adalah melihat hasil pemindaian dengan MRI. Dari sana akan dibuat target-target pemasangan elektroda oleh dokter saraf dengan komputer. "Ini tahapan yang paling krusial," kata Made. Meleset satu sentimeter saja, salah-salah pasien bisa lumpuh atau mengalami gangguan penglihatan.

Tentu, setelah operasi rampung, tidak otomatis pasien bisa "bekerja sendiri" dengan alat barunya itu. Dia masih harus melakukan penyesuaian pengaturan aliran listrik. Laya, misalnya, masih bolak-balik ke rumah sakit untuk keperluan tersebut. "Kalau tidak bertahap, kepala saya pusing karena ada gelombang asing di kepala," ucapnya.

Tapi, yang jelas, konsumsi levadopa yang dilakukan Laya sudah menurun. Dari yang delapan kali, kini tinggal satu-dua kali sehari. Pengurangan obat tersebut akan bermanfaat besar bagi dirinya. Sebab, meminum obat itu lebih dari lima tahun akan menimbulkan efek samping. Misalnya mual, muntah, tekanan darah turun mendadak karena pengubahan posisi tubuh (hipotensi postural), gangguan irama jantung (aritmia), gerakan otot yang tidak terkendali (diskenesia), dan fluktuasi respons (on-off, wearing off). Fenomena on-off ditandai oleh terjadinya gerakan yang berhenti mendadak dari keadaan bergerak (mobile).

Laya juga diberi remote control untuk melihat kondisi baterai. Indikator akan menunjukkan masa pakai baterai dan tegangan yang sedang berlangsung.

Dalam keseharian, dia disarankan menjauhi area yang kaya medan magnet, seperti saluran udara tegangan ekstratinggi (SUTET), microwave, hingga metal detector. Ke mana-mana Laya membawa kartu penanda pengguna alat kesehatan khusus.

Salah satu yang mesti diwaspadai pemakai alat elektronik ini adalah alat bisa rusak, yang menyebabkan pasien terinfeksi. Selain itu, baterai perlu diganti saban lima tahun.

Sebenarnya ada dua tipe baterai, yakni yang bisa diisi ulang dan non-isi ulang. Profesor Shinichi Goto dari Kumamoto Takumadai Rehabilitation Hospital Japan mengatakan baterai yang isi ulang bisa bertahan hingga satu dasawarsa. Sedangkan yang lain hanya separuh periode, empat-lima tahun. Dan baterai ini harganya selangit, bisa mencapai Rp 350 juta.

Biaya memang menjadi salah satu kendala operasi ini. Made menghitung kasar setidaknya butuh Rp 475 juta untuk stimulator dan Rp 350 juta buat baterai. "Untuk ganti baterai sekitar Rp 200 juta," ujar Made.

Harga kesehatan memang tidak murah.

DIANING SARI

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus