Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Genangan air hujan di pekarangan rumah Nana Sudiana kini surut lebih cepat. Hal itu terjadi setelah dia memasang dua biopos di halaman depan rumahnya di Bumi Puspitek Asri, Kecamatan Pagadengan, Kabupaten Tangerang. "Saya juga panen kompos setelah dua bulan dipasang," katanya kepada Tempo, Selasa pekan lalu.
Biopos adalah pipa sepanjang 120 sentimeter yang dibenamkan ke dalam tanah untuk menyalurkan air hujan. Fungsi lain pipa berdiameter 16,5 sentimeter ini adalah sebagai tempat membuat pupuk kompos. Biopos menjadi bagian dari Teknologi Zero Delta Q, yang dibuat tim perekayasa lingkungan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
"Prinsip teknologi ini sederhana, yaitu meniadakan air limpasan dari bangunan dengan dibuang ke selokan atau sungai," kata Budi Rahayu, yang bersama Nana menjadi perekayasa di BPPT. Jadi, air hujan harus ditampung dan disuntikkan lagi ke dalam tanah. Selain biopos, ada tiga perangkat lainnya, yakni sumur injeksi, sumur resapan bertekanan, dan bak retensi rumah tangga.
Paket peralatan ini dapat dipasang di tiap rumah di perkotaan. Satu rumah yang memiliki luas 80 meter persegi bisa dibuat 3 biopos, 2 sumur resapan, dan 1 bak retensi. Budi, Nana, dan tim perekayasa BPPT telah melakukan percobaan, di mana jumlah air yang dapat dikubur mencapai 3,58 meter kubik setiap dua jam.
"Ini jumlah yang sangat besar," kata Budi, yang memasang dua sumur resapan dan bak retensi di rumahnya di kompleks Pamulang Permai, Tangerang Selatan, Provinsi Banten.
Nantinya, air yang meresap ke lapisan akuifer dangkal akan menambah cadangan air tanah.
Lapisan inilah yang menjadi lokasi pengambilan air tanah terbanyak warga kota. Hotel, pabrik, dan sektor industri lain yang bandel juga mengambil air dari lapisan akuifer dangkal dan dalam. Akibatnya--berdasarkan riset Pusat Lingkungan Geologi, Badan Geologi--terjadi penurunan muka air tanah mencapai 4 meter dalam setahun. Hal ini terjadi di Jakarta, Bandung, Cimahi, Semarang, Yogyakarta, dan Surabaya.
Eksploitasi air tanah secara berlebihan di Jakarta juga mempercepat amblesnya tanah di sejumlah wilayah dan makin dalamnya penyusupan air laut ke tengah kota. Bencana lain yang sudah dirasakan adalah krisis air bersih warga yang tinggal di pusat dan utara Ibu Kota saat musim kemarau.
Deposit air jelas berguna pada musim kering karena volume air tanah tak berkurang drastis. Juga mengurangi volume air hujan yang terbuang ke sungai dan menyebabkan banjir. Budi, yang menjadi koordinator tim, Kamis pekan lalu, mempresentasikan rekayasanya pada acara Lokakarya Teknologi Pengurangan Risiko Banjir Jakarta.
Menurut Budi, jika satu juta rumah tangga di Jakarta menerapkan paket ini, air hujan yang disuntikkan ke dalam tanah mencapai 629,3 meter kubik per detik. Biaya yang dibutuhkan untuk membuatnya secara massal sebesar Rp 2,2 triliun.
Biaya dapat ditekan menjadi Rp 720 miliar, dengan meniadakan bak retensi. Kapasitas air yang bisa diserap oleh modifikasi ini tak berkurang banyak, yaitu menjadi 490,4 meter kubik per detik. "Pemerintah memberikan subsidi ke pabrik untuk membuat komponen peralatan tersebut sehingga harganya terjangkau warga," kata Budi.
Bagaimana tiga perangkat tersebut bekerja? Bak retensi rumah tangga berfungsi sebagai penampungan sementara air hujan yang terkumpul dari atap bangunan. Air ini kemudian dilepaskan perlahan-lahan dalam debit yang lebih rendah ke lingkungan.
Bak retensi, yang bisa dibuat dengan biaya Rp 1,5 juta, juga memiliki fungsi sebagai sumber air untuk mencuci, mandi, dan mengepel. Setelah melalui penyaringan batu kapur dan pasir, air bersih yang meluap disalurkan ke pipa dan mengalir ke sumur resapan. Budi menganjurkan agar satu rumah membuat dua unit agar tingkat penyerapan lebih efektif. Biaya pembuatan satu unit sumur resapan sebesar Rp 120 ribu.
Bagaimana jika hujan begitu deras sehingga daya tampung pada dua peralatan sebelumnya mengalami kejenuhan? Menurut Nana Sudiana, air bisa dialirkan ke halaman yang telah dipasang biopos, seperti yang ada di pekarangannya.
Sampah dapur, daun-daun, dan sampah organik lainnya bisa dimasukkan ke tabung biopos yang harganya Rp 100 ribu, sehingga berubah menjadi kompos. Proses perubahan sampah menjadi kompos biasanya terjadi dalam waktu tiga bulan.
Sementara tim BPPT membuat teknologi penyuntikan air tanah skala kecil dan menengah, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) merancangnya untuk skala besar. "Kami namakan Simbat, kependekan dari simpanan dan imbuhan buatan air tanah," kata Edi Prasetyo Utomo, yang bekerja di Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI.
Edi berpengalaman membuat kolam penyuntik air di beberapa pulau kecil di Indonesia. Belakangan, dia menerapkan teknologi ini di halaman gedung LIPI, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan. Dia membuat kolam dengan panjang 21 meter, lebar 13 meter, dengan kedalaman 3 meter.
Pada dasar kolam, terdapat pipa-pipa yang dibenamkan hingga lapisan akuifer. Percobaan Edi dilakukan pada tiga kedalaman berbeda, yaitu 18 meter, 31 meter, dan 60 meter. Sebuah sumur buatan dipasang di sekitar kolam untuk memantau fluktuasi kedalaman air di lapisan akuifer.
Kolam itu diisi air hujan yang terkumpul di atap gedung-gedung LIPI. Lalu disalurkan melalui pipa ke kolam tersebut.
Teknik yang diperkenalkan Edi bekerja tanpa bantuan listrik. Air yang terkumpul di kolam tertarik ke bawah melewati pipa oleh gaya gravitasi.
Gerakan ke bawah ini semakin cepat akibat tekanan yang diciptakan air kolam. Kerikil dan ijuk diletakkan di sepanjang saluran air sehingga air hujan yang masuk ke tanah tersaring dan bebas kontaminasi polutan.
Tahap penyuntikan air intensif dilakukan selama musim hujan. Pada musim kemarau, air yang terkandung di dalam tanah bisa dipanen.
Selama tiga tahun melakukan percobaan, Edi selalu mendapatkan hasil yang melampaui harapan. Dalam satu tahun pertama, air tanah di kompleks kantor LIPI bisa ditemukan pada kedalaman 1,7 meter. Padahal sebelumnya baru didapatkan pada kedalaman 4,5 meter.
Sistem penyaringan menggunakan kerikil dan ijuk juga terbukti bisa membuang bahan pencemar. Pemantauan kualitas air tanah memperlihatkan air hujan yang kotor oleh polutan berubah menjadi air tawar layak minum ketika sampai di lapisan akuifer.
Debit air yang disuntikkan juga tinggi. Setiap hari proyek Simbat, yang menelan biaya Rp 200 juta, mampu memasok air hujan sebanyak 1.500-1.600 meter kubik. Pada tingkat maksimum, angka ini mencapai 3.500 meter kubik per hari, sedangkan pada tingkat minimal air yang masuk ke tanah mencapai 900-1.000 meter kubik per hari.
Dari uji coba, Edi menyimpulkan bahwa sebaiknya air disuntikkan pada kedalaman 40-60 meter. Akuifer pada kedalaman ini merupakan lapisan yang paling banyak disedot oleh pengembang perkantoran dan industri. Karena itu, daerah ini paling cepat mengalami defisit air dan harus disuntik air hujan dengan segera.
Lima tahun lalu, model yang mirip Simbat pernah diterapkan di kampus Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat. Ketika itu Kementerian Riset dan Teknologi dan Kementerian Pekerjaan Umum membangun waduk resapan berukuran 80 x 62 meter dengan kedalaman 6 meter. Proyek ini digadang-gadang jadi laboratorium asal-usul air tanah.
Air yang disuntikkan diperoleh dari penyaringan empat situ bertingkat-tingkat yang terhubung di kampus UI. Pada tahap awal, waduk ini mampu meresapkan air 1.933 meter kubik per hari atau 22,37 liter per detik ke lapisan akuifer.
Apabila dikonversi, nilai itu sama dengan kebutuhan 16.106 warga perkotaan yang setiap hari memakai 60-120 liter air per kapita. Bisa juga memenuhi kebutuhan kawasan industri seluas 30-41 hektare atau lahan pertanian 41,4 hektare.
Sayang, karena tidak ada keseriusan pemerintah dalam melakukan peliharaan, proyek ini terbengkalai. Memasuki tahun ketiga, alat pengukur muka air tanah hilang. Setiap musim hujan, banjir yang membawa air kotor masuk ke waduk. "Kami sudah minta Kementerian Pekerjaan Umum menyedot lumpur dan memeliharanya, tapi belum ada jawaban," kata Jachrizal, Kepala Subdirektorat Pemeliharaan Universitas Indonesia, Selasa pekan lalu. UNTUNG WIDYANTO | ANTON WILLIAM
TEKNOLOGI PENYUNTIKAN AIR SKALA KECIL
BAK RETENSI
SUMUR RESAPAN
BIOPOS
TEKNOLOGI PENYUNTIKAN AIR SKALA BESAR
SIMBAT (Simpanan dan Imbuhan Buatan Air Tanah)
Ukuran Kolam:
Tiga pipa di dalam kolam ditancapkan ke lapisan akuifer:
Sumur buatan di luar kolam untuk memantau fluktuasi kedalaman air di akuifer
AIR HUJAN DARI ATAP GEDUNG/BANGUNAN LANGSUNG DISALURKAN KE KOLAM
Kanker bagi Jakarta
Sejak lima tahun terakhir, banjir rob menjadi bagian dari keseharian warga Muara Baru, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara. Bukan apa-apa, masuknya air laut ke permukiman selalu terjadi pada saat pasang. Padahal kala itu tidak ada hujan atau banjir kiriman dari selatan.
Banyak pihak menyebutkan bahwa hal itu terjadi karena naiknya permukaan laut akibat pemanasan global. Belakangan, para ahli menambahkan faktor lain: amblesnya tanah. "Di daerah sekitar Pantai Indah Kapuk, penurunan tanah berkisar 10,2-11,7 sentimeter tiap tahun," kata Prof Hasanudin, guru besar Institut Teknologi Bandung di bidang geodesi satelit.
Wilayah lain di pesisir Jakarta juga mengalami penurunan tanah sedalam 10-12 cm. Amblesan tertinggi terdapat di Pantai Mutiara, Kecamatan Penjaringan, yang mencapai 26 cm, berdasarkan data GPS pada September 2007-Agustus 2008. Pantai yang kini berdiri di permukiman mewah, hotel, dan apartemen tersebut adalah hasil reklamasi pada 1980-an.
Selain kawasan pantai, kata Hasanudin, penurunan terbesar terjadi di kawasan industri. Di Pulogadung, misalnya, rata-rata tanah turun 12-13 cm per tahun pada perhitungan 2001-2002. Pada perhitungan September 2007-Agustus 2008 bahkan mencapai 17 cm. Di wilayah ini, terdapat beberapa kawasan industri, antara lain Pulogadung, Cakung, dan Cilincing.
"Kondisi subsidence (penurunan tanah) sampai sekarang terus berlangsung," ujarnya.
Daerah lain yang tanahnya ambles 4-6 cm per tahun terjadi di daerah sekitar Jalan Dharmawangsa, Kebayoran Baru, Cikini, Tegal Alur, Cilincing, dan Kamal Muara. Adapun penurunan tanah 6-8 cm per tahun terdapat di sekitar kantor Bapedalda Kuningan, Atrium Senen, Joglo, dan Tongkol.
Apa yang menjadi penyebab amblesnya tanah? "Kombinasi penyedotan air tanah besar-besaran, terutama oleh pabrik, beban bangunan, dan kondisi tanah," kata Hasanudin. Akibatnya, selain bisa merusak bangunan, hal itu dapat menimbulkan banjir lantaran permukaan tanah menurun.
Berdasarkan survei terbaru, 64 persen kebutuhan air di Jakarta diambil dari dalam tanah. Masyarakat biasanya mengambil air tanah dari akuifer dangkal atau hingga kedalaman 40 meter. Penyedotan besar-besaran dilakukan oleh sektor industri, yang menggunakan sumur bor pada lapisan akuifer dalam atau di atas 40 meter.
Pada 2007, tercatat ada 3.700 sumur yang memperoleh izin dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Namun banyak pula yang melakukannya secara sembunyi-sembunyi. Padahal, pada 1973, jumlah sumur bor yang tercatat hanya 500 unit.
Hasanudin menggambarkan tren penurunan tanah di Jakarta seperti penyakit kanker. Menurut dia, perlu penyelesaian menyeluruh dalam mengatasi masalah ini. "Kalau mau dioperasi harus revolusioner, kalau sepotong-sepotong masalahnya bakal campur aduk," katanya.
Dia menyoroti kawasan utara Jakarta yang terus membangun apartemen dan perumahan. Termasuk yang kini sedang gencar dipasarkan, yaitu Green Bay Pluit. Menurut Hasanudin, ancaman banjir bakal berlipat ganda, dari darat dan rob.
Pembangunan di kawasan utara ini, kata dia, makin merepotkan penduduk Jakarta. Operasi total harus dilakukan, mulai dengan memperketat pengambilan air tanah yang diimbangi dengan pasokan air permukaan yang mencukupi dari perusahaan daerah air minum.
Kemudian dengan memperbaiki tata ruang untuk mengurangi beban bangunan serta pembersihan aliran sungai dan kanal-kanal. Langkah selanjutnya adalah menghidupkan kembali sejumlah situ atau danau di Jakarta yang dibangun pemerintah kolonial Belanda.ANWAR SISWADI | UWD
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo