Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BERBILANG bulan didiagnosis mengidap sakit lupa, Nunun Nurbaetie ternyata bisa menjawab pertanyaan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi. Di pesawat Garuda yang membawanya kembali ke Tanah Air, ia cekatan membubuhkan tanda tangan dalam dokumen berita acara penangkapan. Ia diketahui aktif berbelanja selama dalam pelarian, tak lupa dirinya, juga mengenali Chandra M. Hamzah, pemimpin KPK yang ikut dalam rombongan penjemput. Untuk semua keanehan itu, Andreas Harry, dokter pribadi Nunun, punya jawaban. "Ibu Nunun kan tidak lupa semuanya," katanya saat ditemui di tempat prakteknya di Apartemen Slipi, Rabu pekan lalu.
Jauh sebelum Nunun tertangkap, Andreas telah jadi omongan. Ia mendiagnosis Nunun mengidap demensia akibat stroke yang terjadi pada Juni 2009. Saat dia pertama kali menangani Nunun, pada September 2006, Nunun hanya mengalami vertigo dan neuropathic pain atau nyeri karena kelainan saraf. Atas keluhan ini, Nunun disarankan menjalani perawatan neurologis teratur selama tiga tahun. Setelah stroke, kata Andreas, "Terjadi gangguan memory loss berupa amnesia pada Ibu Nunun." Setelah enam bulan perawatan di Rumah Sakit Gading Pluit, "Tidak ada perbaikan," kata Andreas lagi.
Pendapat berbeda datang dari Dr Nei I-Ping, ahli saraf dari Rumah Sakit Mount Elizabeth di Singapura. Nei I-Ping menyebutkan Nunun ada kemungkinan mengalami demensia alzheimer ringan. "Ini berhubungan dengan garis keluarga karena nenek dan bibi Nunun juga mengalami alzheimer," kata Nei I-Ping dalam laporan medis Nunun pada 1 April 2010.
Wakil Sekretaris Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia Cabang Jakarta M. Kurniawan ragu terhadap keseriusan penyakit Nunun. Soalnya, pengidap demensia mengalami gangguan dalam aktivitas sehari-hari dan dalam berhubungan sosial dengan orang lain. "Penderita demensia tidak dapat berbelanja," ujar Kurniawan. Penderita yang masih bisa shopping, kata Kurniawan, hanya mengidap mild cognitive impairment atau pra-demensia. "Cuma lupa-lupa saja," kata pengajar di Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ini. Andreas tak bisa menjelaskan hal apa saja yang tak dapat diingat pasiennya. "Yang tahu itu orang terdekatnya," ujar Andreas. "Tanya saja Pak Adang."
Saat ini, Andreas adalah dokter bagi Nunun sekeluarga. Bukan hanya tersangka kasus suap itu, kini adik, suami, dan ibu Nunun pun berobat ke Andreas. Perihal kedekatan itu, Andreas menjelaskan, "Yang kasih referensi ke Ibu Nunun soal saya adalah Ibu Kiki Syahnakri (mantan Wakil Kepala Staf TNI Angkatan Darat)."
Sebelum menjadi dokter keluarga bekas Wakil Kepala Kepolisian RI Adang Daradjatun, Andreas pernah bertugas di Makassar selama sepuluh tahun. Di sana, ia membuka praktek di kawasan Gunung Nona, Makassar. Di tempat itu, ia pernah merawat Hamid Awaludin, mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, yang kini Duta Besar Indonesia di Rusia.
Syahdan, sepulang bersekolah di Amerika Serikat, Hamid Awaludin menderita pusing. Atas anjuran seorang teman, ia pun berobat ke Andreas. Kala itu, Andreas menyuruh Hamid berobat dua kali seminggu dan mesti minum bermacam-macam pil. Namun, setelah meminum obat, saat berjalan, Hamid oleng. "Saya merasa seperti melayang di bulan," ujarnya. Hamid segera mencari second opinion kepada dokter lain. Mengamati obat yang diminum Hamid, dokter pembanding itu terperanjat. "Ini obat untuk pasien sakit jiwa," kata Hamid menirukan sang dokter. Hamid berang dan berhenti minum obat.
Andreas membantah cerita itu. "Saya tidak pernah memeriksa Hamid," katanya. Kali ini sang dokter mungkin yang lupa.
Fanny Febiana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo