Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Tahi ayam buat sapi

Kepala bagian ilmiah makanan ternak fkh & peternakan univ. udayana, prof.dr. made nitis menemukan ramuan baru untuk menggemukan sapi, ramuan tersebut a.l di campur dengan tahi ayam sebagai makanan ternak. (ilt)

27 Februari 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SAPI Indonesia kurus dan loyo. Begitulah gambaran umum untuk binatang yang diperah (susunya) dan disembelih. Sedang bayangan untuk ternak luar negeri--katakanlah sapi Belanda--adalah gemuk dengan air susu melimpah. Meskipun begitu, Indonesia juga mengekspor ternak ini. Untuk jenis ekspor, berat sapi harus mencapaistandar ekspor, 375 kg. Standar itu memang tak mudah dicapai di sini. "Cara pemeliharaannya masih tradisional," kata Prof Dr. Made Nitis, Kepala Bagian Ilmiah Makanan Ternak, Fakultas Kedokteran Hewan & Peternakan, Uniersitas Udayana, Bali. Tambahnya pula: "Sapi diberi rumput dan air saja." Untuk mencapai berat sapi sampai 375 kg, pemeliharaan biasanya memerlukan waktu sampai 7 tahun lamanya, sejak sapi itu lahir. Tapi kalau saja penelitian orang Bali itu benar, peternak bisa memperpendek waktu 7 tahun menjadi separuhnya. "Jadi mereka bisa menjual sapinya dua kali dalam 7 tahun," kata Made Nitis. Selain untung waktu, juga perputaran modal lebih cepat. Asal saja, menurut Nitis, sapi diberi makan dengan resep makanan pilihan. Kabarnya resep makanan sapi milik Made Nitis ini cukup unik. Karena dari beberapa macam campuran makanan sapi, terdapat juga "penyedap" menu yang berupa tahi ayam. Tahi Ayam Segar Di Desa Petang, Daerah Tingkat II Badung, sejak Februari 1981 berdiri barak-barak yang beratapkan seng, untuk 50 ekor sapi yang kemudian jadi anggota recipien (yang akan diteliti). Mereka dibagi dalam 5 kelompok, lalu setiap kelompok diberi makanan berbeda. Setiap 4 minggu, sapi-sapi itu dleliti dan ditimbang. Berat awal setiap ekor, rata-rata 115 kg (usia sekitarl tahun). "Saya yakin berat sapi yang memakai resep makanan saya akan cepat mencapai 375 Kg," ujar Made Nitis yang mendapat doktor di University of New England, NSW Australia (1963). Nitis juga tidak memakai resep yang biasa dipakai oleh peternak mampu, yaitu konsentrat yang biasanya dianggap pil vitamin yang perlu dimasukkan ke dalam makanan hewan. "Konsentrat mahal," kata Nitis, "dan resep saya lebih murah." Konsentrat bikinan Charun Pockhand, misalnya, untuk hewan besar berharga Rp 250/kg, sebelum kenaikan harga BBM. "Bahan untuk resep saya mudah diperoleh, dan murah harganya," katanya lagi. Kelima puluh recipient itu diberi 5 macam jenis makanan. Sepuluh ekor yang pertama, dlberi rumput dan air. Cara pertama ini disebut cara tradisional. Sepuluh ekor yang kedua, diberi 70% rumput, 10% dedak, 10% bungkil kelapa dan 10% lagi cacahan gaplek. Cara ketiga, sapi-sapi itu hanya diberi 70% rumput dan 30% dedak. Cara keempat, 70% rumput dan 30% cacahan gaplek. Dan menu kelima, yang menurut Nitis paling ekonomis, terdiri 70% rumput, 20% dedak dan 10% tahi ayam segar (maksudnya bukan yang kering). Tahi ayam segar tampaknya merupakan percobaan pertama, "sebab di luar negeri mereka biasa memakai tahi ayam yang sudah dikeringkan," katanya. Menurut penelitiannya, protein tahi ayam petelur dan broiler, cukup tinggi: sekitar 17%. Sedang bungkil kelapa cuma berselisih sedikit dengan tahi ayam. Lainnya, dedaklah yang tinggi, 10% lebih sedangkan gaplek cuma 2%. "Ayam kampung belum saya teliti," kata Made Nltis lagi, "tapi pasti lebih tinggi proteinnya, karena ayam kampung makan segala rupa." Dia juga beranggapan, percobaannya yang terakhir ini paling berhasil, setelah beberapa kali dia melakukan percobaan penelitian. Dari analisa angka pertambahan berat ini, cara kedua ternyata paling unggul: dalam tempo tiga setengah tahun saja, sapi sudah bisa diekspor. Kalau cara tradisional (cara 1) harus mengambil waktu 7 tahun, cara III da cara V, dua setengah tahun. Sedangkan cara IV (rumput dan gaplek saja) harus dicapai selama 5 tahun untuk mendapat standar ekspor. Toh cara kedua, yang dianggap paling unggul itu, bisa "merugikan dari segi ekonomi, karena bahan makanannya mahal," kata Made Nitis. Unggul yang lain dalam artian ekonomis dan tempo yang lebih cepat ialah cara kelima. Jenis daging dengan menu makanan nomor V mempunyai protein tinggi, hampir 13%, dan berkalori rendah. Made Nitis beranggapan daging dengan komposisi protein dan kalori yang demikian akan lebih lunak, sama dengan daging impor. Masalahnya nanti, "harga" tahi ayam mungkin naik. "Saya biasanya pakai tahi ayam untuk rabuk pohon cengkih," kata Nyoman Margi, 35 tahun, seorang petani cengkih di Tabanan, Bali. Dia tampak gembira karena ada kemungkinan kotoran ayamnya bisa lebih bermanfaat. Tapi Masudana, Kepala Dinas Peternakan di Bali, tidak begitu gembira. Dia mengajurkan penelitian yang lebih mendalam dan lama," agar kita jangan dicemooh orang," katanya. Nyoman Suija, peternak dari Tabanan, juga belum berani memakai menu Made Nitis. "Kalau dikasih tahi ayam, apa nanti sapi saya tidak sakit?" tanyanya. Pertanyaan ini tentu akan ramai diperbincangkan dalam pekan Bimas Ayam bulan depan di Bali.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus