SAPI Indonesia kurus dan loyo. Begitulah gambaran umum untuk
binatang yang diperah (susunya) dan disembelih. Sedang bayangan
untuk ternak luar negeri--katakanlah sapi Belanda--adalah gemuk
dengan air susu melimpah. Meskipun begitu, Indonesia juga
mengekspor ternak ini. Untuk jenis ekspor, berat sapi harus
mencapaistandar ekspor, 375 kg.
Standar itu memang tak mudah dicapai di sini. "Cara
pemeliharaannya masih tradisional," kata Prof Dr. Made Nitis,
Kepala Bagian Ilmiah Makanan Ternak, Fakultas Kedokteran Hewan &
Peternakan, Uniersitas Udayana, Bali. Tambahnya pula: "Sapi
diberi rumput dan air saja."
Untuk mencapai berat sapi sampai 375 kg, pemeliharaan biasanya
memerlukan waktu sampai 7 tahun lamanya, sejak sapi itu lahir.
Tapi kalau saja penelitian orang Bali itu benar, peternak bisa
memperpendek waktu 7 tahun menjadi separuhnya. "Jadi mereka bisa
menjual sapinya dua kali dalam 7 tahun," kata Made Nitis. Selain
untung waktu, juga perputaran modal lebih cepat. Asal saja,
menurut Nitis, sapi diberi makan dengan resep makanan pilihan.
Kabarnya resep makanan sapi milik Made Nitis ini cukup unik.
Karena dari beberapa macam campuran makanan sapi, terdapat juga
"penyedap" menu yang berupa tahi ayam.
Tahi Ayam Segar
Di Desa Petang, Daerah Tingkat II Badung, sejak Februari 1981
berdiri barak-barak yang beratapkan seng, untuk 50 ekor sapi
yang kemudian jadi anggota recipien (yang akan diteliti).
Mereka dibagi dalam 5 kelompok, lalu setiap kelompok diberi
makanan berbeda. Setiap 4 minggu, sapi-sapi itu dleliti dan
ditimbang. Berat awal setiap ekor, rata-rata 115 kg (usia
sekitarl tahun). "Saya yakin berat sapi yang memakai resep
makanan saya akan cepat mencapai 375 Kg," ujar Made Nitis yang
mendapat doktor di University of New England, NSW Australia
(1963).
Nitis juga tidak memakai resep yang biasa dipakai oleh peternak
mampu, yaitu konsentrat yang biasanya dianggap pil vitamin yang
perlu dimasukkan ke dalam makanan hewan. "Konsentrat mahal,"
kata Nitis, "dan resep saya lebih murah." Konsentrat bikinan
Charun Pockhand, misalnya, untuk hewan besar berharga Rp 250/kg,
sebelum kenaikan harga BBM. "Bahan untuk resep saya mudah
diperoleh, dan murah harganya," katanya lagi.
Kelima puluh recipient itu diberi 5 macam jenis makanan. Sepuluh
ekor yang pertama, dlberi rumput dan air. Cara pertama ini
disebut cara tradisional. Sepuluh ekor yang kedua, diberi 70%
rumput, 10% dedak, 10% bungkil kelapa dan 10% lagi cacahan
gaplek. Cara ketiga, sapi-sapi itu hanya diberi 70% rumput dan
30% dedak. Cara keempat, 70% rumput dan 30% cacahan gaplek. Dan
menu kelima, yang menurut Nitis paling ekonomis, terdiri 70%
rumput, 20% dedak dan 10% tahi ayam segar (maksudnya bukan yang
kering). Tahi ayam segar tampaknya merupakan percobaan pertama,
"sebab di luar negeri mereka biasa memakai tahi ayam yang sudah
dikeringkan," katanya.
Menurut penelitiannya, protein tahi ayam petelur dan broiler,
cukup tinggi: sekitar 17%. Sedang bungkil kelapa cuma berselisih
sedikit dengan tahi ayam. Lainnya, dedaklah yang tinggi, 10%
lebih sedangkan gaplek cuma 2%. "Ayam kampung belum saya
teliti," kata Made Nltis lagi, "tapi pasti lebih tinggi
proteinnya, karena ayam kampung makan segala rupa." Dia juga
beranggapan, percobaannya yang terakhir ini paling berhasil,
setelah beberapa kali dia melakukan percobaan penelitian.
Dari analisa angka pertambahan berat ini, cara kedua ternyata
paling unggul: dalam tempo tiga setengah tahun saja, sapi sudah
bisa diekspor. Kalau cara tradisional (cara 1) harus mengambil
waktu 7 tahun, cara III da cara V, dua setengah tahun.
Sedangkan cara IV (rumput dan gaplek saja) harus dicapai selama
5 tahun untuk mendapat standar ekspor.
Toh cara kedua, yang dianggap paling unggul itu, bisa "merugikan
dari segi ekonomi, karena bahan makanannya mahal," kata Made
Nitis. Unggul yang lain dalam artian ekonomis dan tempo yang
lebih cepat ialah cara kelima. Jenis daging dengan menu makanan
nomor V mempunyai protein tinggi, hampir 13%, dan berkalori
rendah. Made Nitis beranggapan daging dengan komposisi protein
dan kalori yang demikian akan lebih lunak, sama dengan daging
impor.
Masalahnya nanti, "harga" tahi ayam mungkin naik. "Saya biasanya
pakai tahi ayam untuk rabuk pohon cengkih," kata Nyoman Margi,
35 tahun, seorang petani cengkih di Tabanan, Bali. Dia tampak
gembira karena ada kemungkinan kotoran ayamnya bisa lebih
bermanfaat. Tapi Masudana, Kepala Dinas Peternakan di Bali,
tidak begitu gembira. Dia mengajurkan penelitian yang lebih
mendalam dan lama," agar kita jangan dicemooh orang," katanya.
Nyoman Suija, peternak dari Tabanan, juga belum berani memakai
menu Made Nitis. "Kalau dikasih tahi ayam, apa nanti sapi saya
tidak sakit?" tanyanya. Pertanyaan ini tentu akan ramai
diperbincangkan dalam pekan Bimas Ayam bulan depan di Bali.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini