HAMPIR dua tahun Natalegawa ditahan karena dituduh korupsi
-diancam hukuman penjara seumur hidup atau selama-lamanya 20
tahun dan denda setinggi-tingginya Rp 30 juta. Mula-mula jaksa
menuntut hukuman 10 tahun penjara dan denda Rp 15 juta. Namun
akhirnya hakim tak melihat buntut Perkara Pluit tersebut segawat
itu. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dua pekan lalu membebaskan
Natalegawa dari segala tuduhan dan tuntutan hukum--alias bebas
murni.
Raden Sonson Natalegawa, 51 tahun, bekas Direktur Kredit Bank
Bumi Daya (BBD), sebelumnya dituduh jaksa ada main dengan Endang
Wijaya. Yaitu memberi peluang kepada Endang Wijaya, pemilik PT
Jawa Building yang membangun kota satelit di Pluit (Jakarta
Utara), untuk memperoleh kredit secara tidak sah.
Untuk itu Natalegawa, begitu tuduhannya, menerima imbalan untuk
dirinya sendiri, istri, anak dan perusahaan milik saudaranya.
Imbalan tersebut berupa beberapa rumah dan kios di Pluit serta
pinjaman traktor dan fasilitas lain untuk membuat jalan di
Megamendung (Bogor). Akibatnya, menurut jaksa, negara dirugikan
sekitar Rp 14,2 milyar--berupa pinjaman dan bunganya.
Jaksa Bagio Supardit penuntut umum, menganggap semua tuduhannya
terbukti cara "sah dan meyakinkan". Majelis Hakim yang dipimpin
Soedijono ternyata berpendapat lain. Misalnya, pemberian kredit
kepada Jawa Building adalah keputusan Direksi BBD, bukan
semata-mata tanggungjawab Natalegawa sendiri selaku direkturnya.
Dan lagi, menurut majelis, kredit dengan segala kemudahannya
tersebut diberikan BBD berdasarkan ketentuan perbankan yang
berlaku. Terbukti tak ada teguran dari Bank Indonesia. Bahwa
pinjaman dan bunga yang merupakan kewajiban Jawa Building kepada
BBD belum dibayar, menurut majelis, itu merupakan utang-piutang
biasa. Pokoknya, kata hakim, tak ada kredit macet. Yang terjadi
hanya pengembalian kredit "tidak lancar".
Akan halnya pengembalian kredit "tidak lancar", menurut majelis,
juga soal biasa --tidak hanya dialami BBD saja. Bahwa BBD belum
menjalankan likuidasi atau eksekusi terhadap barang-barang
jaminan atau agunan atas kredit Jawa Building--itu juga soal
lain. Yang jelas, menurut majelis, kekayaan Jawa Building yang
menurut akuntan tunjukan Kopkamtib berjumlah Rp 36,9 milyar dan
penilaian BI Rp 39,4 milyar, boleh menunjukkan bahwa negara tak
dirugikan.
Kecewa?
Majelis Hakim juga berpendapat Natalegawa tidak pernah menerima
imbalan atau fasilitas dari Endang Wijaya dalam rangka pemberian
kredit maupun dalam kedudukannya sebagai salah seorang direktur
BBI). Pinjaman traktor yang disebut-sebut jaksa, menurut hakim,
diterima setelah Natalegawa pensiun.
Sebuah rumah di Pluit, di Jalan Samudra Raya 9, diyakini majelis
bukan merupakan suap. Rumah tersebut sedianya dibeli Natalegawa
dari uang pesangon BBD. Siapa tahu, belum lagi pembayaran
dilakukan, uangnya (Rp 5 0 juta) keburu diblokir BI atas
perintah Kejaksaan Agung mengikuti terbongkarnya kasus Pluit
(lihat box).
Tiga rumah lain dan kios, keadaannya juga sama: surat-suratnya
belum resmi atas nama Natalegawa atau anggota keluarganya.
Sehingga barang-barang tersebut secara formal tak terbukti
sebagai imbalan atau hadiah dari Jawa Building.
Pada sidang ke-25, 10 Februari, Majelis Hakim berkesimpulan
bahwa Natalegawa tak terbukti bersalah seperti tuduhan dan
tuntutan jaksa. Dengan tenang Natalegawa bangkit dari kursinya,
lalu menyalami para hakim sebelum menerima ucapan selamat dari
para pembelanya, Kho Gin Tjan, Azwar Karim dan Gunawan
Suryoputro serta istri dan seorang putrinya. Sementara Jaksa
Bagio Supandi serentak menolak putusan hakim dan kontan
menyatakan banding.
Pihak kejaksaan memang terang-terangan menunjukkan kekecewaannya
terhadap putusan pengadilan tersebut. Tak kurang Jaksa Agung
Ismail Saleh berkomentar: "Perasaan rakyat sendiri bagaimana?
Kecewa? Nah, saya sependapat dengan rakyat . . . !"
Adakah yang salah pada putusan hakim? "Kami tak menduga hakim
seberani itu memutuskan perkara Natalegawa bertentangan dengan
perkara Endang Wijaya," ujar seorang jaksa yang menggarap
Perkara Pluit. Endang Wijaya, yang lebih dulu divonis 10 tahun
penjara, antara lain dipersalahkan menyuap pejabat BBD. Kalau
Endang Wijaya terbukti menyuap, sedangkan Natalegawa tak
terbukti menerimanya, "lantas yang disuap Endang Wijaya
siapa--apa tukang sapu?" Begitu dipertanyakan pejabat kejaksaan
tadi.
Tembok Dijebol
Benar pendapat hakim, kata jaksa tersebut, bahwa secara formal
rumah-rumah hadiah Endang Wijaya kepada Natalegawa masih atas
nama Jawa Building. Namun secara material telah dimanfaatkan
(bahkan ada dua rumah yang tembok pemisahnya dijebol) sanak
keluarga Natalegawa. "Apakah mungkin orang berani menjebol
tembok kalau tidak merasa memilikinya?" kejar jaksa tadi.
Hakim Ketua, Soedijono, tentu saja tak ingin mengomentari
keputusan majelisnya--apalagi bila dihubungkan dengan keputusan
terhadap Endang Wijaya. "Saya tak ingat persis putusan terhadap
Endang Wijaya," katanya, "yang pasti Natalegawa tidak terbukti
bersalah." Soedijono juga tak menunjuk pejabat BBD mana gerangan
yang akan diadili setelah Natalegawa, sekedar mengaitkan dengan
keputusan terhadap Endang Wijaya yang menyebut-nyebut adanya
pejabat yang menerima hadiah dari Proyek Pluit.
"Tugas kami hanya menerima perkara dan mengadili--tanpa tahu
siapa lagi yang akan diadili setelah Natalegawa," ujar
Soedijono. Namun salah seorang hakim anggota ada yang berbisik:
"Kemungkinan bekas pejabat top BBD diadili, kecil sekali."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini