Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Tanam Sebatang untuk <font color=#FF9900>Padang</font>

Dinas Pertanian Sumatera Barat menggencarkan pola padi tanam sebatang. Diklaim menghasilkan gabah lebih tinggi. Benarkah?

16 Maret 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SYAHRIAL Sibar, 48 tahun, semula hanya memandang sebelah mata saat penyuluh Dinas Pertanian Kota Padang mengajaknya mencoba pola padi tanam sebatang dua bulan lalu. Teman-temannya di Kelompok Tani Parak Saiyo malah menertawai kesediaannya menanam padi dengan pola tersebut.

”Saya sempat tak percaya, masak iya ada benih padi yang cukup ditanam sebatang,” katanya pekan lalu. Biasanya benih padi yang ditanam serumpun pun tak sepenuhnya menghasilkan bulir. Hampir separuhnya diganyang keong. ”Ini yang sebatang pasti langsung habis,” ia berpikir.

Tapi, sebagai ketua kelompok, ia terpaksa mengikhlaskan dua petak sawahnya untuk percobaan. Sepetak untuk pola tanam seperti biasa—tiap lubang ditanami serumpun benih dan digenangi air—sedangkan petak lain dengan pola padi sebatang.

Kepada Tempo, dia menunjukkan hasilnya. Dari petak pola tanam lama, dia menyabit satu rumpun padi. ”Lihat, hanya ada 22 batang dalam satu rumpun,” ujarnya. Lalu dia membabat rumpun di petak pola tanam padi sebatang. Setelah dihitung, ada 40 batang dalam serumpun padi. Jika dihitung per hektare, hasil panen pola padi tanam sebatang sekitar enam ton gabah, lebih tinggi daripada cara tanam lama, yang hanya menghasilkan lima ton gabah.

Pola padi tanam sebatang ini diperkenalkan peneliti Universitas Andalas sejak 2003. Salah satu penggeraknya adalah Rektor Musliar Kasim. Mereka sudah mengujinya beberapa kali di beberapa tempat di Sumatera Barat sejak 2004. Dan mulai awal tahun ini program tanam sebatang itu digencarkan di Sumatera Barat.

”Kami mengenalkan melalui sekolah lapangan kelompok tani. Setelah sukses, mereka baru percaya dan mulai beralih ke cara padi tanam sebatang dengan pupuk organik,” kata Kepala Dinas Pertanian Sumatera Barat Djoni.

Hasilnya? Di Padang, panen bervariasi antara 8,3 ton dan 10,8 ton gabah per hektare. Di Sawahlunto, sawah padi tanam sebatang menghasilkan 8,3 ton gabah. Saat pola itu diuji di sawah bukaan baru di Sitiung, hasilnya 5,75 ton gabah, jauh di atas cara tanam lama, yang hanya menghasilkan 1,96 ton gabah.

Sebenarnya hampir tak ada teknologi baru ataupun benih ajaib di balik padi tanam sebatang hingga bisa menghasilkan bulir padi berlimpah. Kuncinya perubahan pola bertanam. Dalam beberapa hal, padi tanam sebatang justru berlawanan dengan cara bercocok padi yang biasa.

Musliar mengatakan ada empat prinsip padi tanam sebatang. Pertama, dalam satu lubang tanam hanya dibenamkan satu batang benih, tak lagi serumpun seperti semula. ”Cara ini meminimalkan persaingan (makan),” kata Musliar. Kedua, umur bibit tak lebih dari 15 hari. Bandingkan dengan cara lama yang umur bibitnya lebih dari 30 hari. Bibit yang lebih belia, menurut Musliar, akan menghasilkan anakan lebih banyak.

Perbedaan lainnya, jarak tanam padi sebatang lebih longgar, minimal 25 sentimeter, sehingga memberikan keleluasaan pertumbuhan anakan. Berbeda dengan pola tanam lama yang menggenangi sawah, padi tanam sebatang malah ”mengharamkan” genangan air. Cukup menjaga tanah tetap lembap. Genangan air, menurut Musliar, justru menghalangi penyerapan oksigen ke tanah, dus menghambat pertumbuhan akar.

Namun persoalan lain muncul akibat cara bercocok tanam kering ini, yakni gulma merajalela. Saban hari, Syahrial terpaksa meluangkan waktu mencabuti gulma yang bermunculan. Bila menggunakan cara lama, dia hanya perlu dua kali menyiangi gulma hingga panen. Dia juga masih perlu kerja ekstra untuk memastikan sawahnya tetap lembap tanpa genangan.

Kendati boros tenaga, Syahrial sudah kadung jatuh cinta dengan padi tanam sebatang karena menghasilkan padi lebih. ”Saya akan tetap bertanam padi sebatang,” katanya. Untuk mengirit ongkos, dia beralih bertani secara organik. Pupuk kimia diganti dengan kompos jerami, sedangkan pestisida disulih buah-buahan busuk dicampur gula aren yang difermentasi. Hasilnya tak kalah mujarab dalam membasmi hama.

l l l

Sebenarnya, jika dirunut ke belakang, pola tanam seperti yang dilakukan Syahrial sudah berumur lebih dari seperempat abad. Penemunya pastor Jesuit asal Prancis, Henri de Laulanie. Dia datang ke Madagaskar, negara pulau di timur Benua Afrika, pada 1961.

Hingga menutup mata 34 tahun kemudian, obsesi Pastor Henri adalah meningkatkan hasil pertanian di Madagaskar, terutama padi, makanan utama rakyat Madagaskar. Pada 1983, dia menemukan cara bercocok tanam yang kemudian dikenal sebagai sistem intensifikasi padi, yakni satu lubang satu bibit, benih muda, tanah tak digenangi air, dan jarak longgar antarbibit.

Resep tanam Henri terbukti sangat jitu. Sistem intensifikasi berhasil mendongkrak produksi padi di Ranomafana dari semula hanya 2 ton per hektare menjadi empat kali lipat, 8 ton per hektare, selama lima tahun pertama. Namun resep ”ajaib” Henri ini tak banyak dikenal orang hingga pertengahan 1990-an.

Yang berjasa menyebarkan resep sistem intensifikasi Pastor Henri ke berbagai negara adalah Norman T. Uphoff, profesor pemerintahan dan pertanian internasional di Cornell University, Amerika Serikat. Dia datang ke Madagaskar pada 1993. Ketika mendengar cerita tentang pola tanam Pastor Henri, Norman justru menaruh syak.

”Saya ingat saya malah berpikir: apa mereka pikir mereka bisa mengelabui saya?” katanya seperti dikutip New York Times. Dia baru percaya setelah selama tiga tahun mengamati sistem intensifikasi padi sang Pastor. Dia kemudian menuliskan hasil risetnya itu di jurnal Cornell International Institute for Food, Agriculture, and Development.

Sekarang sistem intensifikasi sudah menyebar di 46 negara di Benua Asia, Afrika, dan Amerika. Norman pula yang membawa resep Pastor Henri itu ke Indonesia pada 1997. Kendati sudah 12 tahun dikenal di Indonesia, kata Musliar, sistem intensifikasi dari Madagaskar ini belum banyak dikenal petani.

Di samping peneliti Universitas Andalas, beberapa peneliti lain sudah mencoba pola tanam tersebut. Dedi Kusnadi Kalsim, dosen Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor, menguji resep Pastor Henri di Desa Margahayu, Manonjaya, Tasikmalaya, Jawa Barat pada 2006.

Pada musim hujan, petak sistem intensifikasi menghasilkan gabah kering 6,24 ton per hektare, sedikit lebih tinggi ketimbang cara tanam konvensional, yang hanya menghasilkan 5,9 ton gabah. Saat musim kemarau, resep Pastor Henri tetap memberikan hasil lebih tinggi, yakni 7,5 ton gabah kering berbanding 6,2 ton gabah. Cerita serupa diutarakan Baharul Islam Majumdar di India, Angel Fernandez di Peru, Walid el-Khoby di Mesir, dan peneliti di beberapa negara lain.

Namun beberapa ahli pertanian tetap sangsi dengan keandalan resep Pastor Henri. ”Klaim itu dilebih-lebihkan,” kata Achim Dobermann, kepala peneliti di Pusat Riset Padi Internasional di Los Banos, Filipina. John Sheely, agronom di Pusat Riset, mengatakan angka keberhasilan itu sebagian besar muncul di seminar, bukan hasil uji lapangan yang ketat.

Dobermann dan Sheely bersama peneliti Pusat Riset, Shaobing Peng, memang sudah mencoba resep Madagaskar tersebut. Mereka mengujinya di tiga provinsi di Cina: Hunan, Guangdong, dan Jiangsu. Hasilnya, sistem intensifikasi Romo Henri tak menghasilkan perbedaan signifikan dibanding cara tanam lama. Di Jiangsu, resep baru itu memang menghasilkan bulir padi lebih berlimpah. Namun, di Hunan, panen dari pola tanam Pastor Henri malah jeblok.

John Angus, peneliti pertanian Commonwealth Scientific and Industrial Research Organisation, Australia, menduga resep Romo Henri memang tak berlaku untuk semua kondisi tanah dan iklim. Sepertinya memang tak ada obat untuk segala jenis penyakit.

Febrianti (Padang), Sapto Pradityo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus