Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sains

WWF Sebut Enam Faktor Penyebab Turunnya Populasi Satwa Liar Hingga 73 Persen

WWF mencatat telah terjadi penurunan populasi satwa liar sebanyak 73 persen dari tahun 1970 sampai 2020.

20 November 2024 | 19.56 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Seekor kukang Jawa (Nycticebus javanicus) mendaki batang pohon saat dilepas ke habitat alaminya di Cagar Alam Gunung Tilu, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, 24 Oktober 2023. TEMPO/Prima Mulia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - World Wide Fund for Nature (WWF) mencatat telah terjadi penurunan populasi satwa liar sebanyak 73 persen dari tahun 1970 sampai 2020. CEO WWF Indonesia, Aditya Bayunanda, mengatakan data tersebut berdasarkan dari Living Planet Index 2024 yang datanya merupakan hasil pemantauan dan juga kompilasi 5.579 spesies hewan bertulang belakang dari 41.986 populasi di seluruh dunia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut data WWF, faktor pertama yang menyebabkan turunnya populasi satwa liar adalah hilangnya habitat. Masalah ini juga terjadi pada habitat hewan di Indonesia. “Habitat di Indonesia juga semakin terfragmentasi dan juga masih banyak konteks pengembangan atau konversinya,” kata Aditya dalam 'Bincang Masa Depan Alam Indonesia' di Jakarta, Rabu, 20 November 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perubahan terhadap habitat di darat disebabkan oleh perubahan pemanfaatan lahan menjadi perkebunan, sarana transportasi, pengembangan hunian, dan produksi energi maupun pertambangan. Pada habitat di laut dapat terkena dampaknya oleh aktivitas di darat, seperti pembangunan pesisir, penggunaan pukat atau pengerukan dasar laut yang dapat merusak habitat.

Faktor kedua, kata Aditya, karena eksploitasi berlebih. Eksploitasi langsung mengacu pada perburuan berlebih yang tidak berkelanjutan. Sedangkan eksploitas berlebih secara tidak langsung terjadi ketika spesies yang tidak menjadi target dibunuh secara tidak sengaja, seperti menjadi tangkapan sampingan ketika melaut.

Faktor ketiga adalah perubahan iklim, seperti keadaan cuaca yang tidak jelas dan tidak terprediksi. Sebagai contoh, penyerbukan oleh lebah untuk menghasilkan madu menjadi tidak teratur dan berdampak pada ekonomi manusia. “Tentu saja kita harus lihat apakah ini memang juga akibat dari kenaikan suhu dan perubahan iklim,” ucap Aditya.

Keempat, adanya penyakit dengan cara spesies baru menularkan penyakit ke wilayah yang didatangi. Perubahan iklim ini membuat satu spesies mengalami kerentanan terhadap suatu penyakit, seperti manusia yang dapat tertular karena ada satu penyakit dari luar wilayah tempat tinggal.

Kelima, spesies yang invasif masuk ke area yang bukan habitatnya.

Keenam, polusi yang mencemari lingkungan tempat tinggal dan menyebabkan ketidakcocokan untuk tempat tinggal, lalu mempengaruhi ketersediaan pangan hingga reproduksi.

“Saat ini, sudah tidak cukup kita hanya menjaga yang masih ada. Kita sudah harus pada tingkat merestorasi kerusakan yang sudah terjadi,” tutur Aditya.

M. Faiz Zaki

M. Faiz Zaki

Menjadi wartawan di Tempo sejak 2022. Lulus dari Program Studi Antropologi Universitas Airlangga Surabaya. Biasa meliput isu hukum dan kriminal.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus