Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Sudah 60 tahun lamanya, Hari Teater Sedunia di peringati, salah satu tujuannya adalah untuk membawa pesan perdamaian di dunia. Peringatan ini dibuat oleh Institut Teater Internasional atau ITI dan berbagai komunitas teater di Paris, Prancis.
Adapun tujuan lain diadakan Hari Teater Sedunia dari peringatan ini adalah untuk membantu berbagai komunitas dan membuat komunitas teater di penjuru dunia. Dengan hal ini akan banyak melahirkan seniman-seniman teater didunia yang hadir.
Banyak seniman teater dunia yang hadir sejak hadirnya seni ini di dunia, seperti Jean Baptiste Poquelin atau Molière, Jean Paul Satre, William Shakespare, Bernard Shaw, Edmond Rostan, dan masih banyak seniman lainnya. Untuk di Indonesia sendiri juga banyak seniman-seniman teater yang bermunculan mulai dari Rustam Effendi hingga Putu Wijaya.
Rustam Effendi
Rustam merupakan seniman yang lahir di Padang, Sumatera Barat pada 13 Mei 1903. Darah seni Rustam sudah mengalir dari ayahnya, Sulaiman Effendi yang merupakan seorang fotografer. Sejak kecil Rustam sudah tertarik dengan hal yang memiliki unsur kebudayaan dan ia pernah bercita-cita untuk memperbaharui dunia sandiwara.
Rustam masuk dalam kumpulan Pujanggara Baru (1920-an hingga 1930-an). Ia juga menjadi tokoh pertama di Indonesia yang membuat naskah drama menggunakan Bahasa Indonesia dan menggunakan metode dialog antar tokoh dalam tulisannya. Karya yang ia tulis adalah Bebasari atau yang diartikan sebagai kebebsan yang sesungguhnya. Karya ini ditulis Rustam pada 1926.
Arfin C. Noer
Pria yang lahir di Jawa Barat, 10 Maret 1941 lalu ini memiliki nama lengkap Arifin Charin Noer. Arifin dikenal sebagai penulis naskah dan sutradara teater atau film yang ulung. Bakat menulisnya sudah ada sejak ia duduk dibangku SMP, dengan mengirim cerita pendek dan puisi ke berbagai majalah. Tak hanya itu Arifin juga memulai karir teaternya di Lingkaran Drama Rendra, dan di tempat ini Arifin menemukan karakternya.
Karakter teater Arifin terkenal dengan sebutan Teater Kecil, hal ini seiring dnegan gaya pementasan kaya irama dari musik, blocking, vokal, tata cahaya, kostum, dan verbalisme naskah. Adapun karya-karya Arifin ialah Nenek Tercinta (1966), Matahari di Sebuah Jalan Kecil (1966), Mega-Mega (1966), Sepasang Pengantin (1968), Kapai-Kapai (1970), Sumur Tanpa Dasar (1971), dan masih banyak karya-karya hebat dari Arifin C. Noer.
Baca: Hari Teater Sedunia, Indonesia Punya Wayang Orang, Longser, Lenong dan Ketoprak
W.S. Rendra
Willibordus Surendra Broto Rendra atau yang akrab disapa Rendra lahir di Surakarta pada 7 November 1935. Rendra sudah piawai menulis cerita pendek, puisi, dan drama ketika masih duduk di bangku SMP. Ia juga sudah piawai di atas panggung drama.
Rendra yang juga terkenal dengan puisi-puisinya, mulai memplubikasikannya di media-media massa pada tahun 1952 di Majalah Siasat. Rendra juga membentuk Bengkel Teater pada 1967 di Yogyakarta dan melahirkan banyak seniman-seniman hebat di dalamnya. Bengkel Teater sempat kocar-kacir akibat tekanan politik di Indonesia, dan akhirnya ia memindahkannya di Depok, Oktober 1985.
Adapun karya-karya Rendra adalah Mastodon dan Burung Kondor, Selamatan Anak Cucu Sulaiman, Orang-Orang di Tikungan Jalan, Lingkaran Kapur Putih, Penambahan Reso, dan beberapa kali menerjamhkan karya-karya dari William Shakespare.
Putu Wijaya
Putu lahir di Puri Anom Tabanan, Tabanan, Bali, 11 April 1944 dengan nama I Gusti Ngurah Putu Wijaya. Selain sebagai penulis Putu juga dikenal sebagai pelukis. Karya pertama Putu berjudul Etsa, sebuah cerita pendek yang ia tulis ketika duduk bangku SMP dan dimuat dalam Harian Suluh Indonesia, Bali.
Putu Wijaya pertama kali tampil di sebuah teater drama yang ia buat sendiri ketika duduk di bangku SMA bersama kelompok-kelompok teater yang ada di Yogyakarta. Putu juga alumni dari Bengkel Teater yang dibuat oleh W.S Rendra. Karya-karya drama dari Putu ialah, Dalam Cahaya Bulan (1966), Lautan Bernyanyi (1967), Bila Malam Bertambah Malam (1970), Invalid (1974), Tak Sampai Tiga Bulan (1974), Anu (1974), Aduh (1975), Dag-Dig-Dug (1976), Gerr (1986), Edan (1988), Hum-Pim-Pah (1992).
GERIN RIO PRANATA
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini