Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Joko Widodo atau Jokowi memerintah Indonesia selama satu dekade atau 10 tahun. Namun, menurut menurut Kurawal Foundation dalam Laporan Tahun 2023 Tegak Lurus Menolak “Jokowisme”, pemerintahan dengan ideologi Jokowisme ini tersungkur dalam kemunduran demokrasi. Bencana demokrasi pemerintahan Jokowi terjadi ketika publik memaklumi praktik jahat penguasa sampai akar masalahnya sulit dipulihkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bagaimana Jokowi bisa merebut kendali publik atas kuasanya? Jokowi dengan cerdik mengubah politik Indonesia menjadi panggung teater untuk melancarkan muslihatnya. Sebab, teater dan tipu daya adalah agen yang berperan sangat besar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perjalanan Jokowi menuju istana adalah fragmen-fragmen drama yang dikoreografikan sempurna, mulai dari blusukan dalam gorong-gorong jalan raya Jakarta sampai ekstasi massa di panggung konser Dua Jari. Sejak awal, rakyat dibuat percaya ”Jokowi adalah kita” dan bukan bagian dari ”mereka”. Akibatnya, rakyat telah diperdaya tanpa sadar oleh gelembung manipulasi informasi media sosial yang telah dipersenjatai.
Panggung teater Jokowi adalah jantung muslihat populisme, yaitu memainkan perasaan pura-pura menjadi lemah, seperti rakyat kecil, tidak elitis, tidak terlalu pintar, dan menimbulkan belas kasihan. Pendukung Jokowi akan selalu mengatakan, “Aku rapopo” yang siap memaklumi segala tindakannya. Secara pelan dan pasti, pemerintahan Jokowi membuat penindasan dibiarkan dan dilazimkan, warga layak dibungkam, dan oposisi diyakini sebagai kebisingan.
Jokowi sebagai politikus populis mengisi ceruk realitas psikologis dalam berita: ucapannya dan tindak-tanduknya ditujukan untuk mengisi harapan audiens. Cara kerja ini mirip dengan hoaks. Publik hanya menyeleksi informasi yang dianggap sebagai kebenaran karena menyukainya dan sesuai keyakinan preferensi pribadi. Cara kerja ini membuat calon tiran memanufaktur persetujuan untuk proyek politik dan ekonomi. Secara halus atau kasar, Jokowi mengembangkan toxic positivity yang memaklumi buruknya tata kelola pemerintahan dan kebijakan konyol.
Muslihat lainnya dalam panggung teater Jokowi adalah keahlian menelikung alat negara untuk melayani kepentingan golongan dan membungkam lawan politik melalui kepolisian, kejaksaan, tentara, dan KPK. Bahkan, Jokowi mengajak kekuatan ormas keagamaan terbesar di Indonesia ini untuk menggebuk ormas keagamaan lain yang mengancam dirinya. Jokowi juga membuat kekuasaan legislatif sehingga tidak relevan menguasai mayoritas suara parlemen menjadi pendukungnya.
Dengan demikian, perlawanan yang tersisa hanya dari kekuatan rentan masyarakat sipil tanpa kendaraan politik, bagaikan gemuruh tanpa riak, seperti aksi #ReformasiDikorupsi. Aksi yang berjalan sporadis dan tanpa pemimpin ini sebagai gerakan moral mengembalikan demokrasi ke rakyat. Namun, aksi ini berlangsung sepekan setelah disapu kekerasan kepolisian yang membuat 1.500 orang ditangkap dan 5 orang berusia 15-23 tahun terbunuh.
Represi aparat tersebut juga terjadi di ruang siber terhadap para aktivis dan jurnalis, terutama ketika Covid-19. Peristiwa ini memperlihatkan otoritarianisme Jokowi dan rezim pendukungnya, sedangkan rakyat dibiarkan sesak napas. Namun, bagi rezim populis Jokowi, rakyat terbius, dibungkam, ketakutan, dan tercerai adalah basis langgengnya kekuasaan.
Selama 10 tahun dengan ideologi Jokowisme, Jokowi mentransformasikan dirinya dari wajah jelata plonga-plongo menjadi imaji “Raja Jawa” yang terlihat santun, tetapi kejam dalam berkuasa. Imaji ini diproyeksikan ke publik melalui kegemarannya bersolek dengan pakaian ala raja-raja.
Saat memakai pakaian adat di acara kenegaraan penting, Jokowi hampir selalu tampil dengan pakaian raja atau kepala suku, bukan pakaian adat para jelata, Jokowi pernah mengenakan baju Raja Pakubuwono Surakarta dalam Peringatan HUT ke-78 Kemerdekaan RI pada 2023. Melalui laporan ini, atas tindakan tersebut Kurawal menolak tegas Jokowisme berkembang dalam demokrasi.
RACHEL FARAHDIBA R I KURAWAL FOUNDATION