DUNIA perfilman Indonesia semakin marak. Bukan pada tingkat produksinya, yang memang merosot dibandingkan tahun lalu. Bukan pula pada mutunya. Kemarakan kali ini berupa partisipasi swasta untuk ikut menilai film, baik nasional maupun asing. Prakarsanya datang dari Bandung, lewat satu kegiatan berskala besar: Festival Film Bandung (FFB). Dalam kaitannya dengan itu, kini para juri FFB sudah giat keluar masuk gedung bioskop. Sudah lama penggemar film di kota sejuk itu punya gagasan meningkatkan aspirasi dan daya cerna masyarakat terhadap film. Penilaian FFB -- yang akan diumumkan 1 April 1988 -- diharapkan dapat menjadi tolok ukur bagi penonton awam. "Kegiatan ini tadinya mau dinamai Kritik Film Bandung. Tapi karena rutin dan ada penghargaan yang akan diberikan bertepatan dengan ulang tahun Kota Bandung, namanya diganti menjadi Festival Film Bandung," kata Ir. Chand Parwez Servia, pencetus ide. Gagasan Parwez yang sehari-hari adalah Ketua I GPBSI (Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia) Cabang Jawa Barat ini disambut budayawan Bandung. Maka, terbentuklah Panitia Tetap (Pantap) FFB yang diketuai Parwez, dibantu Drs. Edison Nainggolan (Ketua Perfin Ja-Bar) sebagai bendahara, dan Duduh Durahman serta Eddy D. Iskandar -- keduanya kritikus film -- membidangi penjurian dan operasional. Pantap yang sifatnya permanen itu setiap tahun memilih para juri. Tahun pertama ini, juri IFB terdiri dari 9 orang, dengan ketua Dr. Sudjoko, dosen seni rupa pada Fakultas Seni Rupa dan Disain ITB. Ia pernah menjadi anggota juri pada FFI 1977 yang menimbulkan "heboh" di kalangan orang film. Ketika itu, juri FFI bukan saja tak berhasil memilih film terbaik, malah memberikan pertanggungjawaban yang dianggap menyakitkan orang film, terutama para produser. Sudjoko didampingi Saini K.M., Sutardjo A. Mihardja, Duduh Durahman, Suyatna Anirun, Yayat Hendayana, Eddy D. Iskandar, Us Tiarsa, dan Hernawan. Untuk menilai, mereka bisa menonton film semaunya dan untuk itu dibekali "kartu bebas nonton" di semua gedung bioskop di Bandung. Ingin menyaingi FFI? "Wah, terlalu besar kalau dikatakan mau menyaingi FFI," ucap Parwez. Tapi diharapkan FFB bisa mendukung dan mengisi kekosongan FFI. Soalnya, hasil penilaian FFI sering menimbulkan kontroversi sehingga diperlukan penilaian versi lain. "Jadi, bisa saling mendukung untuk peningkatan apresiasi masyarakat," kata Edison. Sistem penjuriannya sama dengan FFI -- tapi kriteria penilaian mungkin berbeda. "Dalam FFB ini ditekankan tema cerita yang berhubungan langsung dengan masyarakat," kata Sutardjo A. Mihardja, sehari-hari dosen Fakultas Psikologi Unpad, Bandung. Tema itu juga menyangkut masalah keorisinilan dan moral cerita. Unsur-unsur lain, seperti skenario, penyutradaraan, sinematografi, editing, musik, teknik rekaman suara, tata artistik, dan pemain, juga dinilai. Dewan juri FFB menjanjikan, hasil penilaian mereka akan disertai pertanggungjawaban tertulis. Ini bedanya dengan juri FFI yang tak menyertakan pertanggungjawaban, malah "dilarang bicara" satu tahun sejak penilaian diumumkan. Pada saat mereka boleh buka mulut, kontroversi penilaiannya sudah dilupakan orang. Misalnya heboh kecil FFI baru lalu, ketika banyak orang bertanya kenapa Nagabonar terpilih sebagai film terbaik, kenapa Biarkan Bulan itu sama sekali tak meraih Citra padahal terbanyak dicalonkan. "Tak ada penjelasan dan pertanyaan itu akan menggantung terus. Itu tak akan terjadi pada FFB," kata seorang juri FFB yang tak mau disebut namanya. Lahirnya FFB disambut baik oleh Arifin C. Noer dan Teguh Karya -- dua sutradara terkemuka saat ini. Juga oleh Asrul Sani, penulis skenario langganan Piala Citra. "Bagus sekali dan sangat positif," kata Arifin, di tengah-tengah kesibukannya mengerjakan film Jakara 1966 di Istana Bogor. Arifin juga melihat komposisi juri FFB membawa angin segar. "Mereka adalah orang-orang yang tidak terlalu jauh dari dunia film, kendati bukan praktisi. Di FFI sendiri malah ada juri yang tak tahu-menahu soal film. Menjadi juri tentu tak cukup punya KTP dan surat bebas G-30S/PKI saja," kata Arifin lagi. Asrul Sani menyarankan agar juri FFB bertemu setiap enam bulan untuk menentukan film terbaik. "Film terbaik enam bulan pertama dan pada enam bulan kedua didiskusikan lagi untuk menetapkan film terbaik sepanjang tahun," katanya. Tapi bahwa juri menonton langsung bersama masyarakat, menurut Asrul, itu sudah bagus. Apalagi kalau juri bisa menonton film yang sama, lebih dari satu kali. Bagi Teguh Karya, semakin banyak lembaga yang menilai film Indonesia, semakin terbuka dialog. "Kita tak boleh melihat FFB itu semacam tandingan FFI," kata Teguh, yang di Pantap FFI duduk sebagai Ketua II Bidang Acara. Secara panjang lebar Teguh Karya menguraikan bahwa film bukanlah barang eksak yang bisa dinilai secara baku. Ia memberi contoh filmnya Doea Tanda Mata. "Di Indonesia 'kan tak menjadi film terbaik, tetapi di Festival Film Asia dan Pasifik terpilih sebagai film terbaik," katanya. Contoh lain, Marissa Haque yang baru saja terpilih sebagai aktris terbaik (film Matahari-Matahari) di Taipei, padahal di FFI lewat peran yang sama ia tak menggondol apa-apa. Satu hal yang Teguh keberatan, "Di Bandung itu namanya tak usah festival." Memang, nama festival itulah yang mengganjal banyak orang. Dirjen RTF yang baru dilantik, Alex Leo, setuju sekali pada usaha-usaha kreatif yang bertujuan meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap film. Tapi, "Setahu saya festival film itu hanya satu, yaitu FFI," kata Pak Dirjen. Ketua PPFI (Persatuan Perusahaan Film Indonesia) Bucuk Suharto menolak keras FFB. Bucuk cenderung pemilihan film perjuangan terbaik, atau sejenisnya. "Jangan festival, apalagi memilih film terbaik, the best actress, dan lain-lain, itu 'kan kurang baik. Kita harus menjunjung tinggi FFI. Ini SK Menteri, di sana itu (FFB maksudnya) 'kan ulah si Parwez. Cari bentuk kegiatan yang lain." Pro dan kontra "festival tandingan" bukan cuma kali ini. Dulu, ketika PWI Jaya menyelenggarakan Pemilihan Aktor dan Aktris Terbaik, ribut-ribut pun terjadi. Akhirnya, kegiatan itu dihentikan, karena diprotes orang film, dan juga kalah wibawa dibandingkan hasil FFI. Kini, FFB, dengan panitia tetap dan juri yang mumpuni, belum tentu kalah wibawa. Cuma FFB ini swasta, dan panjang pendek napasnya bisa diatur "tangan-tangan yang tak tampak". Putu Setia, Ida Farida (Bandung), Tri Budianto S. (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini