Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia dikenal sebagai Xu Xi, tapi di kartu namanya tertera Sussy Komala. Penulis perempuan yang kini tinggal di Hong Kong dan New York ini memang punya latar belakang Indonesia: ayah dari Tegal, ibu dari Cilacap.
Xu Xi atau Sussy, 48 tahun, mungkin tak cukup populer di Indonesia. Tapi pengarang dari Hong Kong yang berbahasa Inggris ini telah menyemai banyak pujian. Majalah Far Eastern Economic Review memberikan pujian superlatif untuk bukunya yang pertama, Chinese Walls (1994). Sedangkan Asiaweek menyebut buku Daughters of Hui (1996) satu dari sepuluh buku terbaik tahun itu. Desember lalu, ketika ia datang ke Jakarta untuk mempromosikan buku-bukunya di Toko Buku QB Kemang, wartawan TEMPO Ignatius Haryanto mewawancarainya. Berikut petikannya.
Sebenarnya apa ide utama dalam novel-novel Anda?
Novel-novel saya terdiri dari beberapa tema. Buku saya yang pertama, Chinese Walls, banyak bercerita tentang keluarga, arti sebuah keluarga. Istilah chinese walls berasal dari dunia bisnis. Ada dua kelompok dalam bisnis. Yang satu misalnya investor, dan yang kedua kreditor. Mereka tidak bisa berbicara satu sama lain karena adanya chinese walls, tembok yang merintangi dua kelompok ini dalam berkomunikasi. Nah, saya menggunakan ide ini untuk berbicara tentang keluarga. Ada banyak titik perbedaan dan rintangan dalam keluarga. Misalnya tentang nilai-nilai tanggung jawab, kewajiban, dan rasa kehilangan.
Termasuk nilai-nilai dalam seksualitas?
Memang saya banyak menulis masalah yang berkait dengan soal seks. Keintiman yang saya maksud ini tidak hanya menyangkut pria dan wanita, tapi juga antara wanita dan wanita, atau lelaki dan lelaki. Karena itu, sering saya dikenali sebagai penulis seks. Tapi yang saya maksud dengan seks atau keintiman sebenarnya hanyalah suatu entry point untuk bicara tentang hal yang lebih luas, misalnya pertarungan antargender. Artinya, jika ada seorang perempuan dan seorang lelaki bertemu, pastilah terjadi sesuatu. Pada dasarnya saya senang memperhatikan orang, mengetahui apa yang menjadi latar belakang mereka, dan kemudian juga melihat bagaimana mereka beraktivitas. Nah, dengan menulis ini, saya menuangkan kesenangan saya memperhatikan mereka tersebut.
Tadi Anda menyebut banyak persoalan di dalam keluarga. Tapi bukankah itu bagian dari tema klasik Barat lawan Timur?
Inilah globalisasi. Ada anggota keluarga yang pergi ke luar negeri karena hendak belajar, bekerja, atau karena tekanan politik. Tapi, selain benturan, saya juga menulis soal pertemuan antara kedua kebudayaan itu. Coba lihat, pada 1960-an, pasangan Barat-Timur biasanya mengacu pada lelaki Barat yang menikahi wanita Asia. Nah, sekarang saya kira kenyataannya sudah banyak bergeser, misalnya perempuan Barat menikahi pria Timur. Ini kan semacam perimbangan kekuasaan (balance of power). Dulu tak banyak wanita Barat yang dikirim ke Asia. Kini banyak wanita Barat yang pergi ke Asia dan mencari pasangan lelaki Asia.
Bagaimana dengan latar belakang keluarga Anda sendiri?
Ayah saya seorang guru pada zaman Jepang. Tapi kemudian setelah kemerdekaan, tahun 1947 atau 1948, ayah saya meninggalkan Indonesia, kemudian pergi ke Shanghai dan kuliah di sana. Tapi ketika Partai Komunis Cina berkuasa, pada 1949, ia kembali ke Hong Kong. Ibu saya datang ke Hong Kong 3-4 tahun sebelum ayah saya; ia bersekolah di Singapura, setelah itu pindah ke Hong Kong untuk melanjutkan studinya. Ibu saya sangat independen, berani dan berkeras untuk menyelesaikan pendidikannya. Ia pergi ke Hong Kong sendirian. Jadi, ayah-ibu saya bertemu di Hong Kong. Pada saat itu tidak banyak orang Indonesia di sana, lalu mereka saling kenal dan kemudian menikah.
Sebagai seorang penulis perempuan Asia, tantangan apa yang Anda hadapi?
Saya melihat sejumlah penerbit di Barat menginginkan buku tentang Cina yang ditulis dengan formula yang sama. Misalnya, salah satu penulis Cina yang dikenal di Barat adalah Amy Tan. Semua penerbit menginginkan buku lain dengan tema yang seperti telah ditulis Amy Tan. Padahal tiap penulis punya cerita yang berbeda, sehingga hal ini sangat menyulitkan bagi para penulis lainnya. Sementara itu, ketika muncul penulis baru yang memiliki gaya baru lalu sukses, lalu penerbit lain juga menginginkan adanya buku lain yang mengikuti gaya yang sukses tersebut. Ini sisi gelap dari industri buku, tapi demikianlah adanya. Saya merasa saya punya sesuatu yang ingin saya sampaikan dan saya terus berusaha dengan apa yang saya percayai ini.
Sulitkah menemukan penerbit tulisan Anda?
Awalnya memang demikian. Misalnya saya pergi ke London, menawarkan naskah saya, editornya mengatakan, "Topik yang ditulis menarik, tapi apakah kiranya ada orang yang mau membaca topik seperti ini?" Jadi, hingga tahun 1994 saya belum menemukan sebuah penerbit pun. Saya mendapat kesan, penerbit besar di London dan Amerika itu mau menerima buku yang ditulis oleh orang Barat tentang Asia. Tapi saya sadar, sebelum menemukan penerbit, saya belum bisa berdiri, dan untunglah saya menemukannya sewaktu pulang ke Hong Kong. Kini masih sulit untuk memasarkan buku di Amerika. Tapi itu tak terlalu buruk. Ada satu-dua universitas di Amerika mengundang saya ke sana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo