Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Losmen Bu Broto berangkat dari serial Losmen yang terkenal tahun 1980-an
Cerita dan konfliknya dikemas lebih kekinian
Diperankan aktor ternama seperti Mathias Muchus, Putri Marino, dan Maudy Koesnaedi
DI sebuah meja makan, banyak “rasa” yang ditumpahkan. Tawa dan air mata, kemarahan, pula penyesalan, berkelindan dalam sebuah perjamuan. Banyak orang percaya bahwa meja makan menyimpan rahasia sebuah keluarga. Ini pula yang meruah di meja makan keluarga dalam film Losmen Bu Broto—area yang menjadi ruang privat di tengah hilir-mudik tamu di penginapan mereka. Sebuah losmen bergaya arsitektur Jawa dengan banyak ornamen retro yang dikisahkan berlokasi di jantung Yogyakarta.
Problem terhidang satu demi satu saat makan malam, bergantian dengan ikan bumbu kecombrang, menu primadona di losmen. Ada pengakuan Jeng Sri (diperankan Maudy Ayunda), si bungsu yang hamil sebelum menikah; ada kepedihan Mbak Pur (Putri Marino), sulung tiga bersaudara yang ditinggal mati pacarnya; dan tentu saja ada kekecewaan yang tertahan dari Bu Broto alias Deborah (Maudy Koesnaedi), ibu mereka. Juga emosi yang tertata rapi dalam tatapan mata Pak Broto (Mathias Muchus).
Bagi penonton generasi 1980-an, tokoh Bu Broto dan ketiga anaknya: Mbak Pur, Tarjo, Jeng Sri, dan Pak Broto adalah idola dan legenda. Mereka adalah wajah serial Losmen yang skenarionya ditulis seniman teater Tatiek Maliyati dan disutradarai Wahyu Sihombing. Pasangan suami-istri itu total mengerjakan 35 episode serial yang tayang selama 4 tahun hingga 1989 tersebut. Pada dekade itu, Losmen juga sempat difilmkan dengan judul Penginapan Bu Broto. Baik serial maupun filmnya diperkuat oleh aktor tersohor seperti Mieke Wijaya, Mang Udel, Dewi Yull, Mathias Muchus, dan Ida Leman.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mathias Muchus dan Baskara Mahendra dalam Losmen Bu Broto. Paragon Pictures.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Trio produser—Pandu Birantoro, Andi Boediman, dan Robert Ronny—mengusungnya ke layar lebar atas nama rindu. Sementara Andi dan Robert penggemar berat serial Losmen saat dulu ditayangkan di TVRI, Pandu mengaku ketagihan saat menontonnya di YouTube. Mereka ingin generasi muda ikut menyecap kehangatan losmen milik Bu Broto dan kuatnya kisah dalam serial itu. Tatiek Maliyati, sebagai pemegang hak cipta Losmen, memberi restu. Ia merelakan gagasannya dibumbui dengan isu yang lebih kekinian, di bawah arahan sutradara Eddie Cahyono (Siti) dan Ifa Isfansyah (Sang Penari). Menurut Tatiek saat dihubungi Tempo via telepon, saat dulu ia mengerjakan naskah serial Losmen, konfliknya juga ia buat relevan dengan situasi ketika itu.
Pandu menjelaskan, pembicaraan untuk memfilmkan Losmen sudah muncul sejak akhir 2018. Tahun berikutnya, ide itu digodok dan pihaknya mulai melakukan pendekatan ke penulis naskah Alim Sudio serta ke Eddie dan Ifa. Bila Ifa dipilih karena dianggap punya sensitivitas dalam menggarap film keluarga, Eddie dianggap dapat menumpahkan inovasi dan warna yang berbeda untuk Losmen Bu Broto. Dua sutradara itu pun sudah pernah berduet saat menggarap film pendek Air Mata Surga (2003). “Keduanya cocok banget, dan pastinya sudah sangat mengenal kultur keluarga Jawa di Yogyakarta,” kata Pandu saat dihubungi pada Jumat, 19 November lalu.
Palet warna terang dengan interior yang meriah begitu melekat sejak kita memasuki Losmen Bu Broto. Kehangatan itu tersuguh di dapur—menghadirkan Mbak Pur yang memasak untuk tamu, sembari guyon dengan pacarnya. Kamera lalu mengajak kita berkeliling ke bagian-bagian losmen, bertemu dengan tamu dengan beragam karakter dan latar belakang kisah. Ada seorang suami yang menunggu istrinya datang, ibu “ambisius” bersama si anak yang lebih senang menjadi pemandu wisata ketimbang kuliah, musikus indie yang sedang “me time” sejenak dari suaminya, juga seniman bergaya tengil yang naksir pada Jeng Sri.
Marthino Lio dan Maudy Ayunda dalam Losmen Bu Broto. Paragon Pictures
Dari dialog yang melintas pada awal film, kita diberi tahu bahwa para tamu betah berkali-kali menginap di Losmen Bu Broto karena keintiman di sana. Kedekatan dibangun tak hanya lewat kebiasaan makan bersama keluarga Bu Broto dengan tamu, tapi juga welas asih dan kepedulian yang ditunjukkan tak hanya lewat kata, tapi juga sikap. Kelak, model relasi ini tak hanya menjadi jembatan emosional antara tamu dan pengelola losmen, tapi juga meniupkan konflik yang kian runcing menjelang akhir.
Tampilan keluarga Bu Broto yang njawani di depan para tamu juga menunjukkan pencitraan yang memang umum dalam bisnis. Bahwa apa yang tersuguh di depan tamu, pada akhirnya, adalah imaji yang ingin disuguhkan. Ini pula yang membuat keluarga losmen setia memakai pakaian tradisional sepanjang hari. Sementara Pak Broto mengenakan setelan beskap motif lurik dan blangkon—persis seperti sosoknya di serial Losmen, Bu Broto dan dua putrinya selalu mengenakan kebaya kutubaru dan encim. Rambut Bu Broto pun selalu dipasangi sanggul dan ditata bak priayi Jawa. Adapun Jeng Sri dan Mba Pur menggelung rambut mereka.
Namun, di luar area tamu, mereka kembali menjadi diri sendiri. Ruang privat itu hadir berupa kamar gudang, yang menyimpan memorabilia, juga kenangan yang tak kasatmata. Bila di meja makan konflik silih-berganti terhidang, gudang menjadi ruang aman sekaligus tempat rekonsiliasi yang menenteramkan. Di gudang yang gelap itu pula kita justru bisa melihat lebih terang dan dalam karakter-karakter di Losmen Bu Broto. Narasi tentang mereka yang merasa kecewa, dikalahkan, dikhianati, dan mengalami trauma berkepanjangan, hadir di ruang yang jauh dari hiruk-pikuk ini.
Putri Marina (tengah) dalam Losmen Bu Broto. Paragon Pictures
Mathias Muchus adalah satu satu “orang lama” Losmen yang kembali mendapat peran. Namun, bila dia dulu bermain sebagai Tarjo, si anak bungsu kini bermain sebagai “bapaknya”—Pak Broto. Mathias memilih menginterpretasikan ulang sosok Pak Broto. Sosok ayah pencinta ukulele ini tak hanya digambarkan sabar dan tenang, tapi juga cenderung pemaklum bila dibanding istrinya yang dominan. “Dasar karakternya memang sama dengan karakter di serial dulu: sosok pensiunan dengan sindrom pasca-purnajabatan. Namun saya membuat penyesuaian lagi karena Jeng Sri dan Mbak Pur mewakili karakter anak zaman sekarang,” ujarnya.
Kekhasan serial Losmen yang gesekan konfliknya bertumpu pada perbedaan karakter dalam sebuah keluarga hadir pula di Losmen Bu Broto. Kita bakal mendapati perseteruan dan kecemburuan yang biasa terjadi dalam hubungan kakak-adik, tapi pada akhirnya bara itu dapat dipadamkan. Begitu pun bisnis ketimuran, melekat di film ini. Terlihat bagaimana keluarga Bu Broto sempat juga ngos-ngosan karena urusan pengeluaran, tapi tetap ingin menyuguhkan yang terbaik bagi tamunya. “Bisnis Losmen Bu Broto tidak kaku, tidak mencari untung, ataupun memeras orang yang menginap. Tamu diperlakukan istimewa, seperti menyambut keluarga yang datang dari jauh,” kata Mathias.
Losmen Bu Broto amat rapi menuntun kita menyelami karakter satu per satu. Walau begitu, memang film ini baru berfokus pada dua-tiga orang saja. Karakter Tarjo, serta Pak dan Bu Broto, misalnya, belum diberi porsi sebesar Jeng Sri dan Mbak Pur. Pilihan ini sekaligus membuka kemungkinan Losmen Bu Broto akan dibikinkan sekuel. Film pun ditutup dengan manis, beserta adegan simbolis: penggantian papan nama losmen, dengan visual yang lebih kekinian dan trendi.
Pandu sendiri tak mengelak jika mereka dikatakan sudah punya gambaran untuk mengeksplorasi karakter dan cerita Losmen Bu Broto ke sekuel atau mungkin serial. “Karena bagaimanapun Losmen ini dulu punya banyak episode yang ruang napasnya panjang, bahkan untuk karakter pendukungnya sekalipun,” tuturnya.
Losmen Bu Broto
Sutradara:
Ifa Isfansyah, Eddie Cahyono
Produksi:
Paragon Pictures, Ideosource Entertainment, Fourcolours Films, Ideoworks
Pemain:
Maudy Koesnaedi, Mathias Muchus, Putri Marino, Maudy Ayunda, Baskara Mahendra
Rilis:
18 November 2021
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo