Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Penerbit buku indie bertahan di tengah gelombang bacaan digital.
Pengelola penerbit indie harus pintar-pintar menjaga keseimbangan antara idealisme dan kesehatan keuangan.
Mereka terus menyajikan alternatif bacaan yang tidak dilirik penerbit besar karena dianggap tak menguntungkan secara finansial.
DAFANIA tampak berjalan miring melewati kerumunan orang di salah satu gang dalam pameran buku Islamic Book Fair di Jakarta Convention Center, Senayan, Jakarta Pusat, pada Kamis, 15 Agustus 2024. Ia tampak kesulitan menembus keramaian pengunjung, terlebih karena harus menggendong tas ransel dan menenteng tas jinjing berisi lima buku yang baru ia beli. "Mumpung diskon besar, mau cari buku lain yang menarik," kata remaja perempuan 14 tahun itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dafania tak sendirian. Ia datang bersama ratusan kawannya sesama pelajar satu sekolah menengah pertama Islam di Jakarta Pusat. Ya, acara pelesiran ke pameran buku menjadi agenda sekolah mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mampir ke satu gerai penerbit buku, perhatian remaja putri berkacamata itu seketika tertuju pada tumpukan kitab dengan tanda diskon hingga 70 persen. Dengan cekatan, mata dan tangannya memilah judul demi judul. Satu buku yang ia pilih bertema perempuan muslimah dan dunia digital. "Sepertinya menarik. Harganya pun tak sampai Rp 40 ribu," kata Dafania.
Ada pula Ghali yang mengincar buku bertema pengembangan diri. Dua buku yang ia lirik membahas tentang sifat introvert. Sembari malu-malu, remaja 13 tahun itu memang ingin menggali kepribadiannya. "Saya anak yang tertutup sekali. Sepertinya (buku) ini cocok," kata dia dengan suara pelan.
Selain pelajar, pameran buku Islamic Book Fair ini ramai didatangi pengunjung berusia dewasa. Meski bertema Islam, buku yang disuguhkan cukup beragam. Maklum, terdapat lebih dari 80 perusahaan penerbit yang hadir memeriahkan ekshibisi itu.
Bukan hanya penerbit besar atau mayor, puluhan penerbit independen atau penerbit indie ikut membuka lapak dengan ribuan buku mereka. Satu di antaranya Penerbit Qaf yang sukses menjual lebih dari 3.000 eksemplar buku dalam pameran buku yang berlangsung pada 14-18 Agustus 2024 itu.
Kitab mereka yang paling laris berjudul Membangun Negara Islam Modern di Indonesia karya Prof. Dr. KH Abu Yasid, M.A. "Buku ini mendapat penghargaan IBF Award 2024 kategori Non-Fiksi Dewasa," kata Kepala Marketing Penerbit Qaf Muhammad Thoyyib kepada Tempo pada Jumat, 23 Agustus 2024.
Pengunjung memadati stan penerbit Qaf dalam Islamic Book Fair di Jakarta Convention Center (JCC), Senayan, Jakarta, Agustus 2024. Dok. Qaf
Penerbit Qaf berdiri sejak 2017 dan berfokus pada buku-buku bernapaskan Islam. Hingga kini, Thoyyib melanjutkan, ada 130 judul yang mereka terbitkan yang semuanya berkategori nonfiksi.
Menurut dia, Penerbit Qaf sejak awal punya tujuan menampilkan wajah Islam nan indah sembari memberikan pencerahan dengan cara yang asyik, di antaranya lewat kisah-kisah Islami. Lewat tulisan nonfiksi, mereka pun ingin membagikan ilmu pengetahuan. Mereka meyakini buku selalu menjadi gudang ilmu.
Menjadi penerbit indie bukan tantangan mudah bagi Thoyyib dan para koleganya. Selain segmen pembaca yang terbatas, kondisi dan situasi ikut mempengaruhi penjualan buku. Sebagai contoh, pada awal tahun ini, penjualan Qaf menurun, wabilkhusus dari jalur daring. Kondisi politik yang bergejolak seperti pemilihan umum ikut mengurangi penjualan buku. "Namun kami optimistis buku selalu ada pasarnya sendiri," ucap Thoyyib.
Inovasi dan keterbukaan berkolaborasi menjadi siasat Penerbit Qaf menjaga nyala asa mereka. Selain menerima dan menyeleksi naskah yang akan diterbitkan, Qaf menampung naskah-naskah tulisan dari penulis lokal dan internasional dengan tema yang sedang tren alias banyak diminati pembaca. Di tengah era digital, Qaf ikut memanfaatkan berbagai platform untuk berpromosi dan menggenjot penjualan. "Dari media sosial sampai marketplace," kata Thoyyib.
Penerbit Rene Islam juga ikut menyuguhkan ribuan jilid dalam pameran buku di JCC itu. Rene Islam adalah satu anak perusahaan penerbitan independen Rene Turos Group. Dalam gelaran tersebut, mereka menjual ribuan eksemplar buku. Be The Alpha Muslimah menjadi yang paling laris. Maklum, buku tersebut baru beberapa bulan lalu dirilis.
Editorial Manager Rene Turos Group, M. Farobi Afandi, mengatakan buku nonfiksi Be The Alpha Muslimah adalah cara perusahaan menjawab kebutuhan dan tren di kalangan pembaca. "Isu alpha girl atau alpha woman sedang jadi bahan perbincangan pembaca dari generasi Z maupun milenial," kata Farobi kepada Tempo, pada Rabu, 21 Agustus 2024.
Sebagai penerbit independen, wajib hukumnya bagi kelompok Rene Turos untuk cepat membaca tren pasar. Termasuk keinginan pembaca di segmen buku Islami maupun umum. Singkat kata, buku apa yang belum ada di pasar tapi dibutuhkan pembaca, di situlah celah bagi penerbit indie seperti mereka.
Bedah buku “Be The Alpha Muslimah” terbitan Rene Turos Group dalam Islamic Book Fair di Jakarta Convention Center (JCC), Senayan, Jakarta, 18 Agustus 2024. Dok. Rene Turos Group
Walhasil, diakui Farobi, ia harus bergerak cepat mencari penulis yang siap menuangkan ide baru itu dalam sebuah buku. Pekerjaan beratnya, Farobi dan kawan-kawan harus mempertahankan kualitas tulisan meski dikerjakan dengan sistem kilat. "Kalau isi bukunya ada semua di Google, apa hebatnya? Justru bikin pembaca kapok," kata Farobi. "Karena itu, nilai tulisan harus tetap kami jaga."
Farobi membantah anggapan bahwa buku nonfiksi kurang laku di pasar. Menurut dia, jika buku tersebut punya kualitas dan nilai yang tinggi, pasti akan jadi barang incaran pembaca. Ia mencontohkan anak usaha Rene Turos Group, Turos Pustaka, yang berfokus menerbitkan kitab-kitab lama ajaran Islam.
Oleh penerbit Turos Pustaka, kitab-kitab berusia hampir seribu tahun seperti yang ditulis Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali ath-Thusi asy-Syafi'i atau Imam Al Ghazali diterjemahkan dan diterbitkan menjadi buku baru. Hasilnya, laku keras. Farobi mengatakan saat ini buku terjemahan kitab Imam Al Ghazali akan dicetak lagi untuk kedelapan kalinya—sebanyak 2.000 sampai 2.500 eksemplar sekali cetak.
Selain itu, Rene Turos Group rajin menggunakan cara-cara kekinian untuk mempromosikan dan memasarkan buku-buku mereka. Mulai dari berpromosi lewat media sosial, mengajak pemengaruh meresensi buku, dan menjual lewat marketplace sehingga mudah dijangkau pembaca. "Dengan demikian, kami percaya diri menerbitkan buku-buku nonfiksi," kata Farobi.
Komunitas Bambu juga tak lelah menelurkan buku-buku nonfiksi sejak berdiri pada Mei 1998. Pendiri Komunitas Bambu, JJ Rizal, mengatakan, seperti penerbit indie pada umumnya, mereka hadir untuk memberikan bacaan alternatif yang tidak diberikan para penerbit besar.
Menurut Rizal, para penerbit besar biasanya mementingkan pasar dan nilai bisnis saban mencetak buku. Sedangkan Komunitas Bambu dan penerbit indie lain lebih mengedepankan nilai.
Buku-buku terbitan Komunitas Bambu mengusung tema sejarah. Selama 26 tahun, mereka menerbitkan lebih dari 500 judul buku. Rizal tak khawatir dengan pembatasan tema yang diterapkan Komunitas Bambu. Sebab, jika klasifikasi dikerjakan secara konsisten dan dengan kualitas tinggi, ceruk pasar pasti terbentuk. "Orang-orang bicara buku sejarah, pasti akan merujuk pada kami," kata Rizal kepada Tempo di kediamannya, di Beji, Depok, pada Jumat, 23 Agustus 2024.
Meski berstatus penerbit indie, Rizal mengatakan standar kerja mereka mengikuti sistem kerja penerbit besar. Artinya, seluruh alur sistem penerbitan, dari redaksional, desain, editorial, sampai administrasi, dikelola secara profesional. "Untuk promosi dan pemasaran pun kami kerjakan sesuai dengan kekinian, lewat media sosial dan marketplace," kata sejarawan dari Universitas Indonesia itu.
Ada pula penerbit indie asal Yogyakarta, Basabasi, yang mencoba memberikan porsi seimbang antara bacaan nonfiksi dan sastra. Editor penerbit Basabasi, Reza Nufa, mengatakan pihaknya telah menerbitkan sekitar 500 judul dengan mayoritas kategori nonfiksi, seperti buku filsafat, psikologi, antropologi, dan sosial-politik. "Di luar nonfiksi, kami menerbitkan novel, novela, kumpulan cerpen, naskah lakon, dan puisi," kata Reza.
Menurut dia, penerbitan buku sastra lebih menantang. Terutama buku sastra penulis lokal yang namanya belum begitu dikenal. Namun justru itulah semangat awal pembentukan penerbit Basabasi, yakni sebagai wadah bagi penulis sastra lokal, termasuk pemula.
Mereka rutin menggelar sayembara menulis novela untuk menerbitkan nama-nama baru di dunia sastra Indonesia. Diharapkan panggung sayembara ini mampu menjaga nyala semangat pada penulis muda.
Meski hasil sayembara, kata Reza, kualitas buku-buku yang lahir dari panggung tersebut dijamin. Bahkan bisa diadu dengan tulisan hasil kurasi reguler. "Karena sudah terkonsep dan punya tema yang lebih sesuai dengan apa yang kami butuhkan," kata Reza.
Adapun untuk buku nonfiksi, penerbit Basabasi lebih memilih menerbitkan buku yang cenderung bisa bertahan lama di pasar, seperti naskah-naskah filsafat Yunani klasik. "Dari omzet naskah filsafat inilah modal diputar untuk membantu menyokong penerbitan buku sastra yang penjualannya lebih pelan dan cenderung pendek," ujar Reza.
Ketua Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) Arys Hilman Nugraha menyebutkan penerbit indie sejatinya lebih tahan banting ketimbang penerbit besar. Arys menuturkan, model bisnis penerbit independen yang cenderung lebih sederhana dan mudah dikolaborasikan dengan berbagai pihak membuat mereka lebih efisien dan fleksibel.
Selain itu, tumbuhnya komunitas-komunitas yang terhubung secara virtual telah mempermudah akses informasi tentang buku-buku spesifik yang menjadi ladang penerbit indie tertentu. "Misalnya buku filsafat, sastra, kebudayaan, sejarah, dan pendidikan," kata Arys kepada Tempo.
Sayangnya, Ikapi tak punya data seputar penerbit indie, termasuk jumlahnya. Meski begitu, Arys melanjutkan, mereka mudah ditemukan. Terbukti dari banyaknya judul buku yang mereka jual secara daring maupun di toko khusus buku indie.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo