Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Seni

Biennale Jogja 14 Pertemukan Seniman Indonesia dan Brasil

Gelaran seni Biennale Jogja ke-14 pada 2017 akan dilangsungkan di gedung Jogja National Museum (JNM) pada 2 November -10 Desember 2017.

4 Oktober 2017 | 20.48 WIB

Para seniman Brasil yang tengah melakukan residensi di Yogyakarta, (dari kiri ke kanan): Rodrigo Braga, Daniele Lie, Yuri Firmeza, serta Koordinator Artist Residence Luft Adelina saat konferensi pers tentang Biennale Jogja XIV Seri Equator #4 di Warung Bu
Perbesar
Para seniman Brasil yang tengah melakukan residensi di Yogyakarta, (dari kiri ke kanan): Rodrigo Braga, Daniele Lie, Yuri Firmeza, serta Koordinator Artist Residence Luft Adelina saat konferensi pers tentang Biennale Jogja XIV Seri Equator #4 di Warung Bu

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Yogyakarta -Gelaran seni Biennale Jogja ke-14 pada 2017 akan dilangsungkan di gedung Jogja National Museum (JNM) pada 2 November -10 Desember 2017. Biennale ini melanjutkan serial Equator untuk kali yang keempat .

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Dengan mengambil tema STAGE of HOPELESSNESS  (baca: Age of Hope), Equator #4 memilih Negara Brasil untuk dieksplorasi. Negara ini dipilih karena dalam kunjungan Tim Biennale Jogja yang terdiri dari Pius Sigit Kuncoro dan Yustina Neni pada November 2016 lalu, ditemui momen estetik menarik. Saat itu mereka mengunjungi São Paulo Biennial ke-32 bertema Live Uncertainty.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Ada ketidakpastian hidup yang kami temukan di Brasil yang juga ada di Indonesia,” kata Pius, kurator Biennale Jogja XIV, dalam konferensi pers di Warung Bu Ageng Yogyakarta, Selasa, 3 Oktober 2017.

Pius mencontohkan, pergantian kursi Presiden Dilma Rousseff yang didemo untuk mundur menimbulkan ketidakstabilan politik. Tak diduga, ketika Pius dan Yustina kembali ke Tanah Air pada 2 Desember 2016, bertepatan dengan Aksi 212 di Jakarta.  “Itu di luar dugaan. Orang kemudian ngomongin kembali ke Pancasila.”

Persinggungan suasana politik, sosial, juga ekologi kedua negara itu melahirkan sejumlah karya dari pengalaman traumatik. Ada pengalaman ketidakberanian untuk berharap karena kenyataan semakin sulit dipahami.

Dia pun akhirnya memilih Brasil ketimbang Mexico. Alasannya, kekontrasan kedua negara itu sangat tajam.   “Jadi Indonesia dan Brasil itu mirip, tapi sangat beda,” kata Pius.

Direktur Biennale Jogja XIV Dodo Hartoko mengatakan ada sembilan repertoar dalam bieannle nanti yang dihimpun ke dalam empat tema besar, yakni: Festival Equator dengan tema Organizing Chaos pada 10 Oktober – 2 November 2017 di sejumlah  ruang publik di Yogyakarta.

Kemudian Parallel Events bertema STAGE of HOPELESSNESS pada 28 Oktober – 3 Desember 2017 di 35 ruang seni di Yogyakarta. Antara lain Ark Galerie, Pusat Kebudayaan Koesnardi Hardjosumantri (PKKH) Universitas Gadjah Mada (UGM), Taman Budaya Yogyakarta, Kedai Kebun Forum.

Selanjutnya Main Exhibition bertema STAGE of HOPELESSNESS pada 2 November – 10 Desembe 2017 di JNM. Sejak pembukaan pada 2 November 2017 itu akan melibatkan 27 seniman Indonesia dan 12 seniman Brazil.

Serta Managing Hope bertema Biennale Forum pada 4 November – 7 Desember 2017 yang berupa diskusi. Harapannya, tidak hanya memperbincangkan pengalaman traumatik, tetapi juga menjadikan traumatik itu menjadi momen estetik yang menjawab persoalan ketidakpastian hidup hari ini.

 

 

 

Pito Agustin Rudiana

Koresponden Tempo di Yogyakarta

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus