Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Drama musikal Mar, produksi ArtSwara, membentangkan kembali peristiwa era Revolusi Kemerdekaan, Bandung Lautan Api. Dalam alunan jazz, lebih dari 40 komposisi legendarisnya dirajut menjadi kisah cinta Aryati, seorang perawat rumah sakit, dan Sersan Mayor Mar, prajurit Tentara Keamanan Rakyat (TKR).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pilihan Editor: Pergelaran Musikal Mar Digelar Akhir Februari, Diangkat dari Lagu-lagu Ismail Marzuki
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pementasan ini tak hanya membawa nostalgia sejarah, tapi juga menawarkan tafsir baru atas warisan musikal Ismail Marzuki. Gabriel Harvianto sebagai Mar dan Galabby sebagai Aryati menjelma menjadi pasangan yang mewakili generasi yang harus memilih antara cinta dan Tanah Air. "Ternyata, sosok Aryati yang awalnya kami kira fiksi, benar-benar ada," ujar Galabby ditemui di area Ciputra Artpreneur, Ciputra World, Kuningan, Jakarta Selatan pada Rabu, 26 Februari 2025.
Membawakan peran seorang perawat di era revolusi, ia merasa terhubung dengan surat-surat asli Aryati yang menjadi inspirasi pertunjukan. Gabriel juga merasakan hubungan personal dengan musik sang maestro, "Saya sangat suka dengan lagu ‘Wanita’. Selain itu, ‘Aryati’ juga punya makna tersendiri. Ayah saya tahu lagu itu sejak lama dan sering menyanyikannya."
Warung Ambu: Titik Awal Takdir Mar-Aryati
Bandung 1946 dalam ingatan seorang perempuan paruh baya. Di hadapan cucunya, ia mengulang kembali kisah dari cinta pertamanya yang tak pernah pudar: pertemuan dengan Sersan Mayor Mar, seorang prajurit. Panggung dibuka dengan Nin (Aryati di usia senja), diperankan Widyawati, yang berbicara dengan cucunya, Mara.
Suaranya lirih, mengundang penonton masuk dalam kenangannya, "Suatu hari di Bandung, sahabat Nin, Ningrum, kerap kali mengajak Nin dan perawat lainnya pergi ke Warung Ambu sehabis bekerja di rumah sakit." Warung Ambu bukan sekadar tempat makan, tapi titik temu para prajurit dan perawat yang hidup dalam ketidakpastian perang.
Suasana warung sederhana itu dihidupkan oleh karakter Ambu, diperankan Chandra Satria, yang menyematkan nuansa Sunda dalam dialog dan nyanyian. Salah satunya, ia melantunkan ‘Panon Hideung’ karya Ismail Marzuki, yang diadaptasi dari lagu Rusia. Lagu itu bercerita tentang seorang laki-laki yang kasmaran pada seorang perempuan bermata hitam.
Dengan gaya bicara yang khas, Ambu menghadirkan kehangatan tersendiri. Ia menjadi jembatan antara penonton dengan latar budaya Bandung pasca-kemerdekaan. Di sela percakapan ringan, prajurit lain menggoda Mar, menyebutnya primadona yang belum juga jatuh cinta. Hingga akhirnya, Aryati datang. Tanpa banyak kata, Mar merayunya lewat ‘Payung Fantasi’ dengan vokal jazz yang lebih hangat.
Memori Kolektif dalam Kobaran Bandung Lautan Api
Dari perkenalan, hubungan Mar dan Aryati berlanjut ke percakapan yang lebih dalam. Dalam keterbatasan waktu, mereka berbagi mimpi, kecemasan, dan harapan. Adegan-adegan berikutnya diselingi dengan lagu-lagu Ismail Marzuki yang menggambarkan perasaan mereka. ‘Rindu Lukisan’, ‘Melati di Tapal Batas’, hingga ‘Selendang Sutra’.
Setelah mereka akhirnya menikah, kebahagiaan itu hanya berlangsung sebentar. Peristiwa Bandung Lautan Api meletus. Api berkobar di layar latar, suara tembakan bersahutan. Mar kemudian gugur dalam pertempuran, meninggalkan sapu tangan yang dulu ia berikan pada Aryati.
Dalam Mar, kehancuran Bandung juga digambarkan dengan sinematografi panggung yang cermat. Adegan tembakan, kobaran api, dan kepanikan warga ditampilkan tanpa berlebihan. Tak hanya menghadirkan peristiwa besar, musikal ini juga menyoroti peran Laskar Wanita Indonesia, kelompok perempuan yang ikut berjuang di medan perang.
Aransemen Jazz dalam Mar
Keberhasilan Mar tidak hanya terletak pada kisahnya, tetapi juga bagaimana lagu-lagu Ismail Marzuki diberikan napas baru di era modern. Dengan aransemen jazz yang lebih luwes, musiknya tetap terasa dekat tanpa kehilangan esensi klasik. Lagu-lagu seperti ‘Juwita Malam’, ‘Sapu Tangan dari Bandung Selatan’ dan 'Ibu Pertiwi’ hadir dalam warna berbeda, sementara ‘Gugur Bunga’ menjadi alunan klimaks dalam pertunjukan.
Performa Gabriel dan Galabby sebagai tokoh utama turut menampilkan keseimbangan antara vokal, ekspresi, dan dinamika musikal. Disuguhkan dalam durasi 3 jam, Mar adalah penghormatan. Musikal ini tak hanya mengenang, tapi juga menghidupkan kembali semangat kemerdekaan yang tertinggal dalam lagu-lagu Ismail Marzuki.