Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Eksplorasi Ruang Bunga Yuridespita

Berangkat dari latar belakang arsitektur, Bunga Yuridespita menciptakan karya bertema ruang nan sakral.

10 Maret 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Karya mural berjudul Cosmic Dreamscape karya Bunga Yuridespita dalam pameran tunggalnya bertajuk Common Sanctum di Salihara Art Center, Jakarta. TEMPO/INDRA WIJAYA

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Perupa muda Bunga Yuridespita menggelar pameran bertajuk Common Sanctum di Salihara, Jakarta.

  • Mural raksasa menjadi karya termegah dalam pameran tunggal Bunga Yuridespita ini.

  • Ikhtiar Bunga Yuridespita mengeksplorasi kesakralan ruang.

Karya mural megah tersaji di ruang pameran Salihara Art Center, Jakarta Selatan, Rabu, 6 Maret 2024. Bahkan ukuran mural yang tak lazim itu mencaplok lebih dari separuh ruang pameran. Karya mural tersebut dibuat menyambung dari lantai hingga tembok.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jika pengunjung berdiri di sebuah titik khusus tak jauh dari pintu masuk ruang pameran, mural yang dilukis di dinding dan lantai tampak menyatu. Ya, mural berwarna monokrom putih, abu-abu, dan hitam itu menyuguhkan ilusi optik menawan. Jika dilihat dengan saksama, mural dinding dan lantai itu membentuk pemandangan lorong bangunan yang terdiri atas sejumlah pilar dan tembok.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mural berjudul Cosmic Dreamscape itu memang menjadi primadona dalam pameran yang digelar Salihara Art Center melalui kerja sama dengan Can's Gallery tersebut. Wajar puluhan pengunjung pameran yang dibuka pada Rabu lalu itu mengambil gambar dan swafoto dengan mural tersebut.

Cosmic Dreamscape merupakan bagian dari pameran tunggal perupa muda Bunga Yuridespita bertajuk "Common Sanctum". Pameran itu berlangsung hingga 3 April mendatang dengan harga tiket masuk Rp 50 ribu untuk umum dan Rp 25 ribu bagi pelajar. 

Selain memajang mural raksasa, Bunga memboyong puluhan karya terbaru dalam pameran kali ini. Salah satunya adalah sepasang lukisan berukuran jumbo, 200 x 200 sentimeter, berjudul Fast Unknown dan Spectral Solitude. Kedua lukisan media campuran di atas kanvas itu dipasang di salah satu sudut dinding mural. Lukisan yang didominasi warna hitam dan abu-abu itu menggambarkan kekosongan dalam suatu ruangan. 

Ada pula empat lukisan yang disusun dalam dua baris vertikal. Keempat lukisan itu dibuat dengan teknik tempera di atas kanvas goni atau burlap canvas, yang dasarnya berwarna cokelat muda seperti amplop surat.

Karya berjudul Stellar Illussions dalam pameran tunggal Bunga Yuridespita bertajuk Common Sanctum, di Salihara Art Center, Jakarta, 6 Maret 2024. Karya ini terdiri dari 25 panel berukuran 20x20 sentimeter berbahan cermin dan semen. TEMPO/INDRA WIJAYA

Pada keempat lukisan itu, Bunga memasukkan beberapa bentuk bangun datar ke setiap kanvas, seperti persegi dan segitiga. Lagi-lagi Bunga mengimplementasikan konsep tipuan mata dalam keempat lukisan tersebut. Walhasil, pola-pola bangun datar itu membentuk beberapa bangun ruang berkat permainan warna yang mencolok, seperti merah muda terang, biru, hijau, dan ungu.

Selain menampilkan lukisan dan mural, Bunga memamerkan karya seni media campuran berjudul Stellar Illusions. Karya ini terdiri atas 25 panel berukuran 20 x 20 cm berbahan cermin dan semen. Sekilas setiap panel seperti ubin yang ditempeli potongan cermin berbagai bentuk yang asimetris, bahkan tidak teratur.

Ada juga karya lukis berjudul Celestial Horizon yang menampilkan sebuah bentuk bangun ruang kubus melayang di sebuah ruang kosong. Kubus itu berkelir abu-abu kusam dengan berbagai bercak noda. Adapun dinding ruang dibuat dengan warna abu-abu lebih gelap

Menariknya, Bunga melukis semacam selendang panjang yang melilit salah satu sudut kubus. Selendang panjang itu tampak kontras dengan kelir putih dan merah muda.

Bunga mengatakan upaya penaklukan ruang menjadi ide utama dalam pameran ini. Mural raksasa Cosmic Dreamscape menjadi tantangan utama. Bunga dan timnya memerlukan waktu sekitar sepekan untuk menyelesaikan mural tersebut di ruang pameran Salihara Art Center.

Bagi Bunga, pengerjaan mural bukan hal baru. Sebab, dalam pameran tunggal pertamanya pada 2019, Bunga sudah memunculkan konsep tersebut. Sayangnya, ide utama saat itu masih berupa karya dua dimensi. "Dari situ, saya ingin mengembangkan lagi bentuk dua dimensi agar bisa jadi tiga dimensi seperti sekarang," katanya kepada Tempo, Rabu lalu.

Empat karya lukis Bunga Yuridespita (searah jarum jam - kiri atas) berjudul Eternal Gridscape, El Euclidean Dreams, Organic Labyrinths dan Eternal Frontier. TEMPO/INDRA WIJAYA

Pemilihan warna yang cenderung monokrom kali ini juga bukan tanpa sebab. Bunga mengaku penggunaan warna lebih sederhana sudah berjalan melalui proses panjang. Selain itu, perupa kelahiran 1989 tersebut jatuh hati pada warna material-material mentah seperti semen dan warna dasar tembok bangunan.

"Saya suka gedung terbengkalai dan material semen, yang menurut saya punya karakter dingin, kaku, dan kuat, tapi sebenarnya fleksibel," ujarnya.

Dalam pameran kali ini, Bunga berusaha menggali kesakralan dalam sebuah ruang. Menurut dia, kesakralan suatu ruang tidak melulu ditemukan pada bangunan religi atau tempat ibadah. Semua hal sakral, kata dia, bisa muncul dari pemikiran orang, dialog, dan ruang itu sendiri. 

Faktanya, hampir semua karya seni Bunga punya pola bangun datar dan bangun ruang yang kuat. Rupanya, latar belakang arsitektur ikut mempengaruhi proses kreatif dan karya seninya. Bunga, yang menyandang gelar sarjana arsitektur Universitas Pelita Harapan, pernah bekerja di dunia arsitektur selama tiga tahun sebelum memutuskan mengambil pendidikan magister seni rupa di Institut Teknologi Bandung pada 2015. 

"Saat awal berkarya seni, saya ingin melepas nilai-nilai arsitektur yang saya miliki. Namun, seiring berjalan waktu, justru itulah yang jadi kekuatan saya dalam berkarya," tutur perupa yang tinggal di Bandung itu.

Bagi Bunga, ini adalah pameran tunggal keduanya setelah pameran pertama pada 2019. Seperti perupa pada umumnya, pameran tunggal adalah tonggak pembuktian kemampuan diri sebagai seniman. Terlebih Bunga pernah mendapat penolakan dari orang tua dan keluarganya saat memilih seni rupa sebagai pilihan hidup.

Perupa Bunga Yuridespita dalam pembukaan pameran tunggalnya bertajuk Common Sanctum di Salihara Art Center, Jakarta Selatan, 6 Maret 2024. TEMPO/INDRA WIJAYA

Bunga seperti mengingat kembali penolakan orang tuanya saat ia ingin kuliah seni rupa. Maklum, orang tuanya tak yakin seni rupa bisa menjadi pilihan hidup yang baik di masa depan. Keputusannya memilih arsitektur sebagai jurusan kuliah juga ia anggap sebagai pilihan terbaik. Sebab, dengan arsitektur, ia masih bisa berkreasi lewat gambar.

"Saat ambil kuliah program S-2 seni rupa, keluarga enggak tahu. Tapi, setelah pameran tunggal pertama saya 2019, barulah keluarga mendukung," perempuan 35 tahun ini mengenang.

Kurator pameran, Rizki A. Zaelani, mengatakan perspektif ruang memang menjadi kekuatan karya-karya Bunga. Rizki mengakui latar belakang arsitektur membuat karya-karya Bunga punya ciri khas yang kuat.

Menurut Rizki, kerja kreatif Bunga, baik sebagai arsitek maupun perupa, punya garis merah yang sama, yakni menggali dan membangun konstruksi pilihan medium ekspresi. Bahkan, kata dia, Bunga tak cuma membayangkan ruang dengan logika arsitektural, tapi juga merenungkan pengalaman kehadiran tubuhnya saat berada di ruang hunian secara langsung.

Rizki mengatakan ada beberapa cara Bunga menampilkan imajinasi tentang problematika sifat keadaan. Beberapa lukisan, misalnya, dikerjakan dengan menekankan imajinasi tentang ide bentuk menyerupai gambar denah ruangan. Tapi sebagian lukisan lain justru tampak sebagai gagasan bentuk tentang konstruksi bangunan yang bersifat arsitektural. Bahkan ada beberapa lukisan yang menunjukkan detail bentuk gambar potongan ruang. 

"Intinya, hampir semua komposisi bentuk ruang dalam lukisan Bunga dikerjakan untuk menunjukkan karakter presisi sekaligus kesunyian," ujar dosen seni rupa Institut Teknologi Bandung itu.

Rizki juga menemukan nuansa abstrak dalam karya-karya Bunga. Menurut dia, Bunga tidak menunjukkan gambaran bentuk yang bercerita ataupun menggambarkan simbol yang biasa digunakan untuk menjelaskan kisah sang seniman. Walhasil, ia hanya mengajak penonton mencerna sendiri makna visual yang ditangkap dari visual karya tersebut.

INDRA WIJAYA

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus