Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Seni

Endah N Rhesa dan Tuan Tigabelas Tulis Lagu dengan Tangis untuk Album Sonic/Panic

Selama workshop album Sonic/Panic, Endah N Rhesa dan Tuan Tigabelas menangis mengetahui fakta-fakta tentang kondisi Bumi yang semakin memprihatinkan.

25 Oktober 2023 | 14.30 WIB

(dari kiri) Tuantigabelas, Iga Massardi, Gede Robi dari band Navicula, dan Endah dari Endah N Rhesa dalam konferensi pers peluncurkan album Sonic/Panic di Jakarta pada Selasa, 24 Oktober 2023. Dok. Istimewa
Perbesar
(dari kiri) Tuantigabelas, Iga Massardi, Gede Robi dari band Navicula, dan Endah dari Endah N Rhesa dalam konferensi pers peluncurkan album Sonic/Panic di Jakarta pada Selasa, 24 Oktober 2023. Dok. Istimewa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Endah N Rhesa, Iga Massardi, Tuan Tigabelas menjadi bagian dari 13 musisi Indonesia yang mengisi album Sonic/Panic produksi Alarm Records. Rupanya tak sedikit dari mereka yang berlinang air mata selama melakukan workshop album kompilasi tersebut di Bali.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Sonic/Panic merupakan album yang dibentuk sebagai wujud petisi dari 13 musisi Indonesia terhadap isu perubahan iklim bumi. Melalui satu minggu workshop bersama Greenpeace Indonesia di Bali, Endah dan rapper Upi atau Tuan Tigabelas mengaku sempat menangis menyadari fakta tentang perubahan alam dari data-data yang mereka terima saat itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Aku di hari ke berapa itu, sama Mbak Endah kelar workshop kita makan bareng. Cuma lihat-lihatan, tanpa sadar kita menangis. Mbak Endah menangis, aku jadi terpancing kayak, ‘Duh, ini serius banget lagi masalahnya,’” ucap Upi dalam pertemuan media secara hybrid pada Selasa, 24 Oktober 2023. 

Mata Endah N Rhesa hingga Tuan Tigabelas Semakin Terbuka Soal Isu Krisis Iklim

Di hari pertama workshop, kata Upi, ia dan musisi lainnya masih bisa santai dan mengobrol. Begitu memasuki hari kedua, mereka lebih banyak merenung setelah mengetahui detail perubahan bumi yang semakin hari semakin memburuk.

Selaras dengan Upi, Endah juga merasakan mental breakdown di hari kedua workshop. “Mungkin aku paling cengeng sih sepanjang workshop. Dikasih fakta-fakta yang nyesek banget. Ini permasalahan yang cukup berat dan aku sebagai musisi juga harus punya cara untuk mengekspresikan kekhawatiran, ketakutan, atau rasa yang ingin diluapkan,” ujarnya emosional.

13 Musisi Bergabung Bikin Lagu tentang Isu Lingkungan

Para musisi mendapatkan workshop intens tentang apa saja yang terjadi dengan iklim di dunia dan sudah seberapa parah kerusakannya. Dengan pemahaman tersebut, masing-masing penyanyi membuat sebuah lagu hasil interpretasi mereka sekaligus sebagai bentuk kritik terhadap isu lingkungan yang tak kunjung selesai.

“Jadi memang ini sebuah kumpulan yang dibekali dengan pemahaman,” tutur Iga Massardi, vokalis Barasuara yang juga terlibat. “Kita dikasih tahu juga ketika memulai untuk menulis suatu lagu dengan satu isu tertentu khususnya iklim, enggak bisa cuman dikasih tahu satu-dua kali.”

13 musisi ini pada akhirnya mendapatkan kesatuan visi terhadap isu lingkungan untuk kemudian mereka tuangkan melalui produksi musik. Bagi vokalis Navicula, Gede Robi yang juga hadir di tempat, perubahaan bukan hanya tugas pemerintah, LSM, ataupun akademisi.

Ia dan musisi dalam Sonic/Panic juga ingin terlibat dengan isu internasional ini melalui karya lagu sebagai sebuah aspirasi, kritik, serta momentum untuk becermin pada diri sendiri. “Dunia sudah bergerak, Indonesia kok (dengan) industri musik sebesar ini cuek, gitu,” kata Robi.

Pembuatan Album Sonic/Panic Tidak Mudah, Tapi Harus Dilakukan

Oleh karena mengangkat satu isu, proyek ini lumayan sulit sebab banyak data yang didapat, banyak riset yang dilakukan, pun banyak kontemplasi diri yang dilakukan. Suatu waktu, Upi mengatakan ia sempat mempertanyakan keputusannya berada di proyek ini.

“Jadi khawatir, putus asa, tetapi gue harus punya harapan karena gue punya anak tiga. Gue enggak mau Bumi ini habis begitu saja untuk generasi berikutnya. Jadi, saya sangat senang berada di sini,” tuturnya mendapat kesetujuan dari yang lain.

“Rasanya enggak adil atau enggak tega ketika nanti kita sudah tua, tetapi menyisakan suatu hal yang tidak kita perjuangkan dengan baik. setidaknya mungkin warisan itu yang ingin ditinggalkan melalui karya-karya yang ada ini,” kata Endah menambahkan.

GABRIELLA KEZIAFANYA BINOWO

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus