Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Yogyakarta - Film terbaru sutradara Hanung Bramantyo berjudul Tuhan, Izinkan Aku Berdosa diputar di ajang Jogja Netpac Asia Film Festival (JAFF) di Empire XXI Yogyakarta, Jumat, 1 Desember 2023. Film yang diangkat dari novel Muhidin Dahlan berjudul Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur itu menyorot soal relasi kuasa antara perempuan dan laki-laki yang masih timpang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lewat kisah perjalanan Kiran (Aghniny Haque) yang aktif dalam pengajian namun harus menanggung berbagai hal pahit karena ia melawan kehendak seorang kiai di pesantren yang ingin menikahinya. "Film ini berusaha mengaktualisasi hal-hal tabu dalam masyarakat kita, terutama kasus kasus pelecehan yang melibatkan tokoh agama salah satunya pondok pesantren," ujar Hanung Bramantyo Jumat petang lalu.
Tuhan, Izinkan Aku Berdosa Soroti Kasus Pelecehan di Pesantren
Hanung dalam film yang diproduksi MVP Pictures dan dipoduseri Raam Punjabi ini menyoroti fenomena kasus pelecehan seksual di pondok pesantren yang belakangan terungkap. Ia memotret bagaimana mereka yang diberi julukan kiai atau ustad melakukan pencabulan pada santri perempuan di pondok pesantrennya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Hanung, lewat film ini ia ingin menceritakan tentang pondok pesantren yang selama ini dianggap sebagai tempat suci dan dihormati tapi ternyata pelecehan itu tetap bisa terjadi. "Saya bertemu aktivis yang mendampingi para korban, untuk coba merasakan bersama, apa yang dibayangkan korban," kata Hanung. "Korban (pelecehan) ini berpikir, 'Saya mau ibadah di sini (pondok pesantren) tapi kamu melakukan hal tidak baik dan kamu kiai."
Saat menggarap film ini, Hanung menyadari potensi terjadi pro kontra dalam masyarakat besar terjadi karena ini menyangkut isu sensitif. Ia mengaku siap jika akan terjadi pro dan kontra terhadap film ini. Namun, Hanung juga menyadari ada suara yang harus disuarakan terutama mengenai kekerasan pada kaum perempuan.
"Saya tidak tahu film ini nanti mau dibawa ke mana, apakah bisa diputar di bioskop atau di Youtube saja," kata dia. "Yang jelas film ini wujud kemarahan seseorang pada Tuhan tapi tak bisa dituangkan, ini untuk mengakomodasi hal itu," kata Hanung
Sutradara Hanung Bramantyo di sela pemutaran film Tuhan, Izinkan Aku Berdosa di JAFF (1/12). Dok.istimewa.
Penulis Novel Nilai Hanung Bramantyo Berani
Penulis novel Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur, Muhidin Dahlan yang turut hadir dalam pemutaran film Tuhan Izinkan Aku Berdosa itu mengaku sempat kaget saat Hanung Bramantyo izin mengadaptasi novelnya sebagai film. "Setelah buku itu terbit pada 2003, saya sendiri sembunyi selama 10 tahun karena adanya pro kontra, makanya saat Hanung mau adaptasi saya cuma berpikir 'orang ini berani benar'," kata dia.
Film ini secara umum coba mengangkat suara perempuan dalam dominasi pria. Perempuan dipandang harus diam ketika berhadapan dengan laki-laki. Apalagi jika laki-laki itu memiliki pengaruh kuat dalam masyarakat.
Hanung sendiri sudah membaca novel itu pada 2003 silam. Lalu saat pandemi Covid-19.melanda kurun 2020-2022 silam ia kembali mengingat buku itu dan mulai mencoba mengadaptasinya menjadi film. Hanung mengaku baru mengedit film tersebut setelah pulang berhaji pada tahun ini. Sehingga ia merasakan betul bagaimana gambaran ketika manusia sedang melakukan protes pada Tuhan.
Kebingungan Aghniny Haque
Sementara Aghniny Haque yang menjadi pemeran utama film itu mengaku begitu antusias sekaligus bingung saat tahu karakter Kirani yang harus ia mainkan. "Aku senang tapi juga bingung, secara aku belum pernah jadi santriwati. Aku belum pernah dalam proses protes kepada Tuhan, jadi saat syuting masih galau luar biasa, 'Ini beneran sosok Kiran atau bukan ya,' jadi tanya terus ke Mas Hanung," kata dia.
Penulis novel, Djenar Maesa Ayu, yang menjadi sosok Ami, tokoh pelacur pemberi tumpangan pada Kiran dalam film itu menilai film ini menjadi satu contoh dari betapa banyaknya pelecehan seksual pada perempuan dan semua korbannya hanya bisa diam. "Jadi ketika ada yang mau bersikap, itu satu di antara yang mewakili banyak suara yang tak bisa bicara. Film ini mengangkat bagaimana tindak kekerasan harus jadi isu bersama yang harus ditangani," kata Djenar.
Pilihan Editor: Women from Rote Island Jadi Film Terbaik Tahun Ini, Jeremias Nyangoen Sutradara Terbaik