Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AY Tjoe Christine, 29 tahun, kini berpameran tunggal keempat. Ada 66 karya gambar, dry point (cetak kering), dan lukisan dipajang di Edwin's Gallery, Jakarta, sepanjang 22 Mei sampai 1 Juni 2003. Semuanya hasil kerja sepanjang 4 tahun terakhir. Dry point, media yang dominan dalam pameran ini, di masa lalu digunakan oleh Max Beckmann, Karl Hubbuch, dan Christoph Voll, seniman Republik Weimar, untuk menggambarkan dekadensi moral zamannya.
Tentu tidak untuk mengikuti jejak seniman Republik Weimar itu, Christine menempatkan gambar dan dry point menjadi media utamanya. Hal itu terlihat pada karya-karyanya yang sepi dari ingar-bingar masalah sosial zaman ini, sebagaimana kecenderungan perupa sebayanya. Ia justru menukik mendengarkan gemeretak dalam diri sendiri, yang diidentifikasi sebagai "manna"sebuah sumber api yang menggerakkan kehendak atau daya hidup dalam diri manusia.
Hari ke hari, ia mengalirkan daya hidup lewat garis, guratan-guratan tajam, dari mata jarum dry point. Di tangannya, garis seperti menari-nari lincah dan bebas di atas bidang kertas. Sebagian bertumpukan membentuk bidang berisi, sebagian lagi berdiri sendiri sebagai helai-helai yang melayang. Dari goresan tajam mata jarum dry point, terbangun citra sosok dengan rambut tergerai seperti seseorang dirundung duka, membiarkan semua kusut masai. Samar-samar garis itu juga membangun pencitraan lengan, jemari, dan tungkai kaki. Fragmen dari tubuh manusia dijajarkan sebagai simbol, atau untuk mengatakan sesuatu yang lain di balik tubuh itu sendiri. Inikah tafsir visual Aku, Kau, Uak, tema yang hendak dijelajahi dalam pameran dengan kurator Taufik Rahzen ini?
Sebagian besar gambar hitam-putih. Lukisan juga sepi dari warna. Pada keduanya, Christine hanya memberikan sedikit latar kuning kecokelatan atau kadang-kadang merah sebersit, sebagai sebuah aksentuasi. Rupa-rupanya warna bukan hal yang amat menarik bagi Christine, atau barangkali ia belum punya cukup kesempatan untuk menjelajahinya lebih jauh. Sebab, untuk perupa yang tumbuh dari tradisi gambar dan grafis, segi-segi penjelajahan teknik yang berkait dengan alat menjadi utama, ketimbang memperhatikan deret warna. Dalam hal dry point, umpamanya, seperti seorang pendekar ia mesti mengasah terus ketangkasan menggunakan mata jarum yang ditorehkan di atas lempengan logam, sebagai gambar negatif, dan akan menjadi positif atau gambar jadi di atas kertas nantinya, secara tepat.
Tradisi bekerja dengan dry point ini tampaknya masih menggelantung atau membayang-bayang kuat pada lukisan-lukisan Christine, yang membuat sejumlah lukisannya kurang terasa terbebaskan. Itulah sebabnya gambar, dry point, dan lukisannya secara visual hampir-hampir tak ada bedanya.
Lihat umpamanya karya berjudul Aku dan Gunung 1, 23,5 x 36 sentimeter, dry point di atas kertas (2003). Karya itu menggambarkan sosok secara samar-samar yang dibangun hanya dengan beberapa torehan mata jarum dry point, memperlihatkan keterampilan tinggi, dan terkesan ekspresif. Lalu perhatikan lukisan berjudul Sekutu II, 85 x 100 sentimeter, media campuran di atas kanvas (2002). Karya ini mensugestikan sesosok wajah dalam keadaan tertunduk dengan rambut tergerai. Tengok helai-helai rambut di sana yang mungkin arsir dari pensil atau sentuhan tipis dari kuas, hampir tak berbeda dengan goresan yang diakibatkan dari mata jarum dalam karya dry point-nya.
Kini pemegang "5 besar Philip Morris Indonesian Art Award" ini berada dalam peralihan dari satu bahasa ke bahasa lain. Ia memerlukan penyesuaian dalam kebiasaan dan untuk mengutarakannya. Melukis di atas kanvas patut diakui adalah tradisi baru baginya, yang dimulai sekitar tahun 2000. Masih cukup waktu bagi kita untuk melihat perkembangan, terutama lukisannya, di masa mendatang.
Secara keseluruhan, pameran ini menyadarkan kita kembali bahwa kecintaan dan kerja keras akan berjejak pada karya-karya. Dan Christine meninggalkan jejak itu.
Asikin Hasan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo