SEKITAR seribu orang, terutama muda-mudi, asyik bergoyang sambil
cuci-mata ataw pacaran, sambil duduk di lantai atau berdiri
membentuk lingkaran, mereka berhura-hura dalam hentakan dua
corak jazz yang berbeda: "tua dan muda".
Malam itu, 6 November, di arena terbuka Pasar Seni Ancol memang
ada yang tak biasa. Yakni hadirnya harbour Jazz Bond,
rombongan pemusik Belanda --yang malam sebelumnya main di
auditorium Erasmus Huis, Kuningan -- di samping kelompok jazz
pribumi pimpinan Abadi Soesman yang muncul untuk ketiga kalinya
di tempat itu.
"Menggairahkan," ujar Ferdi Meyer, pimpinan rombongan oom-oom
dari negeri Ratu Beatrix itu kepada TEMPO. Terutama karena
bermain di udara terbuka seperti itu terbilang yang pertama
kalinya bagi mereka. Biasanya, mereka tampil di pesta-pesta di
dalam gedung-seminggu sekali.
Toh, sebagaimana diakui Meyer, "kami ini hanya amatiran. Bukan
profesional." Padahal usia grup itu sudah 25 tahun. Dan Meyer
satu-satunya yang bertahan selama itu--'kan ia pemimpinnya Ia
pun satu-satunya pemain yang punya dasar musik klasik. Sehingga
hanya peniup klarinet itu saja yang mampu menyusun aransemen
--di samping harus pandai-pandai mencari teman baru bagi
grupnya.
Si Kumis Baplang
Kini ia berkomplot dengan Leo van der Kruk (klarinet/altosax),
Ernst Metman (terompet/vokal), Flip Robers (trombone), Wim van
den Toorn (dram), Bas Schop (bas), ditambah orang gaetan Arie
Ligthart (banjo/gitar). Yang terakhir itu, berbeda dengan yang
lain, adalah pemain profesional yang konon kenamaan dan diajak
khusus untuk main di sini. Selebihnya adalah para pegawai --
yang main musik "semata-mata karena hobi," kata Meyer lagi.
Ia sendiri seorang insinyur, 47 tahun, bekerja pada sebuah
perusahaan Amerika. Memelihara cambang dan jenggot, bertubuh
kecil, rapi dan kalem. Sedang si botak berkumis baplang Ernst
Metman adalah arsitek yang bekerja di bagian urusan perumahan.
Perutnya yang gendut dan kulit kepalanya yang memerah jika ia
meniup terompetnya, atau menyanyi, menambah kekocakan pada
penampilannya. Dan Flip Robers, yang paling Jangkung, kerja di
baglan lalulintas. Itu antara lain. Usia mereka 32 - 50 tahun.
Yang menarik pada grup itu, meski musisinya tidak profesional,
penampilannya tampak lebih prof. Kesantaian, kehangatan dan
keakraban dengan publik langsung terjalin begitu mereka jreng.
Tambahan lagi corak jazz Dixieland yang mereka mainkan,
ditingkah beberapa nomor swing dan blues, memang cepat
merangsang. Penonton kontan terlibat. Lantas riuh bertepuk.
Sementara kelompok Abadi Soesman, dalam corak jazz yang modern,
pada gilirannya yang pertama sebagai pembuka tampil dengan
gamang. Penonton yang sudah menunggu lantaran 'ngaret'-nya
jadwal sampai setengah jam, malah disuguhi nomor-nomor yang
lembek, lesu. Dan Venus (ciptaan Indra Lesmana) yang lembut,
jadi terasa terlalu panjang. Untunglah di babak kedua mereka
memainkan lagu-lagu yang lebih meriah. Nomor Ini dan Itu ciptaan
Chandra Darusman misalnya, ternyata lumayan asyik --meski masih
terpaku pada melodi. Tapi mereka berhasil meraih lebih banyak,
simpati.
Oom-Oom Belanda itu pun senang dan kagum pada ketrampilan pemuda
pemuda sawo matang itu. "Fantastis,"puji Meyer.
Setidak-tidaknya, ia memang tak menyangka bahwa di sebuah negeri
di Timur, yang selama ini dikenal melulu hanya sibuk dengan
musik tradisi, ada musisi jazz yang juga pandai memainkan
nomor-nomor jazz modern yang sulit.
Tidak berarti Dixie yang selalu dimainkan belanda-belanda
itu--yang memang spesialisasi mereka - musik gampangan, kata
Meyer pula. Itu memang tampak pada bagaimana mereka
memainkannya. Di sana pun ternyatakan kesulitan sekaligus
ketrampilan penguasaan instrumen. Dan hasilnya, lewat empat alat
tiup, banjo atau gitar, bas istrik dan dram, bunyi-bunyian
hadir dengan kompak. Menggerayangi saraf.
Antara lain Mellow Tone (Duke Elington), Hello Dolly (Louis
Armstrong), Chicago, mereka bawakan di Ancol. Sedang di Erasmus
Huis, kecuali lagu-lagu tersebut mereka mainkan pula misalnya I
Want A Little Girl (bayang kan: yang menyanyikannya si oom
gendut, botak, berkumis, sampai-sampai penonton pun tertawa
mendengar judul nomor blues itu), Come Back Sweet Papa (swing)
dan Melancholy Blues. Sedang nomor terakhir yang dimainkan di
kedua tempat itu Ice Cream yang ramai. Disambut riuh.
Di Ancol, tiga lagu lantas dibawakan bersama-sama oleh kedua
kelompok, plus pianis jazz kita Didi Chia. Pertunjukan bubar
tengah malam. Bunyi-bunyian yang tadi hingar, sebagian terikut
pulang. Bahwa yang barusan terdengar adalah dua corak jazz yang
berbeda, bukan persoalan, ternyata. Pengalaman jadi berwarna.
Yudhistira ANM Massardi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini