Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Jazz oom senang

Rombongan pemusik belanda, harbour jazz band, tampil di ancol, didampingi oleh kelompok abadi soesman. mereka bermain bersama dari corak berbeda, maka menghasilkan musik bersama.

14 November 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEKITAR seribu orang, terutama muda-mudi, asyik bergoyang sambil cuci-mata ataw pacaran, sambil duduk di lantai atau berdiri membentuk lingkaran, mereka berhura-hura dalam hentakan dua corak jazz yang berbeda: "tua dan muda". Malam itu, 6 November, di arena terbuka Pasar Seni Ancol memang ada yang tak biasa. Yakni hadirnya harbour Jazz Bond, rombongan pemusik Belanda --yang malam sebelumnya main di auditorium Erasmus Huis, Kuningan -- di samping kelompok jazz pribumi pimpinan Abadi Soesman yang muncul untuk ketiga kalinya di tempat itu. "Menggairahkan," ujar Ferdi Meyer, pimpinan rombongan oom-oom dari negeri Ratu Beatrix itu kepada TEMPO. Terutama karena bermain di udara terbuka seperti itu terbilang yang pertama kalinya bagi mereka. Biasanya, mereka tampil di pesta-pesta di dalam gedung-seminggu sekali. Toh, sebagaimana diakui Meyer, "kami ini hanya amatiran. Bukan profesional." Padahal usia grup itu sudah 25 tahun. Dan Meyer satu-satunya yang bertahan selama itu--'kan ia pemimpinnya Ia pun satu-satunya pemain yang punya dasar musik klasik. Sehingga hanya peniup klarinet itu saja yang mampu menyusun aransemen --di samping harus pandai-pandai mencari teman baru bagi grupnya. Si Kumis Baplang Kini ia berkomplot dengan Leo van der Kruk (klarinet/altosax), Ernst Metman (terompet/vokal), Flip Robers (trombone), Wim van den Toorn (dram), Bas Schop (bas), ditambah orang gaetan Arie Ligthart (banjo/gitar). Yang terakhir itu, berbeda dengan yang lain, adalah pemain profesional yang konon kenamaan dan diajak khusus untuk main di sini. Selebihnya adalah para pegawai -- yang main musik "semata-mata karena hobi," kata Meyer lagi. Ia sendiri seorang insinyur, 47 tahun, bekerja pada sebuah perusahaan Amerika. Memelihara cambang dan jenggot, bertubuh kecil, rapi dan kalem. Sedang si botak berkumis baplang Ernst Metman adalah arsitek yang bekerja di bagian urusan perumahan. Perutnya yang gendut dan kulit kepalanya yang memerah jika ia meniup terompetnya, atau menyanyi, menambah kekocakan pada penampilannya. Dan Flip Robers, yang paling Jangkung, kerja di baglan lalulintas. Itu antara lain. Usia mereka 32 - 50 tahun. Yang menarik pada grup itu, meski musisinya tidak profesional, penampilannya tampak lebih prof. Kesantaian, kehangatan dan keakraban dengan publik langsung terjalin begitu mereka jreng. Tambahan lagi corak jazz Dixieland yang mereka mainkan, ditingkah beberapa nomor swing dan blues, memang cepat merangsang. Penonton kontan terlibat. Lantas riuh bertepuk. Sementara kelompok Abadi Soesman, dalam corak jazz yang modern, pada gilirannya yang pertama sebagai pembuka tampil dengan gamang. Penonton yang sudah menunggu lantaran 'ngaret'-nya jadwal sampai setengah jam, malah disuguhi nomor-nomor yang lembek, lesu. Dan Venus (ciptaan Indra Lesmana) yang lembut, jadi terasa terlalu panjang. Untunglah di babak kedua mereka memainkan lagu-lagu yang lebih meriah. Nomor Ini dan Itu ciptaan Chandra Darusman misalnya, ternyata lumayan asyik --meski masih terpaku pada melodi. Tapi mereka berhasil meraih lebih banyak, simpati. Oom-Oom Belanda itu pun senang dan kagum pada ketrampilan pemuda pemuda sawo matang itu. "Fantastis,"puji Meyer. Setidak-tidaknya, ia memang tak menyangka bahwa di sebuah negeri di Timur, yang selama ini dikenal melulu hanya sibuk dengan musik tradisi, ada musisi jazz yang juga pandai memainkan nomor-nomor jazz modern yang sulit. Tidak berarti Dixie yang selalu dimainkan belanda-belanda itu--yang memang spesialisasi mereka - musik gampangan, kata Meyer pula. Itu memang tampak pada bagaimana mereka memainkannya. Di sana pun ternyatakan kesulitan sekaligus ketrampilan penguasaan instrumen. Dan hasilnya, lewat empat alat tiup, banjo atau gitar, bas istrik dan dram, bunyi-bunyian hadir dengan kompak. Menggerayangi saraf. Antara lain Mellow Tone (Duke Elington), Hello Dolly (Louis Armstrong), Chicago, mereka bawakan di Ancol. Sedang di Erasmus Huis, kecuali lagu-lagu tersebut mereka mainkan pula misalnya I Want A Little Girl (bayang kan: yang menyanyikannya si oom gendut, botak, berkumis, sampai-sampai penonton pun tertawa mendengar judul nomor blues itu), Come Back Sweet Papa (swing) dan Melancholy Blues. Sedang nomor terakhir yang dimainkan di kedua tempat itu Ice Cream yang ramai. Disambut riuh. Di Ancol, tiga lagu lantas dibawakan bersama-sama oleh kedua kelompok, plus pianis jazz kita Didi Chia. Pertunjukan bubar tengah malam. Bunyi-bunyian yang tadi hingar, sebagian terikut pulang. Bahwa yang barusan terdengar adalah dua corak jazz yang berbeda, bukan persoalan, ternyata. Pengalaman jadi berwarna. Yudhistira ANM Massardi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus