RADIO siaran swasta niaga sedang mumbul kian tinggi ke udara,
ditopang gelombang iklan. Program siaran iklan El Shinta,
akarta, misalnya, senantiasa terisi penuh--hingga radio tadi
seringkali terpaksa menolak sumber rezeki itu. Situasi seperti
ini--suatu hal yang belum pernah terjadi sebelumnya -- adalah
akibat siaran iklan di TVRI dihapuskan sejak 1 April silam.
Membludaknya iklan ke media elektronik tersebut diungkapkan W.
Adhitama, Direktur El Shinta, yang juga Ketua I Persatuan Radio
Siaran Swasta Niaga Indonesia (PRSSNI) dalam pertemuan Adman
Club di Hotel Wisata Jakarta, pekan lalu. Ia menyebut bahwa
pendapatan iklan radio swasta niaga naik secara menyolok: Mei,
misalnya, terjadi kenaikan 100% dibanding April sebelumnya. Di
bulan-bulan berikutnya, keadaan menggembirakan tersebut masih
juga terjadi.
Tak heran bila Radio Agustina Yunior, akarta Utara, kini tak
pusing berkeliling. Situasinya sekarang "ibarat kami menunggui
warung: pemasang iklan datang sendiri," kata Iman Suwartoyo,
penanggung jawabnya. "lagian iklan radio kami jadi tak punya
pekerjaan," jawabnya ketawa.
Tapi selain penghapusan iklan di TV sebab lain nampaknya cukup
berperan: tindakan Dewan Pers 1 Maret 1980 yang membatasi iklan
koran sampai hanya 30% dan halaman koran jadi maksimum 12
halaman. Lalu Maret tahun ini, jumlah halaman majalah juga
dibatasi. Tujuan Dewan Pers: menolong pers lemah. Ternyata
akibatnya agak lain: sementara pers lemah tetap sepi iklan,
radio--lemah atau tak lemah--ramai bagaikan pasar.
Biro iklan pun, dalam merencanakan kampanye suatu produk kini
memasukkan radio swasta niaga sebagai media pilihan, tidak hanya
sebagai sekedar penunjang. Alasannya: dibanding pers lemah di
daerah, radio dianggap memiliki sejumlah kelebihan. Untuk
membangkitkan perhatian terhadap suatu produk, misalnya,
seorang konsumen yang buta huruf sekalipun dianggap mampu
menangkap pesan iklan lewat radio.
Seperti kata A. Miradi Surasetja, Wakil Manajer bagian media
biro iklan Meredian, bagian masyarakat yang belum punya
kebiasaan membaca baik, "lebih akrab dengan radio ketimbang
koran daerah." Nuradi, Direktur Intervista Advertising Ltd, juga
menganggap pemasangan iklan di koran lemah sering "tidak sampai
pada sasaran" yang dikehendaki. Soalnya siapa yang membaca
"koran lemah" itu tak pernah diungkapkan, bahkan oplahnya juga
cuma ditebak-tebak. Karenanya "kami lebih baik mcsang iklan di
radio," katanya.
Dengan anggapan semacam itu anggaran kampanye ke radio kemudian
diperbesar. Tahun anggaran 1981/82 ini-Adhitama memperkirakan
seluruh billing yang masuk ke radio berjumlah 13 milyar--sedang
tahun anggaran belumnya sekitar Rp 11 milyar. Deng anggaran
besar tersebut, tentu saja, makin banyak anggota PRSSNI yang
berjumlah 386 akan bersuara lebih merdu.
Terutama di stasiun radio favorit 3-karta--seperti Agustina
Yunior, Kayu manis, El Shinta dan Sonora--tempai iklan datang
bagai kembang di musim bunga. Empat stasiun radio itulah,
menurut survei suatu biro riset, yang punya profil dan jumlah
pendengar (rating) jelas. Agustina Yunior, misalnya, digelari
"pemancar dang-dut" (karena sering mengudarakan lagu-lagu
dang-dut) dikenal punya banyak penggemar di kalangan bawah.
Prinsip Kran
Kendati siaran iklan dibatasi tak boleh lebih 25% dari 18 jam
siaran, empat stasiun radio favorit tersebut toh tetap berusaha
menyedot potensi iklan tadi tanpa mengganggu program siaran.
Caranya? Menaikkan tarif. El Shinta, misalnya, juga melakukan
diversifikasi tarif sejak 1 Juli. Iklan yang dipasang pada saat
utama (prime time: pukul 06 s.d. 08.00 dan 17 s.d. 19.00) lebih
mahal dibanding saat reguler (pukul 09 s.d. 16.00 dan pukul 20
s.d. 24.00). Untuk prime time itu--saat banyak pendengar
memasang telinga--tarifnya Rp 6.000i 60 detik, sedang reguler Rp
4.000/60 detik. Sebelumnya, tanpa diversifikasi, tarifnya Rp
50/detik.
Juga Sonora, yang dimiliki grup penerbit Kompas, menaikkan tarif
iklannya dari Rp 3.750 menjadi Rp 5.000/60 detik. Hanya Agustina
Yunior yang sejak 1 Januari masih memasang tarif Rp 40/detik.
"Kami tak mau pakai aji mumpung," ujar Iman Sumartoyo. "Kami
lebih senang memakai prinsip kran: biar cuma netes pokoknya
lancar." Tapi justru di stasiun radio dang-dut itu, pemasang
iklan tidak cuma menetes: mereka sampai harus antre dan memesan
jadwal penyiaran iklan.
Bagi karyawan radio semua itu jelas berarti kabar baik benar:
radio Kejayaan (Jakarta) mampu menaikkan gaji karyawanya
rata-rata sebesar 50%. Stasiun ini masih memasang tarif iklan Rp
40/de. tik. Dan tarif itu niscaya akan naik lagi jika rating
radio tersebut membaik. Persoalannya tinggal: bagaimana mereka
menyusun acara yang baik buat pendengarnya. Sebab banyak radio
swasta dinilai tidak punya program unggul dan dikelola secara
betul-betul.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini