Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Gelombang Baru: Gelombang Iklan

Iklan di media radio swasta mengalami kenaikan, akibat penghapusan siaran iklan di TVRI & juga iklan yang dimaksud untuk pers lemah ternyata masuk ke radio. Radio-radio swasta kebanjiran iklan.

14 November 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RADIO siaran swasta niaga sedang mumbul kian tinggi ke udara, ditopang gelombang iklan. Program siaran iklan El Shinta, akarta, misalnya, senantiasa terisi penuh--hingga radio tadi seringkali terpaksa menolak sumber rezeki itu. Situasi seperti ini--suatu hal yang belum pernah terjadi sebelumnya -- adalah akibat siaran iklan di TVRI dihapuskan sejak 1 April silam. Membludaknya iklan ke media elektronik tersebut diungkapkan W. Adhitama, Direktur El Shinta, yang juga Ketua I Persatuan Radio Siaran Swasta Niaga Indonesia (PRSSNI) dalam pertemuan Adman Club di Hotel Wisata Jakarta, pekan lalu. Ia menyebut bahwa pendapatan iklan radio swasta niaga naik secara menyolok: Mei, misalnya, terjadi kenaikan 100% dibanding April sebelumnya. Di bulan-bulan berikutnya, keadaan menggembirakan tersebut masih juga terjadi. Tak heran bila Radio Agustina Yunior, akarta Utara, kini tak pusing berkeliling. Situasinya sekarang "ibarat kami menunggui warung: pemasang iklan datang sendiri," kata Iman Suwartoyo, penanggung jawabnya. "lagian iklan radio kami jadi tak punya pekerjaan," jawabnya ketawa. Tapi selain penghapusan iklan di TV sebab lain nampaknya cukup berperan: tindakan Dewan Pers 1 Maret 1980 yang membatasi iklan koran sampai hanya 30% dan halaman koran jadi maksimum 12 halaman. Lalu Maret tahun ini, jumlah halaman majalah juga dibatasi. Tujuan Dewan Pers: menolong pers lemah. Ternyata akibatnya agak lain: sementara pers lemah tetap sepi iklan, radio--lemah atau tak lemah--ramai bagaikan pasar. Biro iklan pun, dalam merencanakan kampanye suatu produk kini memasukkan radio swasta niaga sebagai media pilihan, tidak hanya sebagai sekedar penunjang. Alasannya: dibanding pers lemah di daerah, radio dianggap memiliki sejumlah kelebihan. Untuk membangkitkan perhatian terhadap suatu produk, misalnya, seorang konsumen yang buta huruf sekalipun dianggap mampu menangkap pesan iklan lewat radio. Seperti kata A. Miradi Surasetja, Wakil Manajer bagian media biro iklan Meredian, bagian masyarakat yang belum punya kebiasaan membaca baik, "lebih akrab dengan radio ketimbang koran daerah." Nuradi, Direktur Intervista Advertising Ltd, juga menganggap pemasangan iklan di koran lemah sering "tidak sampai pada sasaran" yang dikehendaki. Soalnya siapa yang membaca "koran lemah" itu tak pernah diungkapkan, bahkan oplahnya juga cuma ditebak-tebak. Karenanya "kami lebih baik mcsang iklan di radio," katanya. Dengan anggapan semacam itu anggaran kampanye ke radio kemudian diperbesar. Tahun anggaran 1981/82 ini-Adhitama memperkirakan seluruh billing yang masuk ke radio berjumlah 13 milyar--sedang tahun anggaran belumnya sekitar Rp 11 milyar. Deng anggaran besar tersebut, tentu saja, makin banyak anggota PRSSNI yang berjumlah 386 akan bersuara lebih merdu. Terutama di stasiun radio favorit 3-karta--seperti Agustina Yunior, Kayu manis, El Shinta dan Sonora--tempai iklan datang bagai kembang di musim bunga. Empat stasiun radio itulah, menurut survei suatu biro riset, yang punya profil dan jumlah pendengar (rating) jelas. Agustina Yunior, misalnya, digelari "pemancar dang-dut" (karena sering mengudarakan lagu-lagu dang-dut) dikenal punya banyak penggemar di kalangan bawah. Prinsip Kran Kendati siaran iklan dibatasi tak boleh lebih 25% dari 18 jam siaran, empat stasiun radio favorit tersebut toh tetap berusaha menyedot potensi iklan tadi tanpa mengganggu program siaran. Caranya? Menaikkan tarif. El Shinta, misalnya, juga melakukan diversifikasi tarif sejak 1 Juli. Iklan yang dipasang pada saat utama (prime time: pukul 06 s.d. 08.00 dan 17 s.d. 19.00) lebih mahal dibanding saat reguler (pukul 09 s.d. 16.00 dan pukul 20 s.d. 24.00). Untuk prime time itu--saat banyak pendengar memasang telinga--tarifnya Rp 6.000i 60 detik, sedang reguler Rp 4.000/60 detik. Sebelumnya, tanpa diversifikasi, tarifnya Rp 50/detik. Juga Sonora, yang dimiliki grup penerbit Kompas, menaikkan tarif iklannya dari Rp 3.750 menjadi Rp 5.000/60 detik. Hanya Agustina Yunior yang sejak 1 Januari masih memasang tarif Rp 40/detik. "Kami tak mau pakai aji mumpung," ujar Iman Sumartoyo. "Kami lebih senang memakai prinsip kran: biar cuma netes pokoknya lancar." Tapi justru di stasiun radio dang-dut itu, pemasang iklan tidak cuma menetes: mereka sampai harus antre dan memesan jadwal penyiaran iklan. Bagi karyawan radio semua itu jelas berarti kabar baik benar: radio Kejayaan (Jakarta) mampu menaikkan gaji karyawanya rata-rata sebesar 50%. Stasiun ini masih memasang tarif iklan Rp 40/de. tik. Dan tarif itu niscaya akan naik lagi jika rating radio tersebut membaik. Persoalannya tinggal: bagaimana mereka menyusun acara yang baik buat pendengarnya. Sebab banyak radio swasta dinilai tidak punya program unggul dan dikelola secara betul-betul.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus