Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PARA pembaca kisah pewayangan tentu sudah tidak asing lagi dengan cerita epik Mahabharata dan tokoh Drupadi di dalamnya. Kisah istri dari kelima Pandawa tersebut diceritakan secara lain oleh Triyanto Triwikromo dalam “Pertempuran Lain Dropadi” (Kepustakaan Populer Gramedia, 2022). Hal pertama yang lain adalah pengejaan nama. Triyanto memutuskan tidak menyebutnya “Drupadi” sebagaimana lazim ia disebut dalam kisah pewayangan versi Jawa, melainkan Dropadi. Keputusan ini digunakan penulis sebagai penanda bagi sejumlah ke-lain-an lebih jauh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pertama, ihwal proporsi. Dalam kisah pewayangan klasik, Drupadi mungkin disebut hanya dalam sepuluh persen pada alur Mahabharata, dan selebihnya hampir tuntas dihuni oleh para lelaki yang saling bertengkar dan bertempur. Di sini, Dropadi justru tokoh utamanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sudut pandang pun menjadi ke-lain-an kedua dalam buku ini. Pencerita dalam Pertempuran Lain Dropadi bukan Dropadi sendiri, melainkan Dewi Sarasvati yang mengikuti Drupadi dan dianggap gila olehnya. Yang juga menarik di sini adalah kemunculan Sarasvati sebagai karakter yang berbincang interaktif dengan Dropadi hanya di awal dan di akhir buku, seperti Gunungan atau Kayon yang muncul sebagai pembuka dan penutup sebuah pertunjukan wayang kulit, menggambarkan semesta cerita. Selebihnya, Sarasvati murni menjadi penutur, seperti semesta tempat cerita itu sendiri berlangsung, semesta tempat Dropadi berjuang melakukan perlawanannya.
Dropadi di sini memang lebih berdaya, dan inilah satu lagi ke-lain-an Drupadi versi Triyanto Triwikromo dibandingkan dengan versi klasik. Ia digambarkan bukan sekadar perempuan pasrah yang menerima nasib yang ditentukan para lelaki dalam hidupnya. Dalam versi klasik, ayahnya, Raja Drupada, menggelar sayembara untuk menentukan siapa yang berhak menikahi dirinya.
Lalu, karena kesalahpahaman antara Kunti dan para Pandawa, Drupadi menjadi istri lima putra Kunti tersebut sekaligus, seolah-olah ia bagian dari sedekah yang harus dibagi. Dan tentu saja tidak akan terlupa insiden permainan dadu antara para Kurawa dan Pandawa, yang lalu mengikutkan Drupadi sebagai taruhan sebagaimana benda hak milik.
Cerita ini sudah dikenal baik oleh mereka yang melek kisah Mahabharata. Namun, kebanyakan pembaca yang tidak dibesarkan dalam lingkup budaya Jawa, Bali, India, dan daerah-daerah lain yang mendapat pengaruh budaya India mungkin perlu membaca dulu versi klasik sebelum memahami perubahan-perubahan yang diupayakan Triyanto dalam versinya.
Dalam buku setebal nyaris seribu halaman ini, Dropadi berusaha melawan. Ia ingin menghadang para Kurawa dengan meminta restu Yudhistira supaya bisa turut bertempur. Namun Yudhistira menolak. Krishna juga menolak memberi restu bagi Dropadi untuk terjun ke medan perang Kurukshetra. Maka ia juga melawan para Pandawa dan Khrisna dengan tetap ikut bertempur. Ia masuk ke tubuh Srikandi bersama Amba untuk menghabisi Bisma.
Satu lagi hal yang berbeda, di sini Dropadi dikisahkan mengalami kebutaan. Kadang ia buta total, kadang hanya bisa melihat sepertiga bagian dari rentang pandangan. Artinya, ia harus bertempur segenap daya dengan mata yang tak berfungsi baik.
Pembongkaran pakem yang dilakukan Triyanto terhadap kisah Mahabharata ini tampak menular pula pada mereka yang menanggapinya. Hal ini, misalnya, terlihat dalam acara peluncuran buku ini sekaligus pertunjukan multimedia bertajuk Dropadi Gugat di Rumah Budaya Indonesia di Berlin, Jerman, pada Ahad, 21 Agustus lalu. Saat itu Triyanto memang sedang berada di Berlin sebagai penerima hibah riset internasional dari Literarisches Colloquium Berlin dan Robert Bosch Stiftung.
Musikus dan komponis Indonesia yang berbasis di Berlin, Bilawa Adi Respati, merespons karya Triyanto ini dengan komposisi yang membongkar suara gending. Komposisinya sekilas terdengar seperti gending Jawa, tapi progresi nada secara sengaja dibuat tidak persis sama dengan pakem gending.
Bilawa menggunakan pendekatan yang ia sebut “gending stokastik,” yaitu secara elektronis memasukkan suara gending ke dalam perhitungan matematis yang menghasilkan pola bunyi dengan distribusi probabilitas acak. Bilawa menyusun komposisi ini dengan dukungan hibah yang diterimanya dari Musikfonds e.V. Elemen visual dan multimedia yang dirancang oleh Ghaliz Filkhair Haris untuk acara tersebut serta ilustrasi sampul dan isi karya Nawangwulan juga menampakkan respons terhadap pembongkaran naratif ini dengan membongkar lebih jauh dalam ekspresi media masing-masing.
Dalam beberapa kesempatan, termasuk dalam acara peluncuran di Berlin tersebut, Triyanto menyebutkan bahwa novel yang ditulisnya ini adalah novel feminis. Sebab, tokoh utamanya kali ini adalah perempuan, menggunakan sudut pandang perempuan, dan karenanya ia “menulis sebagai perempuan”. Pernyataan-pernyataan ini perlu ditinjau lebih jauh. Untuk saat ini, satu pertanyaan muncul: apakah betul bahwa ini adalah novel feminis?
Mari kita kunjungi kembali dua karya penceritaan kembali kisah klasik dalam perspektif feminis yang lebih dulu ada. Yang pertama adalah Calon Arang: Kisah Perempuan Korban Patriarki oleh (almarhum) Toeti Heraty (Yayasan Obor Indonesia, 2000). Terbaca sangat jelas bahwa sejak dari gagasan buku prosa liris ini secara sadar mendekati topiknya dari sudut feminisme. Ibu Toeti tidak hanya menggeser dari perspektif arus utama bahwa Calon Arang sejatinya adalah penyihir jahat menjadi Calon Arang yang penuh amarah lantaran diperlakukan tidak adil karena patriarki. Ia juga menunjukkan dasar penggeseran perspektif itu dengan menganyam sumber-sumber sastra, teori, ataupun dokumen sejarah yang mendukung argumennya ke dalam tubuh prosa liris itu sendiri. Namun karya itu tidak serebral semata. Ia juga menggugat dengan berdiri kokoh pada pengalaman rasa perempuan. “Apakah Anda tahu artinya menjadi janda/ apakah tahu artinya menjadi perempuan tua/ coba saja, bila ditanyakan/ siapa yang becus menjawabnya” (halaman 7).
Karya yang juga layak disebut terkait dengan penceritaan kembali kisah pewayangan dalam perspektif feminis adalah Wanita Kusumayuda karya Sri Harti (ISI Press, 2019). Sri Harti mengembangkan lakon wayang ini dengan berpusat pada dua tokoh utama perempuan yang bertarung, yaitu Srikandi dan Mustakaweni. Drupadi juga muncul di situ sebagai tokoh samping, ketika ia menjadi pejabat raja sementara kala Yudhistira dan adik-adiknya sedang pergi membangun makam leluhur mereka. Dalam lakon ini pun terlihat kompleksitas pengalaman dua perempuan yang ditempatkan berseberangan. Namun pada akhirnya pembaca dihadapkan pada wawasan bahwa kedua tokoh perempuan ini tidak semata hitam dan putih.
Dalam Pertempuran Lain Dropadi, yang terbaca dengan mengalir ini, tokoh utama memang berdaya dan melakukan perlawanan. Namun keberdayaan itu terlihat masih berada dalam ruang yang maskulin. Keberdayaan dan perlawanan Dropadi tampak masih juga harus ditunjukkan dalam keikutsertaannya dalam kancah peperangan dan keperkasaannya bertarung, misalnya.
Kerinduan sebagian pembaca untuk melihat Drupadi berdaya di dalam ruang yang feminin rasanya belum terpuaskan di sini. Triyanto memang membongkar pakem. Namun, kembali lagi, apakah Pertempuran Lain Dropadi kemudian dapat dikatakan sebagai sebuah “novel feminis”? Lebih mendasar lagi, apakah yang membuat sebuah karya menjadi “karya feminis”? Buku ini dapat menjadi bahan pemantik diskusi untuk mengupas pertanyaan-pertanyaan tersebut.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo