Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Fitri Setyaningsih menyajikan pentas tari Sleep Paralysis di Teater Salihara, Jakarta Selatan.
Tari kontemporer yang berangkat dari pengalaman Fitri Setyaningsih yang mengalami sleep paralysis atau tindihan saat tidur..
Fitri Setyaningsih adalah koreografer yang karya-karyanya kerap berangkat dari hal-hal personal yang dialami tubuhnya.
BUNYI menjadi aktor tersendiri dalam pertunjukan tari Fitri Setyaningsih. Begitu masuk ke ruangan, penonton disambut oleh semacam deram konstan. Suara komposisi elektronik seakan-akan menekan otak. Penonton dibawa ke suasana low pitched ambience. Frekuensi rendah dalam suasana remang itu membuat kita seolah-olah masuk dalam kungkungan getar berulang-ulang. Kita seolah-olah tidak bisa ke mana-mana, terperangkap dalam gulungan dengung yang berpilin-pilin. Segera kita menyadari bahwa musik menjadi unsur utama dalam membentuk atmosfer pertunjukan bertajuk “Sleep Paralysis” ini.
Hampir sebagian kursi di Teater Salihara, Jakarta Selatan, tak dipakai. Pertunjukan itu hanya memakai seperempat dari keseluruhan jumlah kursi yang biasanya tersedia untuk penonton. Penonton ditempatkan di sisi kiri. Area pertunjukan terasa lebih lapang dibanding area penonton. Betapapun demikian, bidang yang dipakai untuk pertunjukan hanya tepat yang berada di depan barisan tengah penonton. Di situ cahaya yang samar membentuk sebuah titian di lantai berbentuk tiga kotak hitam. Di situlah penari Fitri Setyaningsih dan penari Luluk Ari Prasetya muncul. Mereka berjalan lurus tapi berlawanan arah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sosok Fitri bergaun putih ikat celup dengan rambut panjang ikal bercat pirang terurai. Sementara itu, Luluk mengenakan kemeja tanpa kerah dengan lengan kutung yang menampakkan tatonya. Mereka berjalan berlawanan arah tanpa saling menatap. Membisu. Cahaya membuat ada sedikit bayang-bayang tubuh mereka di lantai. Mereka berjalan sambil tertunduk seolah-olah menatap pantulan tubuh sendiri. Mereka seakan-akan berjalan di atas tubuh mereka sendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Fitri Setyaningsih dan Luluk Ari Prasetya dalam Sleep Paralysis, di Galeri Salihara, Jakarta, 20 Agustus 2022. Komunitas Salihara/Witjak Widhi Cahya
Kadang Fitri bergerak mundur. Kadang Luluk bergerak ke luar dari garis kotak, seperti hendak menjauhi bayangan tubuhnya. Deram suara menekan terdengar berulang-ulang. Keduanya terus-menerus melakukan gerak yang sama. Terpisah-pisah tanpa interaksi. Kita meraba Fitri tengah menyajikan suasana pergulatan antara tubuh asli dan “tubuh kedua” dalam mimpi.
Karya tari kontemporer ini berangkat dari pengalaman Fitri yang pernah mengalami tindihan saat tidur. Hampir semua orang mungkin pernah merasakan gejala itu. Tatkala tidur, antara terjaga dan tidak, tiba-tiba tubuh, tangan, dan kaki tidak bisa bergerak. Otot-otot kaku seakan-akan ada sesosok “makhluk” besar yang menindih dan membuat kita susah bernapas. Kita ingin berteriak tapi tak keluar apa-apa dari mulut. Kita hendak meminta tolong kepada orang-orang yang terlihat, tapi tak seorang pun menoleh dan membantu. Dalam istilah kedokteran, hal semacam itu adalah sleep paralysis. Secara ilmiah, saraf-saraf yang menggerakkan tubuh untuk beberapa saat terhenti tapi otak masih bekerja.
“Ide koreografi ini muncul dari pengalaman pribadi saya di kamar kos pada 2020. Saat itu saya tidur, ingin bangun, tapi tak bisa. Mau bersuara tak bisa, mau bergerak susah. Mata terpejam, tapi saya melihat jelas-jelas dan detail teman saya menata isi kamar saya,” ucap Fitri. Menurut Fitri, saat bisa terbangun, dia bertanya kepada temannya mengapa saat dirinya berteriak meminta tolong tapi dia diam saja. “Teman saya menjawab, dia tak mendengar saya berteriak atau apa. Saya tidur sangat pulas,” ujarnya. Fitri bercerita bukan pertama kali dia mengalami tindihan. “Pernah saat tindihan lain saya berteriak minta tolong kepada suami saya dalam kamar. Saya melihat suami saya bangun menyalakan lampu. Saya melihat detail sekitar dengan baik. Suara saya tak bisa digunakan. Tubuh tak bisa digerakkan. Saat terbangun, suami saya bilang saya tidur pulas.”
Dalam fenomena tindihan, orang seperti antara hidup dan mati. Kita berusaha berontak, meronta-ronta, dan melepaskan diri sosok besar yang membekap, tapi seperti kalah kuat. Sementara itu, orang-orang yang ada di sekitar hanya memandang tak berbuat apa-apa. “Dalam koreografi ini saya hanya ingin mengelola mekanisme bangun dan mekanisme tidur dengan gerak-gerak sederhana dan berulang-ulang. Gerak-gerak yang memberi tekanan-tekanan ke dalam atau ke bawah ataupun tarikan-tarikan ke atas,” tutur Fitri. Memang bisa dibilang koreografinya simpel. Gerak-gerak symptom yang ditampilkan Fitri dan Luluk (bersama musik yang menekan) hanya bermaksud menghantar alam kesadaran sehari-hari penonton memasuki suasana sleep paralysis. “Musik dibuat penuh getaran, tekanan, sekaligus menembus ke kedalaman ruang cahaya yang berlapis-lapis seperti cara otak bekerja,” ujarnya.
Fitri Setyaningsih dan Luluk Ari Prasetya dalam Sleep Paralysis, di Galeri Salihara, Jakarta, 20 Agustus 2022. Komunitas Salihara/Witjak Widhi Cahya
Makin lama volume deru makin kuat. Pada saat itulah Fitri dan Luluk menampilkan adegan-adegan saat tidur tak nyenyak. Luluk berbaring di lantai dan seperti meringkuk, tapi kemudian tubuhnya mengigal. Tangannya seperti menghalau, mengenyahkan sesuatu yang menakutkannya. Tatapan matanya kosong. Akan halnya Fitri, ia berdiri tapi tubuhnya seolah-olah ditarik ke sana-kemari. Dia berusaha keras agar tidak jatuh. “Dalam tindihan mungkin justru tubuh harus dipasrahkan. Karena, kalau dilawan, pas bangun badan sakit,” tuturnya.
Tindihan termasuk parasomnia yang tidak diinginkan dalam tidur. Halusinasi visual dan ketakutan melihat hal-hal yang akan mengancam kita adalah bagian dari efek tindihan. Dalam dunia folklor dan kisah-kisah tradisi Eropa, tindihan ditafsirkan lebih jauh. Hal ini dikaitkan dengan hal-hal magis. Istilah incubus saat tindihan dalam berbagai sastra tradisi Eropa sering dimaknai sebagai peristiwa manusia disetubuhi oleh setan. Berbagai cerita mengisahkan penyihir-penyihir lahir dari persetubuhan di alam mimpi ini. Tindihan juga sering menjadi obyek eksplorasi fantasi transenden. Gejala dalam tindihan seperti rasa mengambang dan melihat tubuh sendiri sering dijelaskan sebagai fenomena out of body—lepas raga. Lirik-lirik lagu grup rock underground bahkan banyak mengambil ide ini.
Kita menunggu sampai seberapa jauh Fitri membawa koreografinya ke puncak, selain menampilkan tubuh yang menggelepar-gelepar atau tubuh seperti hendak terjerembap tak seimbang. “Saat tindihan seperti ada sesuatu hitam besar yang menindih dada saya, menarik kaki ke bawah, menarik tangan ke atas, dan menekan badan ke bawah,” kata Fitri. Adakah kejutan visual atau kejutan lain pada bagian klimaks? Menjelang akhir ada bunyi gemuruh seolah-olah tubuh Fitri runtuh saat berdiri. Dia terjengkang ke belakang seperti terpelanting. Sorot lampu terpancar dari belakang dan rambut panjang keriting keperakan Fitri bagai terjambak ke belakang.
Fitri adalah koreografer yang lain daripada yang lain. Karya-karyanya sering out of the box. Koreografinya kerap bertolak dari hal-hal personal yang dialami tubuhnya sendiri. Cara presentasi koreografinya juga menjauhi ilustrasi. Dia tidak ingin mendeskripsikan pengalamannya dalam bentuk narasi atau cerita. Kosakata geraknya lebih banyak berangkat dari hal-hal kecil dalam gerakan atau fenomena tubuh sehari-hari yang kemudian diberi aksentuasi. Vokabuler geraknya sama sekali tak menyisakan adanya warna vokabuler baku—katakanlah balet atau tari klasik Jawa sebagaimana penari lain. Seperti yang disajikan malam itu, dia berani mewujudkan sebuah koreografi minimalis. Berdiri, berjalan, terjengkang.
Tema sleep paralysis yang ditawarkan kali ini demikian menarik dan imajinatif. Ini berkaitan dengan tubuh kedua. Tubuh yang mengalami “kekerasan” dalam mimpi. Seorang penonton mengatakan, bila lantai pertunjukan berupa cermin, mungkin interaksi antara tubuh asli dan “tubuh kedua “bisa lebih tercipta. Seorang penonton lain mengharapkan adanya visual mengagetkan berkenaan dengan “makhluk hitam” pelaku kekerasan—sang penindih. Agaknya masih banyak yang bisa dikembangkan dari koreografi Fitri Setyaningsih.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo